Bab. 1
"Aruna sayang!"
"Aruna... Dimana kau nak? Ibu sudah pulang," panggil Ibu lagi. Aku seperti mendengar suara Ibu memanggil ku.
"Aruna!" panggil Ibu sekali lagi. Benar, ternyata itu suara Ibu ku. Aku mengernyit. Lalu menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamar ku.
"Baru jam setengah tujuh, tumben sekali Ibu sudah ada di rumah" batin ku berucap. "Aruna... Kau dimana nak... Keluarlah, lihatlah Ibu membawakan apa untuk kau," ucap Ibu memanggil ku lagi. Lantas, aku yang sedang belajar mengerjakan tugas dari sekolah langsung bergegas keluar dari kamar untuk menemui Ibu ku yang sudah memanggil ku berkali-kali.
Aku membuka pintu kamar ku dan mencari sosok Ibu ku yang aku sayangi. Aku pergi ke dapur dan ternyata Ibu ada disana sedang membuka bungkus-bungkus makanan yang mungkin Ibu beli atau ibu dapatkan dari tempat ia bekerja. Dan menyiapkan nya di beberapa piring untuk di santap untuk makan malam tiba.
"Ibu..." panggil aku kepada Ibu. Lalu, Ibu menoleh. "Aruna, lagi ngapain kau nak? daritadi Ibu memanggil kau tapi tidak ada jawaban dari kau.
"Ahh, aku sedang mengerjakan tugas Ibu di dalam kamar,"
"Oh begitu... kau pasti belum makan kan? Kalau begitu, lihatlah Ibu membelikan banyak makanan buat kau," jawab Ibu sambil menunjukkan beberapa makanan yang tersedia di atas meja makan. Lalu, Ibu menarik ku untuk duduk di kursi meja makan.
"Kau mau makan apa hm? Pilihlah yang mana makanan yang kau sukai. Makanlah yang banyak supaya kau semangat mengerjakan tugasnya. Dan ya, kalau kamu sudah menyelesaikan makanannya, kau segera temui Ibu di ruang tamu ya ... Ibu membelikan sebuah hadiah untuk anak Ibu yang tercantik ini," ucap Ibu dengan semangat dan mengelus kepala ku. Lalu, Ibu meninggalkan aku. Aku segera menghabiskan makanan ku.
---
Setelah aku menghabiskan makan malam ku, aku mencuci semua piring kotor agar Ibu bisa langsung beristirahat. Lalu, aku langsung menyusul Ibu ke ruang tamu. Aku melihat Ibu yang sedang menonton salah satu acara yang di siarkan di salah satu kanal tv. Merasa aku ada di hadapannya. Ibu pun menoleh ke arah ku. Ibu langsung berdiri dan menghampiri ku. Menarik aku untuk duduk di dekatnya.
"Nah, kau sudah selesai makan nya Aruna?" tanya ibu.
"Sudah ibu, dan semua piring-piring kotor di wastafel sudah aku cucikan semuanya,"
"Loh, harusnya biarkan saja. Biar ibu yang menyuci nya,"
"Tidak apa-apa ibu, aku tau ibu pasti capek banget kerja seharian ini," jawab ku sambil tersenyum.
"Baiklah, tadi ibu mengatakan ibu ada membelikan sesuatu buat kamu kan?" Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan dari nya. "Kalau begitu, sebentar ya, ibu ke kamar dulu," ucap ibu dan langsung bangun untuk pergi ke kamar nya. Entahlah, apa yang akan di ambil oleh ibu. Aku mengalihkan pandangan ku ke siaran yang di tayangkan di TV. Aku mengambil remote tv yang ada di meja dan mengganti saluran tv. Mencari acara yang bagus. Tapi, sayangnya acara-acara di tv tidak ada yang bagus. Tidak lama, aku mendengar pintu kamar terbuka. Itu ibu. Aku menatap heran melihat ibu yang berjalan dengan menyembunyikan kedua tangan nya di belakang. Entah apa yang di sembunyikan di belakang nya. Ketika ibu sudah duduk di sebelah ku, aku langsung bertanya.
"Apa yang ibu sembunyikan di belakang ibu itu?" tanya ku penasaran. Bahkan, aku sampai memiring-miring kan tubuh ku, mencoba mengintip.
"Eits ... Jangan coba-coba mengintip ya Aruna,"
"Ayolah ibu, tunjukan kepada ku. Apa yang di belakang ibu itu," ucap ku dengan nada memohon.
