Tensi di ruangan itu tiba-tiba menurun drastis, seakan-akan seluruh udara di sekitar mereka mengering dalam sekejap. Suasana yang sebelumnya dipenuhi hiruk-pikuk petugas medis dan alat-alat rumah sakit yang berbunyi kini berubah menjadi hening dan menyesakkan. Jeritan alarm terdengar memekakkan telinga, seolah memperingatkan bahwa waktu mereka semakin habis.
Dokter yang bertanggung jawab segera melangkah cepat, wajahnya mendadak serius. “Ada apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran yang tertahan.
“Tensi pasien menurun drastis, Dok! Kadar oksigen pun berkurang!” jawab salah seorang perawat, suaranya gemetar. Di wajahnya tergambar ketegangan yang sama, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja mereka amati.
Tanpa membuang waktu, dokter itu langsung menghampiri monitor pasien, memeriksa dengan teliti, lalu mengecek suhu tubuh dan nadi Ryu yang semakin lemah. Matanya berkilat tajam, jelas terpantul rasa cemas yang semakin memuncak. Dengan tangan gemetar, dokter itu memeriksa alat-alat medis secepat kilat, memutar tombol, mengatur aliran oksigen, namun tidak ada yang berhasil mengubah kondisi pasien.
“Bagaimana, Dok?” tanya perawat lain dengan cemas, hampir tak sanggup menyaksikan keadaan yang semakin kritis.
Dokter itu menghela napas berat, wajahnya semakin pucat. Ia menoleh ke belakang, mencari dua wajah yang penuh kecemasan—Joa dan Joel yang kini berdiri di luar ruang perawatan intensif, menatapnya dengan penuh harap.
“Ini serius,” suara dokter itu berat, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya merupakan beratnya takdir yang sedang dihadapi. “Pasien mengalami pendarahan di bagian otaknya. Jika tidak kita lakukan tindakan sekarang juga, nyawa pasien tidak akan bisa tertolong.”
Joa merasakan perasaan seolah jantungnya berhenti berdetak. Tubuhnya seakan membeku, tak tahu harus bergerak ke mana. Joel yang berdiri di sampingnya hanya bisa menatap dokter itu dengan mata yang penuh ketakutan, mulutnya kaku, seakan tak bisa mengeluarkan kata-kata.
“Apa dia akan mati, Dok?” Joel akhirnya mengeluarkan suaranya, nada suaranya serak, seakan-akan ia takut mendengar jawaban yang akan datang.
Dokter itu menatap Joel dengan ekspresi yang penuh penyesalan. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin, tapi… keadaannya sangat kritis. Waktu kita terbatas.”
Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Joel. Ia merasakan seluruh tubuhnya terhuyung, kehilangan keseimbangan sejenak. Sebuah perasaan berat yang sulit digambarkan merayapi dirinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya bisa menatap Joa yang kini memegang tangannya erat, wajahnya penuh kecemasan.
“Dokter, tolong… tolong selamatkan dia,” suara Joa pecah, penuh dengan permohonan. Tangannya gemetar saat ia berbicara, suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi setiap kata itu keluar dengan segenap harapan yang tertinggal.
Dokter itu mengangguk pelan, namun wajahnya tetap tidak menunjukkan keyakinan. “Kami akan berusaha sekuat tenaga, tapi ini bukan keputusan yang mudah. Kami butuh persetujuan untuk operasi segera.”
Joel menatap Joa, matanya penuh kebingungan, ketakutan, dan rasa putus asa yang mendalam. “Tiga ratus juta… untuk operasi?” suaranya terputus-putus, seolah-olah kata-kata itu begitu berat untuk diterima. “Kita tidak punya uang sebanyak itu! Kita bahkan tak tahu di mana keluarga Ryuta!”
Joa tidak bergeming. Wajahnya penuh dengan tekad yang begitu kuat, seakan tak ada lagi yang bisa menghentikan langkahnya. “Tidak ada waktu untuk itu, Joel,” jawabnya, suaranya tegas, meski matanya berkaca-kaca. “Ryu harus selamat. Aku akan mencari uang itu, apapun yang terjadi.”
Joel terkejut, menatap Joa dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. “Kau gila? Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Bahkan keluarga Ryuta tidak ada di sini.”
Namun Joa hanya menatapnya dengan mata yang penuh tekad. “Aku akan lakukan apapun, Joel. Tidak ada pilihan lain.”
Sementara itu, dokter kembali menghampiri mereka, wajahnya kembali serius. “Tolong segera ambil keputusan,” ujarnya dengan nada yang lebih mendesak. “Kami hanya punya waktu beberapa menit untuk mengambil tindakan, jika tidak, kami tidak bisa menjamin nyawa pasien.”
Joel hampir kehilangan kendali, tangannya gemetar hebat. Ia menatap ke arah Joa, yang matanya dipenuhi tekad dan cinta yang mendalam. Semua yang ada di dalam dirinya tahu bahwa ini adalah pilihan yang sangat berisiko, namun jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ryu, apakah ia bisa membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja?
Joa menggenggam tangan Joel, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Kita harus lakukan ini. Kita akan selamatkan Ryu.”
Keheningan menguasai ruangan itu. Joel menatap kakaknya, matanya penuh kecemasan, namun di balik itu ada keputusasaannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengangguk pelan.
“Baiklah,” bisiknya. “Lakukan sekarang, Dok. Apa yang harus kami lakukan?”
Dokter menghela napas panjang, seolah lega, namun wajahnya masih penuh ketegangan. “Tolong segera siapkan biaya untuk operasi. Ini adalah satu-satunya harapan kita.”
Joa mengangguk sekilas, wajahnya kini dipenuhi tekad. Ia tahu tantangan besar menanti di depannya. Tapi demi menyelamatkan Ryu, ia akan melawan apapun yang menghalanginya.
“Lakukan saja operasinya, Dok,” ucapnya, suaranya mantap meskipun hatinya bergejolak. “Apapun yang terjadi, saya akan mencari cara untuk membayar biaya itu.”
Dokter itu menatapnya sekilas, tampak ragu, namun tetap mengangguk. “Kami akan memulai segera. Tapi sekali lagi, ini keputusan yang sangat berisiko. Pastikan Anda siap menghadapi segala kemungkinan.”
Joa mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang sangat berbahaya, namun ia tak punya pilihan lain. Ryu, pria yang sangat ia cintai dan juga Joel cintai, kini terbaring di ambang kematian, dan ia tidak bisa berdiam diri. Rasa bersalah akan menghantuinya jika dirinya tidak melakukan apapun demi menyelamatkannya.
Namun, saat dokter dan petugas medis mulai bersiap untuk membawa Ryu ke ruang operasi, Joel mengangkat suaranya, penuh kecemasan. “Joa, tunggu!” teriaknya dengan panik, meraih lengannya.
Joa menoleh, melihat wajah adiknya yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Apa, Joel? Ryu butuh kita sekarang!” jawabnya, suaranya mulai meninggi, gelisah menunggu keputusan yang telah mereka ambil.
“Apa kau benar-benar yakin?” suara Joel bergetar, gemetar penuh keputusasaan. “Kau tahu kita tidak punya uang sebanyak itu! Bahkan kalau kita menjual segala yang kita punya, itu masih jauh dari cukup untuk tiga ratus juta! Kita tidak punya siapa-siapa, Joa!”
Dada Joa mengembang kempis dengan cepat, sambil menarik napas dalam-dalam, matanya sedikit terpejam. Ia tahu betul apa yang dikatakan Joel. Keluarga mereka bukan keluarga kaya. Mereka hanya orang biasa yang bekerja keras untuk bertahan hidup. Mereka tidak punya tabungan yang cukup, apalagi jika harus mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sangat singkat.
“Joel, aku tahu itu. Aku tahu kita tidak punya apa-apa,” jawab Joa pelan, suaranya dipenuhi tekad dan juga keraguan yang dalam. “Tapi jika kita tidak melakukan ini sekarang, kita akan kehilangan Ryu selamanya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Joel terdiam sejenak sebelum akhirnya Joa memecah keheningan, "Aku bukan pembunuh, Joel. Bagaimana pun aku akan melakukan apapun demi menyelamatkan Ryu."
***