8. Semoga Hanya Mimpi

1506 Words
Usia pernikahan Mario dan Fina sudah dua minggu. Sebenarnya rumah tangga mereka rukun-rukun saja, tapi Fina masih dingin menanggapi setiap kemesraan dan keromantisan dari Mario. Seperti siang ini, Fina minta diantar ke pusat perbelanjaan dan kebetulan tempatnya tidak jauh dari kantor Mario. “Nanti kalau udah kelar chat aja ya, Veris,” ucap Mario saat mobil berhenti di drop zone. Fina berdecak. “Aku bisa pulang sendiri, Bang. Aku bukan anak kecil lagi,” ujar Fina sambil mendengus. “Udah jadi kewajiban Abang. Ya udah kamu masuk, gih,” ujar Mario tidak bisa diganggu gugat. Saat Mario hendak mencium pipi Fina, yang ada perempuan itu langsung berbalik badan, keluar dari mobil begitu saja. Mario hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah dan menghela napas panjang.  “Butuh kesabaran tingkat dewa untuk menaklukan kamu ternyata ya, Veris,” tukasnya setelah kepergian Fina. Fina melangkah memasuki ke lebih dalam pusat perbelanjaan. Langkahnya santai sambil sesekali memasuki outlet sepatu brand ternama. Hari ini penampilannya sangat cantik dan casual. Mengenakan tanktop berwarna putih dibalut blazer berwarna navy, untuk celananya Fina memilih celana ripped biru denim yang dipadukan dengan wadges berwarna navy senada dengan blazernya. Rambut sepundaknya diikat menjadi satu membentuk ekor kuda. Saat hendak memasuki sebuah outlet jam tangan, pundak Fina ditepuk pelan oleh seseorang. “Kamu Fina 'kan?” sapa laki-laki muda bersuara serak-serak basah tersebut. Fina memicingkan mata mencoba mengingat siapa laki-laki yang sedang berdiri tegak di hadapannya ini. “Bagas? Bagas Septian?” tanyanya. “Iya ini aku Bagas. Kamu apa kabar?” Laki-laki bernama Bagas tersebut menyodorkan tangan kanannya dengan sopan.  “Baik aja.” “Kamu sama siapa?” “Sendiri aja, Gas,” jawab Fina setelah balas menjabat tangan laki-laki bernama Bagas itu. “Fin, ngobrol yuk. Aku juga lagi sendiri. Tadi janjian sama temen, tapi udah cabut duluan.” Fina mengangguk antusias lalu berkata, “oke boleh.” Dia juga memang mulai bosan sendirian. Keduanya kemudian mencari sebuah tempat nyaman untuk ngobrol. Pilihan jatuh pada coffe shop yang masih berada di sekitar pusat perbelanjaan. Bagas Septian adalah seorang cabin crew atau pramugara di maskapai penerbangan yang sama dengan Fina. Keduanya memang cukup akrab dulu karena sering berada di jadwal penerbangan yang sama. Bagas banyak cerita tentang kondisi tempat kerja mereka semenjak Fina resign. “Jadi Rafael pindah ke maskapai kita, Gas? Sejak kapan?” Fina terkejut dengan informasi pertama yang disampaikan oleh Bagas. “Udah tiga apa empat bulan ini. Kept Rafael sekarang juga domisili di Jakarta loh, Fin.” “Are you seriously?” Kedua bola mata Fina melotot sempurna. “Yes. Kalian kenapa bisa divorce? Setahuku Kept Rafael cinta mati sama kamu. Sampai dia rela pindah maskapai ecek-ecek demi supaya kamu bisa tetep terbang waktu itu.” Fina memandang ke kaca jendela di sampingnya dengan pandangan kosong. Memikirkan perkataan Bagas dan membayangkan cinta yang pernah diberikan oleh Rafael. Ach, membayangkannya saja masih bisa membuat hati Fina menghangat. Rafael adalah pilot termuda dan terbaik yang dimiliki oleh maskapai penerbangan terbesar di negeri ini. Kebetulan Fina juga merupakan pramugari di maskapai tersebut. Setelah perkenalan singkat, keduanya menjalin hubungan serius lalu akhirnya memutuskan menikah. Rafael mengundurkan diri dan pindah ke maskapai lain yang notabene memang lebih kecil dan jangkauan terbangnya