Sebuah minivan sederhana meluncur tak terkendali di tikungan tajam, tergelincir di bawah guyuran hujan deras yang mengguyur sore itu.
Tiba-tiba, suara CIIIIT! dari rem yang dipaksa bekerja keras memecah kesunyian, diikuti dengan BRAKK! yang mengguncang udara ketika kap depan menghantam pembatas jalan.
Kaca mobil pecah berserakan dengan suara PRANG! yang memilukan, menggema di tengah hujan. Jeritan Joa tertahan di kerongkongannya, tubuhnya lemas, kesadarannya memudar perlahan, tertelan gelap.
Detik yang bergulir seakan melambat, darah merah mengalir deras dari dahi yang menghantam kaca mobil yang meretak oleh hantaman.
Sesaat sebelum ia kehilangan dirinya, netranya yang secoklat madu melirik sekilas ke arah lelaki yang terbujur di balik kemudi—tak sadarkan diri.
“Ryu,” desisnya sebelumnya akhirnya kegelapan pekat mengambil alih dirinya.
~
Rasa sakit menghujamnya. Kepalanya berdentam keras, seakan sebuah palu terus menghantam tulang tengkoraknya.
Aroma obat menyengat indra penciumannya yang sensitif, selain netranya yang hanya memperlihatkan kegelapan yang nyata.
Suara tangis sendu terdengar. Jeritan yang memekakkan telinga. Samar ia mendengar suara pekik tangis adiknya, Julia, memanggil nama kekasihnya, Ryu.
“Tolong selamatkan dia, Dokter,” pinta perempuan mungil itu, penuh permohonan.
Tidak ada janji terucap, kecuali anggukan kepala singkat yang menandakan bahwa tim medis akan melakukan yang terbaik untuk para korban.
Seseorang menggosokkan sesuatu ke lengannya, membuat Joa akhirnya tersadar dari tidurnya.
“Anda sudah sadar, Nona?” Samar terdengar suara wanita menyapanya lembut, sebelum akhirnya retinanya menangkap sesosok bayangan yang memadat dan membentuk siluet perawat rumah sakit.
“Kau siapa?” Suaranya telah kembali, walau terasa sakit, namun ia akhirnya bisa menggetarkan pita suaranya.
Wanita itu tersenyum lembut, “Saya Christy, perawat yang akan merawat Anda selama di rumah sakit ini. Sekarang istirahatlah, Dokter akan segera memeriksa Anda.”
Joa berbaring sesuai instruksi. Memejamkan matanya yang terasa semakin berat. Saat akan terlelap, seseorang datang menerobos kamar tempat ia diistirahatkan.
“Bangun!” bentak orang itu sambil memukuli lengannya yang kebas.
Joa membuka matanya cepat, kontras dengan respon tubuhnya yang lambat.
“Kau harus tanggung jawab, dasar pembunuh!” Itu adalah suara adiknya, menuduhnya sebagai pembunuh.
Joa terdiam, memilih mengunci bibirnya rapat. Dia hanya menatap ke arah adiknya, Joel. Lelah menghadapi kenyataan yang terus menghantuinya.
“Kau lihat apa yang telah kau lakukan, hah?”
Hening menyemarakkan suasana di sekeliling mereka.
“Dasar pembunuh! PEMBUNUH!!!” jerit Joel terus melontarkan cacian dan hinaan itu padanya.
Joel berdiri di hadapan Joa, dadanya naik turun menahan amarah yang nyaris meledak. Matanya merah, entah karena tangis yang tertahan atau kebencian yang kini memenuhi dirinya.
“Dia sekarat karena kau, Joa,” ucap Joel dengan suara lebih rendah, namun jauh lebih menusuk. “Kau yang duduk di sampingnya, kau yang selamat… dan Ryu sekarang sekarat di rumah sakit. Seharusnya kau saja yang MATI!”
***
Joa terdiam, kata-kata Joel seperti pisau yang menembus jantungnya. Setiap kata, setiap bentakan, seakan menghantam lebih dalam dari apapun yang pernah ia rasakan. Kepalanya berdenyut keras, rasa sakit yang datang bukan hanya karena benturan fisik, tetapi juga karena sakitnya pengkhianatan yang tersembunyi di dalam hatinya.
Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, menjelaskan semua yang terjadi, namun suara itu terbungkam oleh rasa bersalah yang menggulungnya. Apa yang terjadi tadi? Kenapa ia yang selamat? Kenapa Ryu yang terbaring sekarat? Semua pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepalanya, semakin mempersulit dirinya untuk berpikir jernih.
“Joa, jawab aku!” suara Joel kembali memecah kesunyian, menggetarkan tubuhnya yang masih lemah. “Kau tak merasa bersalah? Kau pikir bisa lari dari kenyataan? Kau yang membuat Ryu terluka, kau yang membawa dia ke dalam bahaya!”
Air mata menetes di pipi Joel, membuatnya terlihat rapuh, meskipun amarah yang membara di matanya masih jelas terlihat. Joa merasa dirinya semakin tenggelam dalam penyesalan yang begitu dalam, seakan tak ada jalan keluar. Dalam keheningan itu, hanya ada suara detak jantung yang keras di telinga Joa, dan pandangan Joel yang tajam menembusnya.
“Apa yang harus aku lakukan, Joel?” bisik Joa akhirnya, suaranya pecah. Ia tahu pertanyaan itu tak akan mengubah apa pun, tapi ia perlu melepaskan segala perasaan yang membelenggunya. “Aku… aku tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku… aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.”
Joel tidak menjawab. Hening menyelimuti kamar itu sejenak, hanya ada suara napas mereka yang beradu. Joa bisa merasakan amarah Joel masih membara, tapi ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya diam. Sesuatu yang lebih gelap dari sekadar kemarahan—sesuatu yang membuat Joel merasa sangat kehilangan.
Joa menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Mungkin ini saatnya untuk menerima kenyataan dan berhadapan dengan apa yang telah ia sebabkan. Tidak ada lagi yang bisa mengubah apa yang telah terjadi. Ia harus bertanggung jawab, entah bagaimana caranya.
“Maafkan aku, Joel,” suara Joa semakin lirih, hampir tak terdengar. “Aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki semuanya.”
Tapi Joel tidak mendengarnya. Ia berbalik, melangkah keluar dari ruangan dengan langkah cepat, meninggalkan Joa dalam kesendirian dan penyesalan yang semakin dalam. Di luar sana, ada banyak hal yang harus ia hadapi—kehidupan yang tak akan pernah sama lagi, dan rasa bersalah yang akan terus menghantui.
Joa kembali berbaring, menatap langit-langit kamar rumah sakit yang sepi. Di luar jendela, hujan masih mengguyur, membawa hawa dingin yang menusuk. Namun, di dalam dirinya, ada rasa yang lebih dingin dari apapun—rasa hampa, rasa kehilangan yang kini mulai menghimpitnya.
"Apa kau tanya padaku apa yang bisa kau lakukan untuk menebus kesalahanmu?" Suara Joel dingin membekukan.
Joa menelan salivanya susah payah. Takut menghadapi ucapan setajam pisau yang akan ia dengar.
"Matilah sekarang juga, gantikan posisi Ryu."
***