"Kau ini sudah sangat tidak sabaran sekali ya," ucap ibu sambil mengusap wajah memohon ku.
"Ibuuuu ....," rengek ku kepada ibu, agar ibu segera menunjukkan nya. "hahahaha ..... Baiklah baiklah, dan taraaaaaa!!!" ucap ibu dengan semangat sambil menggoyang-goyangkan sebuah kotak yang sudah di bungkus oleh kertas kado. "Nah, ayo terimalah dan kau buka sekarang di hadapan ibu," aku mengambil hadiah dari ibu tersebut. Dan langsung membuka bungkus nya. Aku terkejut melihat hadiah dari ibu tersebut.
"Ibu ....," panggil ku dengan lirih.
"Iya sayang, bagaimana apakah kau suka dengan hadiah ini? Memang, harga handphone ini terbilang dengan harga murah, tapi ibu yakin, kalo handphone ini tidak kalah bagusnya. Ibu harap kau bisa menerima nya ya Aruna," ucap ibu.
"Ibu ... mengapa ibu membelikan aku handphone baru?"
"Kenapa memang Aruna? Kau tidak menyukainya?"
"Tidak, bukan seperti itu. Aku tidak enak sama ibu. Ibu bekerja keras banting tulang dari pagi sampai malam untuk bisa menghidupi keluarga ini," ucap ku.
"Tidak Aruna, ini memang kemauan ibu untuk bisa membelikan handphone baru untuk kau. Sebenarnya sudah lama ibu ingin membelikan nya. Tapi, uang nya tidak cukup. Uang nya selalu di pakai lagi untuk kebutuhan sehari-hari di rumah ini. Dan sekarang, setelah ibu menabung selama beberapa bulan dari uang gajih ibu. Ibu akhirnya bisa membelikan kau handphone baru ini," ucap ibu menjelaskan kepada ku. Aku yang mendengar penjelasan dari ibu pun merasa sedih. Aku tidak pernah meminta kepada ibu untuk membelikan handphone baru. Karena, handphone lama ku masih bisa berfungsi, walaupun memang agak susah untuk di tekan layarnya.
"Ibu tau, kalau kau sangat kesulitan menggunakan handphone lama kau itu. Ibu menunggu kau untuk bilang meminta kepada ibu untuk membelikan handphone baru. Tapi, sampai saat ini pun kau masih tetap diam, bungkam, menelan keinginan kau sendiri," lanjut nya. Aku menahan untuk tidak menangis di depan ibu ketika mendengar semua penjelasan dari ibu.
"Aku tidak tega untuk meminta membelikan handphone baru kepada ibu. Karena, aku mengetahui bagaimana sulitnya ibu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini. Ibu bekerja sendirian tanpa bantuan dari ayah untuk menghidupi keluarga ibu ini,"
"Aruna ... dengar ya, kau anak ibu. Kau boleh meminta apapun yang kau butuhkan. Ibu yang bertanggung jawab untuk semuanya. Kau jangan khawatirkan ibu. Kau harus berjanji kepada ibu ya, setelah ini jika kau merasa ada kebutuhan yang harus dipenuhi kau harus bilang kepada ibu. Jangan kau simpan sendiri. Ibu akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa membahagiakan Aruna. Kau janji?" ujar ibu sambil memberikan jari kelingking nya ke hadapan ku. "Baiklah ibu, aku berjanji," ucap ku menyetujui nya dan menautkan jari kelingking ku ke jari kelingking ibu.
"Baiklah, kalau begitu mulai sekarang kau harus menggunakan handphone baru ini oke?"
"Okee, oh ya ibu aku masuk ke kamar dulu ya? Aku ingin menyelesaikan tugas sekolah ku," pamit ku kepada ibu.
"Oh begitu? Yasudah, kau lanjutkan mengerjakan tugas kau itu ya... Belajarlah dengan pintar, agar kelak kau bisa membuat kedua orang tua kau ini bangga bisa memiliki anak pintar dan berprestasi seperti kau ini," ucap Ibu sambil mengusap pipi ku sambil tersenyum. "Iya Ibu. aku berjanji kelak dewasa nanti ketika aku sukses, aku akan membahagiakan Ayah dan Ibu, aku akan mengangkat derajat keluarga kita agar tidak ada lagi orang-orang yang meremehkan keluarga kita," ucapku sambil memeluk Ibu dengan penuh kasih sayang. Kami berpelukan.
---
Emma tersenyum melihat Aruna bahagia menerima handphone baru pemberian dari nya. Emma lega akhirnya, setelah penantian panjang nya menyisihkan uang gajih nya setiap bulan untuk membelikan handphone baru untuk Aruna akhirnya terbayarkan di hari ini.
"Ibu sangat bahagia Aruna, jika kau bahagia. Akhirnya ibu bisa melihat senyuman terindah dari bibir indah kau itu," ucap Emma sambil melihat pintu kamar Aruna yang sudah tertutup. "Tidak apa, biarpun uang ibu habis, tapi itu semua habis untuk diri kau. Ibu sangat ikhlas. Karena, buat ibu itu tidak ada yang lebih berharga di dunia ini tanpa adanya diri kau Aruna," lanjut Emma sambil mengusap setitik air mata yang turun dari kedua mata nya. Untuk mengalihkan pikiran nya, Emma melanjutkan menonton tayangan yang di siarkan oleh televisi yang ada di depan nya. Emma menonton tv dengan sendirian tanpa ada suami yang menemani nya. Entahlah, kemana suami nya itu pergi. Sampai jam sudah menunjukan pukul sembilan pun batang hidung nya belum terlihat juga.Emma berniat untuk menunggu suami nya itu pulang. Tidak terasa Emma pun ketiduran di kursi panjang yang ia duduki dengan tv yang masih menyala.
---
"Haus sekali," aku mengelus tenggorokan ku yang kering. Aku menoleh ke arah jam dinding. Sudah jam sebelas malam. Dan aku baru saja menyelesaikan tugas-tugas sekolah ku. Sebenarnya beberapa tugas di kumpulkan di minggu depan, tapi aku tidak ingin menunda-nunda pekerjaan ku. Aku harus segera menyelesaikan semuanya. Karena aku haus, jadi aku harus pergi ke dapur untuk membawa segelas air putih untuk aku minum.
Setelah aku membereskan semua buku dan alat tulis yang aku gunakan tadi. Aku segera berjalan ke luar kamar untuk pergi ke dapur. Saat aku sudah membuka pintu kamar ku. Aku mendengar seperti suara televisi yang masih menyala. Kening ku mengernyit. Siapa malam-malam seperti ini yang masih menonton tv. Ibu? Tidak mungkin. Pasti ibu sudah tidur di kamar. Lagian juga ibu pasti sangat lelah. Jadi, pasti ibu lebih memilih istirahat di kamarnya daripada menonton tv. Aku berjalan ke arah ruang tv untuk melihat siapa yang menyetel tv tengah malam seperti ini. Dan ternyata, aku melihat ibu yang tertidur dengan sangat pulas sampai terdengar dengkuran halus nya. Aku menggelengkan kepala ku.
"Kok bisa ibu tertidur di kursi depan tv kayak gini," gumam ku. Aku mengambil remote tv yang ada di meja dan aku memencet tombol power untuk mematikan tv. Lalu, aku beralih kepada ibu. Aku jongkok di hadapan ibu.
"Ibu .... Bangunlah," ujar ku mencoba untuk membangunkan ibu. Sebenarnya aku tidak tega untuk membangunkan nya. Tapi, aku kasian melihat ibu sepertinya tidak nyaman tertidur di kursi yang keras ini.
"Ibuuu ....," panggil ku sambil menggoyangkan sedikit badan nya. Masih belum bangun juga. Aku coba sekali lagi. "Ibu ... Bangunlah, pindah ke kamar yuk tidurnya," ucap ku sekali lagi. Dan akhirnya ibu terbangun juga.
"Eh Aruna, kenapa nak? Kau belum tidur?" ucap ibu sambil bangun untuk duduk.
"Aku mau tidur, tapi aku haus jadi aku ingin pergi ke dapur. Tapi, aku melihat ibu tertidur di kursi. Jadi, aku bangunkan ibu untuk sebaiknya pindah ke kamar saja," ujar ku menjelaskan. "Oh enggak, ini ibu lagi menunggu ayah kau pulang. Tapi, ayah kau masih belum pulang ya?" tanya ibu. Aku mulai paham, ternyata ibu menunggu ayah pulang sampai ketiduran. Kasihan sekali ibu. "yasudah, tunggu di dalam kamar saja ibu. Mungkin sebentar lagi ayah akan pulang," ujar ku memberi saran. "Iya baiklah, kalau begitu ibu masuk ke kamar dulu ya," ujar ibu. "Oh ya, kalau gitu tolong kau kunci pintu depan ya Aruna, dan matikan semua lampu nya, kecuali lampu di depan. Sepertinya ayah kau akan pulang lebih lambat," lanjut nya. Aku hanya mengangguk. Aku tau bahwa ayah tidak akan pulang malam ini. Dan mungkin saja ibu juga mengetahui fakta tersebut. Tapi, ibu mencoba memberikan pemahaman kepada ku agar aku berfikiran positif tentang ayah. Aku menatap nanar punggung ibu yang berjalan dengan kelelahan. Aku menghela nafas. "Ayah ... Ayah ... Kau di mana coba? Sudah malam seperti ini. Apa ayah tidak kasihan dengan ibu?" Aku berbicara di depan foto ayah yang dipajang di dinding. Seakan foto itu hidup.
"Apa kau tau ayah? Ibu itu sangat lelah sudah bekerja dari pagi. Seharusnya jika ayah tidak bisa membantu ibu untuk mencari uang. Setidaknya ayah tidak meninggalkan ibu sendirian. Ibu pasti ingin sekali menceritakan keluh kesah nya dengan ayah, tapi mengapa ayah tidak peduli dengan keberadaan ibu atau pun aku hah?!" ucap ku dengan emosi sambil menunjuk-nunjuk foto ayah di dinding. Aku meluapkan emosi aku. Walaupun di depan foto ayah. Karena, jika di hadapan ayah aku tidak berani berkata seperti itu. Aku mengusap wajah ku dengan kedua tangan ku. Sudah lah, ini sudah malam. Tidak ada guna nya juga aku berbicara di depan foto ayah. Aku pergi ke dapur untuk mengambil air minum ku dan membawa masuk ke dalam kamar ku. Sebelum itu, aku mengunci pintu rumah dan mematikan semua lampu, kecuali lampu depan sesuai perintah dari ibu.
Tidak lama dari aku menutup pintu kamar ku. Terdengar seperti ada suara pintu yang terbuka. Aku mengintip dari celah-celah pintu kamar ku. Ternyata, itu ayah. Ayah pulang dengan keadaan yang mabok. Sepertinya ayah terlalu banyak minum. Aku melihat ayah berjalan sampai ayah berhenti di sebuah kursi yang di tiduri oleh ibu tadi. Ayah menjatuhkan badan nya ke kursi tersebut. Dan ayah langsung tertidur di kursi tersebut. Aku ingin menghampiri Ayah untuk menyuruh Ayah pindah ke kamar saja. Tapi, untuk saat ini sepertinya tidak. Aku tidak ingin ibu terganggu oleh keberadaan ayah yang sangat bau alkohol. Aku tidak ingin ayah membuat waktu istirahat ibu terganggu. Jadi, untuk malam ini biarkan saja ayah tertidur di luar. Tapi, aku tidak setega itu membiarkan ayah tidur di luar dengan cuaca dingin seperti ini. Aku berinisiatif mengambil selimut yang ada di dalam lemari baju ku. Aku menarik salah satu selimut yang tebal agar bisa mengurangi hawa kedinginan di tubuh ayah. Aku membuka pintu kamar dan berjalan menuju ayah yang tertidur di ruang tv. Aku berjalan mendekat pelan-pelan, takut-takut nanti ayah bisa terganggu oleh suara yang muncul dari langkah ku. Ketika aku sampai di depan nya. Segera aku menyelimuti tubuh ayah. Tidak sengaja, tanganku bersentuhan dengan kulit ayah. Sungguh, tubuh ayah sangat dingin sekali.
---
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidur ku yang sedikit kurang nyenyak, karena pikiran ku terganggu oleh keadaan ayah semalam yang tidur di luar. Walaupun, sikap ayah yang tidak baik kepada ku. Aku tetap sangat menyayangi ayah, sama seperti aku menyayangi ibu. Aku tidak membeda-bedakan kasih sayang aku diantara ayah dan ibu. Aku memiliki keyakinan, bahwa di lubuk hati ayah yang paling dalam, ayah juga sangat menyayangi aku.
Setelah aku membersihkan diri ku, aku berniat untuk keluar kamar untuk membantu ibu menyiapkan sarapan pagi. Tapi, aku mengurungkan niat ku untuk keluar kamar sekarang. Aku menutup kembali pintu kamar ku, dan hanya menyisakan sedikit celah di pintu agar aku bisa melihat keadaan di luar. Aku melihat ibu yang baru saja keluar dari kamar dan menghampiri Ayah yang tertidur di kursi depan tv. Aku melihat ibu yang mencoba membangunkan ayah, mungkin ibu menyuruh Ayah untuk pindah tidur nya ke kamar agar lebih nyaman.
"Bang ... bangun lah, kau pindah lah ke kamar," aku mendengar suara lembut ibu yang membangunkan ayah.
"Bang ...," terdengar panggilan ibu ke ayah sekali lagi. Aku melihat ibu menggoyangkan badan ayah dengan pelan. Tidak lama, ayah pun bangun dengan mata nya yang terbuka lebar dan langsung membentak ibu.
"Arghh!!! Tidak bisa kah kau tidak menggangu tidur ku hah?! Aku hanya ingin ketenangan dalam tidur ku!!!" Aku terlonjak mendengar bentakan ayah kepada ibu yang cukup keras.
"Bukan begitu bang, aku hanya ingin kau pindah ke kamar agar tidur mu lebih nyaman,"
"Hah ... Sudah lah kau dan anakmu itu sama saja. Sama-sama menyusahkan diriku saja," ucap ayah dan langsung beranjak pergi ke kamar nya untuk melanjutkan tidur nya. Mungkin. Aku melihat ibu yang terduduk di kursi sambil menghapus setitik air mata yang keluar? Apakah ibu menangis? Aku berniat untuk menghampiri ibu. Aku memegang bahu ibu pelan. Ibu tersentak dan langsung saja mengusap air mata nya yang sempat turun.
"Ibu ..." panggilku.
"Eh iya Aruna, tumben sekali kau nak sudah bangun. Masih jam setengah enam pagi," aku mengernyit mendengar nya. Tumben? padahal aku memang selalu bangun pagi. Bahkan jam lima pagi pun aku sudah bangun. "Kan memang aku biasa bangun pagi ibu," ucap ku. Aku melihat wajah ibu yang seperti orang kebingungan.
"Ibu menangis?" tanya ku pura-pura tidak mengetahui kalau ibu menangis. "Ah ... enggak, ini mata ibu kelilipan," ucap ibu. Aku tau kalau saat ini ibu sedang membohongi diriku. "oh ya Aruna, ayo bantu ibu menyiapkan sarapan. Setelah itu, temani ibu pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan di dapur ya, semuanya sudah habis soalnya," ajak ibu kepada ku. Mungkin ibu mencoba mengalihkan pikiran dan kesedihan nya dari ayah yang sempat membentak ibu tadi.
"Baiklah ibu," Kami berjalan ke dapur dan menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat sarapan.
"Ibu ingin memasak apa?" tanya ku. Terlihat ibu berfikir sebentar dengan mengetuk-ngetukkan jari telunjuk nya ke dagu nya pelan. "Hmm ... Sepertinya masak nasi goreng dan nugget aja gimana?" tanya ibu meminta pendapat dariku. "Memang nya di kulkas ada nugget Bu?"
"Semalam ibu lihat sih masih ada beberapa lagi sih, sebentar coba ibu cek dulu ya," aku mengangguk. Ibu membuka pintu kulkas untuk melihat kesediaan nugget.
"ini masih ada lima lagi, cukup kok untuk sarapan kita," ujar ibu. Aku yang sedang memotong bawang pun langsung mengangguk mendengar ucapan ibu.
"Mana sini Aruna, semuanya sudah di potong?"
"Sudah Bu," ucap ku sambil memberikan semua bahan-bahan yang sudah aku potong untuk membuat nasi goreng.
"Mana lagi Bu yang harus aku bantu?"
"Oh tidak ada, ini ibu cuman tinggal goreng nasi sama goreng nugget nya aja," aku hanya mengangguk. "Oh ya Aruna, tolong kau bangunkan ayahmu, kita harus segera sarapan. Udah jam tujuh soalnya,"
"Baik ibu," aku berjalan menuju ke kamar ayah dan ibu. Sebenarnya, aku sedikit takut untuk membangunkan ayah. Ketika aku sudah sampai di depan kamar ayah dan ibu. Aku dengan ragu-ragu mengetuk pintu kamar tersebut.
Tok tok tok!!!
"Ayah ..." panggilku. Tidak ada jawaban. Aku langsung membuka pintu kamar nya saja. "Ayah ... makanan sudah siap. Ayo kita sarapan bersama," ucapku sedikit keras, karena ayah tidak ada di kasur. Jadi, aku berfikir mungkin ayah sedang ada di kamar mandi untuk membersihkan tubuh nya. Ketika aku ingin memanggil ayah kembali, karena sebelumnya Ayah tidak menjawab panggilanku. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka lebar bersamaan dengan ayah yang keluar dengan hanya menggunakan celana training panjang dan kaus dalam, dan juga handuk yang tergantung di leher nya.
"Ada apa kau kemari?" tanya Ayah ketika melihatku berdiri di dalam kamar nya.
"Itu ... sarapan sudah siap ayah. Ibu menyuruhku untuk memanggil ayah agar sarapan bersama," jawabku dengan pelan. Aku melihat ayah hanya mengangguk tanpa berniat untuk menjawab kembali ucapan ku. Jadi, aku langsung pergi ke luar untuk kembali ke dapur dan duduk di meja makan. Menunggu ayah untuk sarapan bersama. "Ayah kau sudah bangun?" tanya ibu ketika aku baru duduk di kursi. "Iya sudah bangun, ayah sedang memakai baju tadi," ibu hanya mengangguk. Tidak lama, aku melihat ayah yang keluar dari kamar. Ketika ayah sudah duduk,
"Aruna tolong bawakan ayah koran terbaru di meja depan," aku yang mendengar ayah menyuruh ku pun langsung beranjak untuk mengambilkan nya.
"Ini ayah," ayah langsung mengambil koran nya dari tanganku tanpa mengucapkan terima kasih. Hah! Sudah biasa sikap ayah seperti itu kepadaku. Aku kembali duduk di kursi ku lagi. Dan kami semua makan bersama dengan hening. Dengan suasana yang dingin, tidak ada kehangatan di dalam keluarga ini.
---
Emma berjalan keluar untuk mengambil pakaian kemarin yang belum kering. Ketika Emma sedang mengangkat jemuran pakaian nya. Ada dua orang ibu-ibu yang lewat depan rumah Emma.
"Eh Emma, kok baru keliatan?" tanya salah satu ibu-ibu yang lewat itu. Tetangganya. Emma tersenyum menanggapinya. "iya Bu, soalnya dari kemarin-kemarin saya sibuk bekerja," jawab Emma sambil tersenyum sopan.
"Kerja apa sih emangnya? Sibuk banget ya?" ucap ibu-ibu tersebut dengan nada yang nyinyir.
"Saya kerja di cafe kok Bu, memang akhir-akhir ini pengunjung sedang ramai-ramainya. Jadi, saya suka lembur tiap malam,"
"Haduh Emma, kenapa kau tidak berhenti bekerja saja coba. Kau kan ada suami, suruh lah suami kau itu yang bekerja, dan kau urus rumah dan anak kau itu,"
"Maaf Bu? Memang kenapa ya? Apa saya bekerja itu salah?"
"Ya gapapa sih, cuman kasian aja liat anak kau itu, si Aruna kayak kesepian gitu dia di rumah," Emma lantas bingung, apa maksud dari perkataan tetangganya itu.
"Maksud ibu-ibu ini apa ya?" ucap Emma berusaha sabar untuk menanggapi ibu-ibu itu.
"Haduh ... Emma ... Emma, masa kau tidak tau sih. Kau kan ibunya harusnya kau itu peka dong sama perasaan Aruna. Kau pikir saja ya Emma, ketika Aruna pulang sekolah pasti di rumah nya tidak ada orang. Pasti di dalam hati Aruna itu ingin sekali ada yang menyambut dia disaat dia pulang. Aruna sih gak bakalan bilang ke ibunya, dia pasti memendam kesedihan nya itu sendiri. Sudah lah agak susah ngejelasin sama ibu yang kurang perhatian sama anak nya. Udah yuk bu, kita pergi aja,"
Kedua ibu-ibu itu pun pergi meninggalkan Emma yang tiba-tiba sedang termenung memikirkan perkataan dari ibu-ibu tersebut. "Apakah benar yang di katakan mereka? Apa Aruna kesepian? Aku juga ingin seperti mereka yang bisa menemani hari-hari anak-anak nya. Tapi, aku tidak bisa seperti mereka. Maafkan ibu Aruna, ibu juga tidak mau seperti ini. Hanya saja keadaan yang menuntut ibu harus bekerja sepanjang hari seperti ini," gumam Emma pelan. Emma lantas melanjutkan mengambil semua jemuran pakaian tersebut dan bergegas untuk masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap pergi ke pasar membeli bahan-bahan persediaan di dapur bersama Aruna.
[]