hanya seputar Indonesia dan Asia tenggara saja. Sedangkan Fina tetap dengan maskapai yang menuntutnya untuk siap terbang hingga ke langit Eropa dan Amerika. Bagas menegur Fina, karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Akhirnya Fina hanya bisa memberi jawaban berupa senyum kelu. “Kamu nggak curiga gitu ada pihak yang harus bertanggung jawab di balik perpisahan kamu sama Rafael?” “Maksud kamu gimana, Gas?” “Apa pun alasan kalian pisah, kamu percaya gitu aja sama Rafael? Kamu nggak pernah mencoba mencari tahu lebih jauh?” tanya Bagas tersenyum penuh arti. Fina mengembuskan napas kasar. “Semua sudah terlambat kalau aku harus cari tahu lagi,” jawabnya lemah. “Coba kamu cari tahu tentang Sandrina. Karena dia kelihatan menjadi pihak yang paling bahagia saat kamu divorce, Fin.” Fina menganga menatap Bagas, seolah tidak percaya. Bagas kembali mengangguk pasti. Kemudian Fina teringat akan chat terakhir dengan Sandrina beberapa waktu lalu. Fina membuka aplikasi w******p dan membuka kontak telepon milik Sandrina. Dilihatnya display picture kontak Sandrina, dia sedang duduk di tepi kolam renang dengan seorang pria. Sayangnya pria itu hanya menampakkan punggungnya, karena Sandrina mengambil foto mereka dari arah belakang. Sandrina sendiri terlihat sedang merebahkan kepala di pundak pria tersebut. Statusnya hanya menunjukkan lokasi mereka yaitu di Seminyak, Bali. Fina lantas menyodorkan ponselnya kepada Bagas. “Itu Rafael kali, Fin. Masa iya kamu udah lupa sama postur tubuh mantan suamimu?” Fina geram, wajah putihnya mendadak memerah. Fina membanting ponselnya ke meja lalu meneguk habis coffe latte di hadapannya. Perlahan air mata menerobos paksa keluar dari sudut matanya. “Salah aku apa ya, Gas? Sampai Ina bisa sejahat ini sama aku?” “Denger-denger mereka kumpul kebo udah setahun ini. Gila nggak? Aku bukannya mau jadi kompor atau jadi ibu-ibu biang gosip. Cuma kenapa takdir bisa mempertemukan kita, itu artinya kamu emang harus tahu semua dari aku. Sorry...., kalau membuat perasaan kamu jadi nggak nyaman.” Bagas mengusap punggung tangan Fina, sebagai respon prihatin kepada temannya. Lantunan suara Ed Sheeran menyanyikan lagu I See Fire mengalun beberapa kali dari ponsel Fina. Hingga panggilan ketiga baru Fina menggubris ponselnya yang tergeletak di meja. Ada nama Bang Iyo di layar ponsel. “Ya, Bang?” Fina menjawab panggilan telepon dari Mario dengan suara sedikit serak. “Kamu kenapa? Kayak habis nangis?” tanya Mario risau. “Nggak kenapa-kenapa, Bang,” kilah Fina. “Udah selesai jalan-jalannya? Abang temenin aja ya. Kebetulan Abang sedang nggak ada kerjaan penting juga di kantor.” “Enggak usah, Bang. Nih aku dah mau balik kok. Lagi nungguin taksi.” “Kan tadi Abang udah bilang pulangnya Abang jemput.” Telepon diputus secara sepihak oleh Fina. Di seberang sana Mario menahan kesal. Dia mengempaskan tubuh ke sandaran kursi kerjanya. “Apa lagi ini, Veris? Harus bagaimana supaya kamu mau membuka sedikit aja pintu hatimu untuk aku?” keluhnya  sambil menatap langit-langit ruang kerjanya. Mario mencoba menghubungi Fina sekali lagi, tapi ponsel Fina sudah tidak aktif. *** Malam harinya Mario harus lembur dan baru kembali ke apartemen lebih larut dari jam pulang biasanya. Namun seperti biasa, Fina tidak begitu memedulikan meski hanya sekadar basa basi bertanya keberadaan Mario atau sedikit memberikan Mario perhatian kecil seperti menanyakan apa suaminya itu sudah makan atau belum. Mario memasuki apartemen pukul sembilan malam. Suasana apartemen sudah remang-remang, hanya diterangi sebuah lampu hias di atas nakas dekat televisi. Mario memasuki kamar dan tidak menemukan Fina di dalamnya. Terdengar suara percikan air dari dalam kamar mandi. Mario membuka pintu kamar mandi perlahan. Dilihatnya Fina duduk bersandar di bawah shower, matanya terpejam antara tertidur atau pingsan Mario tidak tahu. “Astaghfirullah ... VERIS!!!” teriak Mario saat melihat kondisi Fina. Mario langsung mematikan shower dan mengambil handuk tebal dari lemari penyimpanan di kamar mandi. Langsung saja tubuh Fina dibalut handuk dan dibopong ke tempat tidur. Tanpa pikir panjang, Mario berinisiatif melucuti semua pakaian hingga pakaian dalam Fina yang basah kuyup lalu menggantinya dengan pakaian kering. Namun Mario tidak berani menatap tubuh polos Fina, jadi tubuh Fina ditutup oleh selimut tebal dan juga sambil menutup mata saat membuka dan mengganti pakaian Fina. Meskipun mereka adalah pasangan suami istri yang sah, Mario memegang teguh janjinya untuk tidak menyentuh Fina sampai dia sudah betul-betul bisa menerima Mario tanpa ada sedikitpun bayang-bayang Rafael. “Maafkan Abang karena tidak bisa menjagamu dengan baik,” Mario mengusap kepala Fina dengan lembut. Fina bergeming, matanya tetap terpejam dan napasnya agak berat. *** Keesokan paginya, Fina bangun dengan kepala berat. Namun ia tetap memaksakan diri untuk bangun untuk menjalankan rutinitas paginya. Cerita Bagas kemarin masih terngiang jelas di telinga Fina, bahkan berkali-kali berputar ulang. Bukan tidak sengaja terputar ulang, tapi Fina lah yang dengan sengaja memutar ulang setiap kata yang disampaikan Bagas. Dia seolah sedang mencari kebenaran dari cerita Bagas melalui intuisinya sendiri. 'Sandrina udah nggak terbang lagi, kata temen-temen dia hamil anak Rafael.' Informasi yang terakhir adalah hal yang paling tidak bisa dicerna dan diterima oleh akal sehat Fina. Bagaimana bisa Rafael mempunyai hubungan dengan perempuan yang pernah sangat tidak disukai bahkan dibenci oleh Fina. Lalu sekarang Sandrina sedang hamil anak Rafael? Fina seketika memvonis dirinya salah. 'Kamu mandul Fina. Kamu tidak bisa menyempurnakan dirimu sebagai seorang wanita sejati. Tidak lama lagi giliran Mario yang akan mengempaskan kamu.' Suara setan di pikiran kosongnya menggema berkali-kali hingga membuat Fina tiba-tiba menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya. “Nooo...,” tiba-tiba Fina berteriak histeris. “Kenapa Veris? Are you oke?” Kehadiran Mario di sampingnya bahkan tidak disadari oleh Fina. Mario menyentuh hidung mancung Fina dengan ujung telunjuknya. Namun Fina hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap ponselnya. “Ke Bandung yuk!” ajak Mario mendapati Fina tak menghiraukannya. “Mager bang.” “Ya elah, jangan bikin pulau mulu dong. Sekali-kali berlayar di lautan,” canda Mario. “Iddih..., siapa juga yang bikin pulau. Lagian kayak nelayan aja pakek berlayar.” “Buru ganti baju, kita kuliner di Bandung.” “Ogah, takut kolesterol tinggi.” Mario terkekeh menanggapi jawaban asal dari mulut Fina. Tidak lama ponsel Fina berbunyi dan memunculkan notifikasi pesan singkat di layar ponselnya. Mario melirik dilihatnya ada nama Ina Inova yang menjadi pengirim pesan singkat tadi. Wajah Fina berubah dingin saat menatap layar ponselnya, seolah-olah enggan untuk membuka pesan tadi. Mario menyentuh bahu Fina dengan bahunya demi membuyarkan lamunan Fina. “Kenapa nggak dibuka chatnya?” tanya Mario. “Nggak penting juga,” jawab Fina malas. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD