Bertemu Raja

1420 Words
Sesampainya di 'You and Me Cafe', Nara belum menemukan tanda-tanda keberadaan Raja. Sementara Elang sudah meninggalkannya. Lelaki itu bilang kalau dia ada urusan tidak jauh dari kafe tersebut. Dia berpesan untuk segera menghubunginya kalau pertemuan Nara dengan Raja sudah selesai. Nara memutuskan untuk mencari tempat duduk dan memesan segelas minuman. Dia memainkan ponselnya sambil menunggu kedatangan Raja. Sudah sejak lama dia memperhatikan kakak tingkatnya itu, tetapi baru sekarang Raja memberikan perhatian lebih. Membuat harapan Nara yang semula seakan pupus kembali bersemi. "Maaf, sudah membuatmu menunggu." Raja yang langsung memilih duduk di hadapan Nara berhasil membuat gadis itu panas dingin. Merupakan reaksi normal tubuh saat berdekatan dengan seseorang yang dicintai. "Tidak apa. Aku juga belum lama sampai." Nara memaksa bibirnya untuk tersenyum natural. Walau di dalam hatinya, dia tidak yakin kalau Raja tidak mengetahui kegugupannya. "Tetap saja aku merasa bersalah. Aku yang mengajak kamu bertemu, seharusnya aku yang datang lebih dulu, bukan sebaliknya." Nara bisa melihat raut wajah yang menyesal. Tapi sesaat kemudian, gadis itu justru terhanyut dalam imajinasinya. Menikmati ketampanan yang dimiliki oleh Raja. "Nar ... Nara ...," Raja menjentikkan jari beberapa kali untuk menyadarkan gadis itu. "Eh, maaf." Nara menjadi salah tingkah karenanya. Gadis itu merasa kesal pada dirinya sendiri. Bahkan di momen bagus seperti sekarang dia bahkan mempermalukan dirinya sendiri. "Kamu ke sini sendiri?" tanya Raja, berusaha mencari topik pembicaraan lain. "Iya. Naik taksi." jawab Nara singkat. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku mengantarmu pulang nanti?" ucapan Raja langsung membuat Nara terkejut. Dia bahkan sampai menatap lelaki yang ada di hadapannya tanpa berkedip. Nara tidak mungkin mengizinkan Raja untuk mengantarnya pulang. Bagaimana kalau sampai lelaki itu tahu kalau Nara ternyata tinggal satu rumah dengan seorang lelaki yang bukan siapa-siapa? Raja pasti akan langsung menjauh dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. "Ahaha, aku sangat tersanjung dengan tawaran kamu. Sebenarnya aku senang sekali kalau bisa berada satu mobil dengan kamu. Tapi maaf, aku ada keperluan di dekat sini. Aku juga tidak ingin merepotkan kamu." Nara mencoba beralasan. Dia berharap alasannya kali ini masuk akal. Tidak ada penawaran lain selain harus menolak itikad baik Raja untuk mengantarnya pulang. "Aku bisa menunggumu sampai urusan kamu selesai," Raja masih tampak berusaha. Nara tentu saja sudah khawatir kalau lelaki itu terus memaksanya dan dia akan luluh. "Tidak usah, Raja. Aku pulangnya nanti sore. Kalau kamu menungguku di sini sampai selesai, bisa-bisa waktumu berakhir dengan sia-sia." Nara berusaha meyakinkan Raja untuk menyerah. Padahal dia sangat menginginkan momen itu. Seandainya dia masih tinggal di kontrakan yang lama, dia mungkin bisa lebih leluasa membiarkan siapa pun untuk datang atau mengantarkannya pulang. Sedikit banyaknya Nara paham kalau dia tidak bisa sembarangan membawa seseorang ke kompleks apartemen tempat Elang tinggal. Bukan hanya raja, tetapi itu juga berlaku untuk teman Nara yang lain. "Baiklah kalau kamu masih terus menolak. Nanti kalau kamu berubah