PENDOSA 12

1204 Words
Aku tidak pernah merasa secemas ini sebelumnya. Padahal, acara makan malam bersama owner Steak House sudah dua hari berlalu, tetapi aku masih kepikiran soal Pak Sena. Aku sangat berharap, Pak Sena yang merupakan putera dari pemilik Steak House bukanlah Arsena Bhumika. Aku sangat berharap akan hal itu. Meskipun kuakui, hatiku yang terdalam masih mencintainya, namun aku tak ingin bertemu dengan pria itu, entah sebagai atasan dan bawahan atau lainnya. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengan Bhumika apapun bentuk hubungannya. Fokusku saat ini, hanya ingin bekerja dan membesarkan Alia. Itu saja. Kuhela napas dan menutup kembali kotak perhiasan berisi perhiasan hadiah dari Bhumika. Semuanya masih lengkap di kotak beledu berwarna abu tua yang selama ini kusimpan dengan baik di antara tumpukan pakaianku. “Bhumika, Bhumika. Semoga Pak Sena yang disebut Irma bukan kamu, Bhumika,” gumamku pelan. Aku beranjak dari tempat tidur untuk menyimpan kembali kotak perhiasan di lemari. Kupandangi sekali lagi selama beberapa saat, sebelum membenamkannya di antara tumpukan pakaianku. Lantas aku kembali ke tempat tidur, memposisikan tubuhku di sisi Alia yang sudah tertidur pulas sejak tadi. Sudah pukul dua belas malam. Aku ingin segera tidur, besok aku harus bangun pagi untuk bekerja. … Hari ini kulalui dengan begitu berat. Diawali dengan ban motorku yang tiba-tiba kempes saat masih setengah perjalanan menuju House Steak, dan berlanjut terjadi insiden kecil di restoran, dimana tak sengaja aku menumpahkan minuman ke pakaian pelanggan dan berujung aku kena tegur oleh Pak Budi. Lalu sekarang, Alia sejak kujemput dari tempat Bu Salem tadi terus saja menangis. Entah apa yang terjadi dengan gadis kecilku, ia merengek terus-menerus tanpa jeda. Sudah kucoba susui, kubujuk untuk menonton tayangan Youtube, kugendong-gendong dan kuberi jajanan kesukaannya, namun tangisnya tak kunjung berhenti juga. Tubuhku yang lelah dan perasaan kesepian yang menderaku membuat tangisku ikut berderai. Untuk beberapa saat, kamar sempit ini akhirnya dipenuhi oleh tangisanku dan tangisan Alia. Aku menangis sembari memeluk gadis kecilku yang juga menangis. “Alia kenapa sebenarnya? Mama kan sudah pulang, kenapa Alia malah nangis terus. Sudah ya nangisnya, kita main bareng saja,” bujukku lagi. “Mama minta maaf, kalau nggak bisa bareng-bareng Alia terus. Mama kan harus kerja.” Kugigit bibir agar tangisku tak kembali pecah. Alia menatap wajahku dengan wajahnya yang bersimbah air mata. Tatapannya yang tulus dan polos membuatku trenyuh. Alia hadir di dunia karena kesalahanku. Ia tak merasakan kasih sayang dari ayahnya sejak dari kandungan, dan mungkin sampai kapan pun tak akan pernah. “Maafkan, Mama, ya.” Kuciumi wajahnya yang masih menatapku sendu. Tangisnya sudah mulai terhenti, menyisakan suara sesenggukan yang terdengar menyayat hati. Entah apa yang diinginkan Alia saat ini, namun sebagai ibu aku merasa sangat bersalah karena tak bisa memberikan kehidupan layak bagi Alia. … Seminggu kemudian, jadwal liburku tiba. Aku berencana mengajak Alia ke playground yang berada di pusat perbelanjaan. Sebelum berangkat, kupastikan kos dalam keadaan bersih dan rapi. Sejak Shubuh tadi aku sudah sibuk mencuci baju, memasak untuk sarapanku dan Alia juga mnyetrika pakaian. Saat ini, aku tengah menyuapi Alia dengan orak-arik telur di depan kamar. “Selamat pagi anak cantik.” Sela, yang baru pulang bekerja menyapa. “Kak, hari ini jadwal Kak Putik libur, kan? Ada rencana pergi kemana tidak, Kak? Nanti biar Sela temani?” tanya Sela menawarkan diri. Baik sekali Sela ini. Aku terkadang masih tak percaya, ada gadis sebaik Sela yang selalu bersedia menolongku. Aku pun menjawab akan mengajak Alia ke playground di salah satu pusat perbelanjaan dan dengan semangat Sela akan menemaniku. Kami berangkat pukul sepuluh pagi, setelah Sela beristirahat dan mandi. Menggunakan motor milik Sela dan aku memboncengnya, kami menuju salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Alia kugandeng agar tidak berlari ke sana kemari setiba di pusat perbelanjaan. Ini memang kali pertama kuajak Alia mengunjungi tempat ini. Biasanya, ketika libur aku hanya mengajak Alia menaiki komedi putar di pasar pagi atau pasar malam. Saat ulang tahun pertamanya enam bulan lalu saja, aku hanya membelikan kue sederhana dan sebuah buku bacaan sebagai hadiahnya. Aku ingin mengajarkan pada Alia, jika berjalan-jalan di mal adalah hal mewah yang tak seharusnya dilakukan terlalu sering. Kami memasuki area playground, setelah membeli tiket. Sela dengan sigap mengajak Alia bermain dan memintaku untuk duduk menunggu saja. Selama satu jam, Sela mengajak Alia berkeliling playground, memainkan berbagai wahana permainan yang ada. Aku beberapa kali mengambil potret mereka berdua. Sebagai kenangan yang kusimpan rapat di galeri foto, karena aku sudah tidak berkeinginan mengunggah apa pun di akun sosial mediaku. “Alia senang jalan-jalan?” tanyaku, begitu Sela dan Alia mendekat. Mereka terlihat cukup kelelahan namun juga sangat bahagia. Terutama Alia yang manik matanya saat ini nampak berbinar sekali. “Nang. Nang.” Alia mengangguk-angguk dan bertepuk tangan. Kududukkan Alia di pangkuanku. “Alia masih mau main?” tanyaku lagi yang diangguki olehnya. “Main mandi bola saja ya.” Bola-bola kecil beraneka warna berada tak jauh dari tempat kami duduk. Kami bertiga berpindah di area mandi bola. Alia bermain-main dengan melemparkan bola-bola pada Sela atau padaku, dan sesekali membaringkan tubuh mungilnya di antara bola-bola warna-warni ini. Aku dengan sigap mengabadikan momen langka ini. Setelah waktu bermain di playground usai, kami menuju salah satu toko make-up, kebetulan beberapa perlengkapan make-up juga sudah hampir habis, begitu pun dengan Sela yang ingin membeli lipstik baru. Kami menuju toko mainan anak setelahnya, membeli beberapa jenis mainan untuk Alia. Alia dengan girang memilih mainan yang diinginkannya, namun tentu saja kupilih mainan dengan harga yang sesuai dengan isi dompetku. Sesudah itu, karena hari sudah semakin siang, kami mencari restoran untuk mengisi perut kami yang sudah kelaparan. Lagi-lagi, aku ingin mencari restoran dengan harga miring, namun Sela justru ingin makan siang dengan menu masakan khas Jepang. “Tapi, Sel, restoran Jepang mahal, saya sudah over budget hari ini,” keluhku keberatan, ketika Sela mengajak makan siang di restoran Jepang yang menyediakan udon. “Tenang, Kak. Sela yang traktir kali ini.” “Sela, kamu juga harus berhemat. Kamu juga sudah belanja banyak hari ini. Kita makan di tempat lain saja ya.” Aku kembali bernegosiasi dengan Sela. Sejujurnya, selain karena harga makanan di restoran tersebut yang cukup mahal yang membuatku enggan makan di sana, aku tidak ingin teringat Bhumika ketika menyantap mie berukuran besar tersebut. Karena makanan yang berasal dari Jepang tersebut adalah salah satu makanan favorit Bhumika. “Tidak apa-apa, Kak. Sesekali saja. Ayo.” Sela sedikit memaksaku memasuki restoran pilihannya. Kami menempati meja di ujung restoran dengan sajian pemandangan luar gedung. Kami menyantap makanan dalam diam, karena perut sudah sangat lapar. Tak kusangka, Alia juga menyukai mie berukuran besar-besar ini, persis seperti ayahnya. Menyebalkan sekali memang! Tiga puluh menit kemudian, makanan sudah selesai kami santap. Aku tengah membersihkan pakaian dan tubuh Alia dari noda makanan ketika tak sengaja mataku melihat sosok Bhumika baru saja memasuki restoran ini. Kukedipkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatanku. Dan benar, sosok di counter makanan sana adalah Bhumika dengan perempuan yang sama yang kulihat di kedai mie kocok waktu itu. Dengan tergesa, aku segera memakai masker untuk menutupi sebagian wajahku agar tak dikenali oleh Bhumika. Dan dengan tergesa pula kuajak Sela untuk meninggalkan restoran ini, mengabaikan wajah Alia yang masih dipenuhi oleh noda makanan. Aku tidak ingin betemu dengan Bhumika. Aku juga tidak ingin Bhumika tahu tentang Alia. Cukup sudah aku mengemis padanya selama ini. Sudah cukup. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD