Wisnu tergopoh-gopoh keluar dari kamar ketika salah satu pengurus rumah mengabari kondisi putrinya yang baru saja diantar pulang.
"Ada apa?"
"Non Rei, Pak. Kayaknya dirampok."
Wisnu berlari ke ruang tamu dan mendapati putrinya terbaring di sofa. Dia mengucap istigfar berulang kali sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Reisa yang lebam.
"Pak Nok?" tanya laki-laki paruh baya itu kaget ketika melihat siapa yang mengantar putrinya pulang.
Tarno sering ke rumah ini mengantar Reisa pulang. Putrinya memang sudah bersahabat sejak lama dengan Andra. Wisnu bahkan kenal siapa saja yang bekerja di rumah itu.
Wisnu bahkan sudah menganggap Andra seperti anak sendiri. Anak itu baik dan sopan karena sudah terbiasa datang ke rumah.
"Iya, Pak. Ini ... saya antar Non Rei pulang."
"Sebenarnya ada apa ini?"
Wisnu menarik kerah baju Tarno dengan penuh amarah.
"Bukan saya, Pak. Saya cuma diminta nganterin Non Rei pulang."
"Terus Reisa diapain sampai begini?"
Dengan terbata, Tarno menceritakan apa yang diketahuinya. Dari sejak Inah memanggilnya ke belakang hingga meminta bantuan untuk mengantar Reisa pulang.
"Saya gak tau, Pak. Lebih baik kita bawa Non Rei ke rumah sakit."
Wisnu menggendong putrinya dan menbawanya menuju mobil. Tarno melajukan kendaraan itu menuju rumah sakit terdekat.
Sepanjang perjalanan, Wisnu menelepon beberapa kerabat untuk mengabari kondisi yang ada.
Begitu tiba di rumah sakit, Reisa langsung ditangani oleh tim medis. Mereka menunggu dengan gelisah, hasil apa yang akan dibacakan oleh dokter.
"Mas Wisnu!" teriak Sarah, adiknya ketika menghampiri laki-laki itu.
Wisnu telihat begitu lemas sehingga enggan menjawab panggilan itu. Sarah memeluk kakaknya dengan erat, berusaha untuk menguatkan.
"Gimana keadaan Reisa, Mas?"
"Sudah sadar, masih ditangani dokter," jawabnya.
"Kenapa Mas gak masuk?"
"Aku gak tega lihatnya. Sakit hatiku," jawab Wisnu pilu.
"Memangnya Reisa kenapa? Dijambret?"
Wisnu tertegun dan menggeleng, lalu memilih diam. Itu membuat yang lain bertanya-tanya.
"Kita tunggu hasil visum dokter saja dulu. Jangan gegabah menuduh," ucap salah satu keluarga yang lain.
Begitu mendapatkan telepon dari Wisnu, mereka saling memberi kabar dan beramai-ramai datang ke sini. Sarah bahkan meninggalkan anak-anaknya di rumah karena begitu panik.
Reisa sudah dia anggap seperti anak sendiri karena sudah tak mempunyai ibu sejak kecil. Dialah yang menjag gadis itu hingga bertumbuh dewasa. Wisnu enggan menikah lagi dan memilih untuk menduda karena rasa cinta yang dalam kepada istrinya.
"Keluarga Ibu Reisa."
"Saya papanya, Dokter," jawab Wisnu cepat. Wajah paruh baya itu menatap dengan penuh harap sembari berdoa semoga apa yang menjadi prasangkanya tak terjadi.
"Bapak bisa ikut saya? Ada hal penting yang harus kita bicarakan."
"Baik, Dokter."
"Aku juga ikut, Mas," pinta Sarah.
"Kamu tunggu di sini. Tolong jagain Reisa."
Wisnu mengekori dokter itu menuju ke sebuah ruangan di belakang. Sementara itu Reisa masih berbaring di bed ditemani oleh Sarah. Gadis itu hanya menangis dan tak mau menjawab apa pun. Lengannya dipasang infus, juga diberikan suntikan penenang karena tadi sempat mengamuk.
"Apa yang terjadi dokter?" tanya Wisnu penasaran.
"Ini ... kasus pemerkosaan, Pak," jelas dokter dengan hati-hati.
"Anak saya diperkosa?"
"Benar, Pak. Hasil pemeriksaan saya menyimpulkan itu. Kami akan melakukan visum lebih lanjut."
"Itu gak mungkin, Dokter."
"Tapi itulah yang terjadi, Pak."
"Saya gak terima!" ucap Wisnu geram sembari menarik kerah baju dokter itu.
"Tenang, Pak. Jangan emosi. Kita bisa perkarakan ini agar pelaku dijerat hukum."
Wisnu melepaskan cekalannya, lalu tertunduk lemas. Rasanya ini tidak mungkin terjadi. Reisa putri satu-satunya yang dia jaga dengan sepenuh hati, kini harus ternoda. Padahal dua bulan lagi dia akan menikah.
"Dokter pasti salah diagnosis. Anak saya--"
"Sabar, Pak. Ini ujian dari Allah."
"Saya tidak terima, Dokter. Ini pasti salah."
Dokter menepuk punggung Wisnu untuk menenangkan. Hingga beberapa saat dia membiarkan laki-laki paruh baya itu menangis untuk meluapkan emosi.
"Pak. Lebih baik Bapak melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib agar segera ditangani. Kami sudah mengumpulkan bukti. Visum adalah data ter-valid untuk menjerat pelaku."
Wisnu tersadar lalu bergegas keluar ruangan setelah berpamitan. Dia menghampiri putrinya yang masih berada di ruang gawat darurat.
"Gimana, Mas?" tanya Sarah khawatir.
"Mas mau ke kantor polisi. Kamu bantu jagakan Reisa sampai dapat kamar," jawab Wisnu cepat.
"Mas, tunggu! Tolong jelasin semua ke aku. Jangan ditutupi. Jangan bikin kami bertanya-tanya kayak gini!" bentak Sarah kesal.
Teriakannya itu membuat beberapa penghuni IGD menatap ke arah mereka. Sejak tadi, semua keluarga menunggu hasil pembicaraan Wisnu dengan dokter dengan hati was-was.
"Reisa ... diperkosa."
"Astagfirullah."
Sarah menutup mulut lalu menatap keponakannya yang masih terbaring lemah di temptlat tidur. Reisa kini terlelap akibat pengaruh obat penenang yang diberikan tadi.
"Mas harus ke kantor polisi sekarang. Pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Ini gak bisa dibiarkan."
Wisnu berjalan keluar untuk menemui Tarno yang masih menunggu di depan.
"Pak Nok, ikut saya. Bapak harus jadi saksi atas kejadian ini."
"Maksudnya, Pak?"
"Jangan banyak tanya, Pak Nok. Reisa sudah dinodai. Ini harus diproses hukum."
Tarno mengekori Wisnu menuju parkiran. Dia hanya menuruti apa saja yang diperintahkan karena ikut kebingungan.
"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Tarno setelah menyalakan mesin.
"Ke rumah tuanmu dulu. Dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya," geram Wisnu.
Tarno menyetir dengan kecepatan tinggi. Hampir saja dia menyerempet seorang pejalan kaki yang hendak menyebrang di zebra cross. Harusnya mobil berhenti dan memberikan jalan.
Sekalipun tadi Reisa tak menyebutkan siapa yang telah menodai putrinya, tetapi dalam hati Wisnu sudah diliputi keyakinan bahwa Andra adalah pelakunya. Hal itu dia simpulkan dari keterangan yang diberikan oleh Tarno saat mengantar putrinya tadi.
Kali ini, dia datang untuk meminta penjelasan, mengapa laki-laki itu melakukannya.
***
"Andra! Andra!" Wisnu menggedor pintu rumah itu dengan kuat. Dia tak peduli jika teriakannya justeru memancing keributan.
"Pak Wisnu, ada apa?" tanya Inah saat membukan pintu. Dia menatap Tarno untuk meminta penjelasan.
"Mana b******n itu?"
"Siapa yang Bapak maksud?" tanya Inah ketakutan.
Wisnu menerobos masuk ke rumah dan mencari orang yang ingin ditemuinya.
"Andra keluar kamu!"
Teriakannya menggema seantero ruangan. Tak lama Andra muncul dan menghampirinya.
"Om, apa--"
Bruk!
Sebuah tinju melayang di wajah Andra. Wisnu menerjang tubuh besar itu karena emosi.
"Astagfirullah. Jangan Pak Wisnu," teriak Inah.
"Hentikan, Pak. Jangan main hakim sendiri," ucap Tarno sembari melerai.
Wisnu menepiskan cekalan lengan Tarno dan berusaha terus menyerang. Sementara itu, Andra sendiri terlihat pasrah sembari mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.
"Dia sudah merusak masa depan anak saya!" teriaknya.
Wisnu mencengkeram baju Andra dengan kuat dan hendak mencekik lehernya jika tak dihalangi Tarno.
"Maaf, Om," lirih Andra kesakitan.
"Maaf? Setelah menodai Reisa?"
"Saya mabuk, Om."
"Bullshit."
Wisnu kembali menendang perut Andra hingga laki-laki itu tersungkur ke lantai.
Inah berteriak dan berusaha melindungi tuannya dengan merentangkan kedua tangan.
"Jangan sakit Den Andra, Pak. Saya mohon." Kali ini Inah bersujud agar Wisnu mau memaafkan.
Wisnu mengepalkan tangan dengan keras karena emosi yang memuncak saat Tarno kembali mencekal kedua lengannya. Untungnya dia masih sadar diri untuk tak ikut memukul Tarno.
"Saya mohon jangan lakukan lagi, Pak," pintanya.
Inah mengucapkan itu dengan air mata yang berlinang. Dia tak tega melihat Andra mengucurkan banyak darah sekalipun tahu tuannya memang bersalah.
"Antar saya ke kantor polisi, Pak Nok. Ini harus diperkarakan."
Wisnu melepaskan diri dan menarik tangan Tarno untuk mengantarnya.
Mobil kembali melaju menuju kantor polisi terdekat. Begitu tiba di sana dia bertanya di bagian penerimaan, di mana tempat untuk melaporkan kasus puterinya.
"Di mana korbannya, Pak?" tanya salah satu petugas.
"Masih di rumah sakit."
Wisnu menjelaskan secara detail saat kejadian dan meminta pihak kepolisian menangani kasusnya. Dengan lantang dia menyebutkan nama Andra karena laki-laki itu sudah mengakuinya.
"Laporan ini kami terima, Pak. Kami akan memprosesnya."
Wisnu mengucapkan hamdalah berulang kali. Setelah itu dia bergegas menemui Tarno.
"Mau ke mana lagi, Pak?"
"Pulang dan bilang pada tuanmu. Siapkan diri untuk masuk ke dalam penjara!"
Tarno tertegun, lalu bergegas meninggalakan kantor polisi dan segera kembali ke rumah. Dia harus segera memberitahukan ini kepada Andra.