pikiran, cepat kabari aku." Raja tersenyum. Sebuah senyuman manis tanpa dibuat-buat. Seakan dia ingin bertindak seperti malaikat. Mencintai dengan tulus. "Terima kasih. Tentu. Aku akan menghubungimu nanti. Biar aku pesankan minuman untukmu." Nara mencoba berinisiatif. "Biar aku saja. Aku akan memesan makanan sekalian. Kamu ingin makan apa?" "Samakan saja denganmu," --- "Semalam kamu tidur di mana Lisa? Papa mendengar laporan kalau kamu tidak pulang semalaman. Apa kamu lupa, sebentar lagi kamu akan menikah. Lupakan semua lelakimu di luaran sana!" Robert yang baru saja pulang dari perjalanan bisnis langsung menanyakan semua itu pada Lisa. Wanita yang sedang makan itu mendadak kehilangan selera dan meletakkan sendoknya begitu saja. "Papa baru pulang bukannya istirahat, malah ngomel-ngomel. Apa salahnya aku tidur di luar? Bukankah aku sudah menyetujui perjodohan itu? Jadi Papa harus memberiku kebebasan. Belum nikah sudah diatur, apalagi kalau sudah." sungut Lisa tak terima. Wajah Robert merah padam. Dia seakan hilang kesabaran saat mengurus Lisa. Gadis itu susah sekali di atur dan lebih suka mengikuti kata hatinya sendiri. "Pernikahan ini bagus untukmu, Lisa. Kamu harus menjaga nama baik keluarga kita. Kamu pasti tahu siapa ayah Antoni, dia yang membantu Papa sampai seperti saat ini. Tolong jangan kecewakan Papa, Nak." Robert berusaha merendah. Dia tahu, pertengkaran ini akan terus berlanjut kalau dia membiarkan emosinya memuncak. Sejak kecil, Lisa sudah kehilangan ibunya. Kurang kasih sayang dari seorang ibu membuat Lisa sedikit keras kepala. Bagaimana pun juga, Robert tidak ingin perjodohan yang sudah dia persiapkan untuk Lisa berakhir begitu saja. "Papa pikir aku nggak kecewa, harus menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai? Bukankah Papa sangat egois? Demi keuntungan Papa, aku yang harus menanggung semuanya?" Ini bukan pertama kalinya Lisa memberontak. Dia tidak ingin menjadi boneka ayahnya. Sebagai alat untuk menghasilkan uang. "Ini bukan hanya untuk Papa, tetapi untuk kamu juga. Semua uang yang sudah kamu habiskan, semuanya uang dari bisnis Papa. Kerja sama antara Papa dan ayahnya Antoni. Jadi, jangan pernah bilang lagi kalau semua ini hanya menguntungkan Papa, kamu juga pasti untung," Robert tetap pada pendiriannya. Dia tentu saja tidak akan menghentikan perjanjian politik antara dirinya dan ayah Antoni. "Sudahlah, Pa. Aku lelah. Aku ingin istirahat sekarang." Lisa meninggalkan ruang makan. Gadis itu memilih untuk kembali ke kamarnya dan terdengar suara lemparan daun pintu yang cukup kuat. Robert terduduk lesu di kursi makan tempat Lisa duduk tadi. Dia memikirkan cara agar perjodohan antara Lisa dan Antoni tetap berjalan lancar. --- "Bagaimana jawaban dari permintaanku waktu itu?" tanya Raja sambil menikmati makanan yang ada di hadapannya. "Asal acaranya siang hari, aku akan mengusahakan. Soalnya, malam harinya aku ada acara keluarga." Nara beralasan. Dia tidak mungkin membiarkan Raja mengetahui hubungan gelapnya dengan Elang. Bahkan hubungan gelap itu juga tidak akan mampu mengubah perasaanya sekarang. "Tentu saja kita akan ke sana siang hari. Tempat yang akan kita kunjungi tidak cocok untuk didatangi di malam hari. Kita akan menikmati pemandangan alam, bagaimana jadinya kalau itu terjadi malam hari? Paling hanya nyanyian jangkrik yang akan terdengar." Raja terkekeh. Dia berusaha melucu, tetapi bagi Nara itu sama sekali tidak lucu. "Sepertinya, kamu harus lebih banyak belajar gombalan lagi." sahut Nara santai. "Aku ini mahasiswa, bukan anggota grup lawak dan semacamnya. Lalu untuk apa belajar hal seperti itu? Apa aku perlu menghubungi om Deni Cagur untuk menanyakan gombalan yang cocok untukmu?" Kali ini Nara tertawa. Bisa-bisanya Raja membahas pelawak itu hanya karena kata gombal. "Tidak usah, itu sungguh tidak diperlukan. Lagipula aku tidak ingin hanya diberi gombalan. Lebih suka dengan pernyataan terus terang." ucap Nara tanpa sadar. "Jadi ... kamu ingin seseorang yang menyukaimu langsung bicara dengan terus terang tanpa basa-basi?" "Ya, itu terdengar lebih mengesankan." "Baiklah ...," --- Nara berniat menyiapkan makan malam dengan bahan-bahan yang sudah ada di kulkas. Tentu saja semua bahan itu yang dia beli bersama Elang tadi pagi. Suasana hati Nara yang sedang baik membuat wanita itu terus bersenandung selama proses memasak. Tidak banyak yang dia bicarakan dengan Raja selama pertemuan mereka tadi, tetapi Nara seolah memiliki insting kalau Raja juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Hal yang paling tidak bisa dia lupakan tentu saja saat Raja menyuapkan makanan ke mulutnya. Hal sederhana itu berhasil melambungkan perasaan Nara. Cinta memang selalu membuat hidup lebih berwarna ketika terbalas. Gadis itu merasa sebentar lagi masanya akan tiba. Elang diam-diam memperhatikan tingkah Nara. Dia tidak memikirkan hal lain kecuali merasa apa yang dikatakan tentang cinta oleh gadis yang dipandanginya memang benar. Bahkan setelah bertemu dengan orang yang dia cintai, Nara berubah sangat aktif dan ceria. Perlahan Elang berjalan ke arah Nara. Dia duduk tidak terlalu jauh dari perempuan itu. Menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya dalam sekali teguk. "Sepertinya kencan kamu hari ini sangat sukses. Aku melihat wajahmu bersinar, bersenandung setiap saat, bahkan mungkin kalau bisa, sayuran itu akan ikut menari bersamamu." sindir Elang. Nara berbalik, memandang lelaki itu, kembali tersenyum dan fokus dengan masakannya. "Bisa dibilang begitu. Meskipun tidak terlalu sukses, setidaknya aku bisa menemukan bukti kalau dia mencintaiku juga. Selama ini, apa yang aku rasakan tidak hanya bertepuk sebelah tangan." cerita Nara dengan sangat bersemangat. Elang menghela napas. Dia tidak tahu harus merespon apa. Pengalaman percintaannya kosong. Tidak ada. Bahkan dia tidak tahu apa itu cinta. "Aku harap kamu bisa meraih cinta idamanku itu, Nara. Walaupun aku tidak mengerti apa itu cinta, kalau itu berefek baik bagimu seperti sekarang ini, maka aku akan mendukungmu." "Kamu juga, Elang. Cobalah untuk membuka hati untuk seorang gadis. Aku melihat kalau kamu butuh cinta dari seseorang. Jangan biarkan jiwamu gersang. Seperti kaktus yang tumbuh di gurun tandus." "Perumpamaan kamu sangat lucu. Apa kamu sedang mengatakan kalau aku ini mirip kaktus? Bagaimana bisa kamu menyamakan aku dengan kaktus, sungguh keterlaluan." "Ahaha, jangan marah Tuan Elang. Anggap saja begitu. Sudahlah, lebih baik kamu mandi. Makan malam kita akan segera siap." "Oke," Elang melangkah pergi, kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD