Mario menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari biasanya sore ini. Diraihnya ponsel yang sedari tadi tergeletak di ujung meja kerjanya. Tidak ada satupun pesan bernada perhatian dari Fina untuknya. Mario hanya bisa mendesah kecewa. Dia lalu mencoba mengirimi chat pada Sandrina, setelah tidak sengaja mengintip nama kontak w******p Sandrina di ponsel Fina. Terlibat percakapan singkat sebentar keduanya sepakat untuk melakukan janji temu. Ada hal yang ingin Mario utarakan pada Sandrina tapi tanpa melibatkan Fina. Mario menghela napas panjang lalu berdoa semoga keputusannya menemui Sandrina tidak salah.
15 menit kemudian Mario keluar dari ruangannya, menuju pantry untuk membuat secangkir teh hangat sebagai pelepas lelahnya hari ini. Entah kenapa perasaannya jadi tidak keruan semenjak mengirim pesan pada Sandrina. Dia begitu memikirkan penjelasan apa yang akan dia dengar dari Sandrina sampai perempuan itu sangat ingin menemui Fina yang jelas-jelas tidak ingin bertemu dengan dia. Mario benar-benar penasaran soal itu.
Selepas solat magrib di masjid kantornya, Mario langsung meluncur ke lokasi pertemuan dengan Sandrina. Pukul setengah enam sore waktu setempat,, Mario memarkir mobilnya di halaman parkir coffee shop terkenal di seputaran jalan MH. Thamrin.
Mario melenggang santai sambil sesekali membenahi letak kacamatanya yang merosot. Saat membuka pintu kaca pandangannya langsung beredar ke seluruh penjuru ruangan, dilihatnya seorang perempuan dengan postur tubuh mirip Fina, berpotongan rambut model bob, memiliki bentuk mata cenderung sipit sedang duduk sendiri di kursi dekat jendela besar. Perempuan itu mengenakan dress hamil berwarna hitam berenda. Setelah Mario meyakini perempuan itu adalah Sandrina, ia melangkah semakin dekat.
“Sandrina?” sapa Mario saat sudah berada di hadapan perempuan tersebut.
“Iya betul. Mas Mario?”
Mario mengangguk lalu duduk di kursi di hadapan Sandrina. “Sudah lama nunggunya?” tanya Mario sopan.
“Baru aja, Mas. Aku pesen minum duluan, nih, untuk aku doang. Maaf ya, soalnya nggak tahu seleranya Mas Mario.”
“Iya nggak apa-apa. Oya perkenalkan saya Mario.” Mario mengulurkan tangannya dengan sopan. Tanda resmi perkenalan mereka berdua.
“Saya Sandrina, panggil aja Ina.”
“Oke Ina, saya langsung saja, ya. Saya meminta pertemuan ini hanya mau bilang, tolong jangan ganggu istri saya lagi. Jangan kirimi dia chat apa pun apalagi mengajak dia untuk ketemuan. Itu sangat mengganggu kehidupannya. Dia sudah tidak ingin menemui kamu lagi.”
Sandrina terlihat menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak niat ganggu Fina. Aku cuma pengen menjelaskan kesalah pahaman dan sebuah persoalan penting yang belum pernah ia tahu kebenarannya. Aku pengen meluruskan semuanya supaya dia nggak semakin salah paham terhadap aku apalagi Rafael. Aku juga sangat ingin memperbaiki hubungan kami, Mas.”
Mario diam menatap kosong jalanan di samping kaca jendela. Lalu lalang orang yang melintasi trotoar di depan kafe senja itu lebih menarik baginya, daripada harus menatap lama-lama perempuan yang bukan mahramnya, hal itu membuatnya menjadi merasa bersalah pada Fina karena nekat menemui perempuan lain di belakang Fina. Namun di satu sisi dia sangat penasaran pada masalah pribadi antara Sandrina dan Fina yang tidak akan mungkin dia dapatkan jawabannya dari Fina, dan sebenarnya dia juga tidak suka ikut campur dengan masa lalu Fina.
“Tolong jangan salah paham sama aku apalagi Rafael mas,” ucap Sandrina menyadarkan Mario dari lamunan singkatnya.
“Fina begitu terpukul karena perceraiannya. Jadi lebih baik kamu maupun Rafael jangan lagi-lagi hadir di kehidupan Fina,” jawab Mario dengan nada bicara penuh penyesalan.
Sandrina menghela napasnya lalu menghembuskan dengan kasar seperti sedang mendengkus kesal. “Fina tetep aja ngga berubah. Kapan dia bisa menjadi manusia yang mudah menerima kenyataan. Dasar drama queen,” gerutunya.
Mario menatap kedua manik mata Sandrina sesaat, lalu menjawab, “maksud kamu apa mengejek istri saya seperti itu?” tanyanya tidak terima.
“Mas Mario nggak tahu seperti apa Fina, ya? Apa kalian belum lama kenal? Atau kalian dijodohkan?” cecar Sandrina tanpa merasa ada yang salah dari ucapannya.
“Saya saudara sepupu Fina. Ibu-ibu kami bersaudara, kandung,” jawab Mario dingin.
“Loh, bentar deh. Aku mau mengingat satu hal. Fina dulu sering banget cerita soal sepupunya juga saat kami masih SMA dulu.” Sandrina sedikit memajukan posisi duduknya.
“Cerita apa, cepat katakan! Saya tidak punya banyak waktu.” Mario terlihat enggan mendengar cerita Sandrina.
“Aku akan cerita asal mas Mario janji satu hal?”
“Janji apa Ina?”
“Mas harus bantu aku ketemu Fina.”
Mario berpikir singkat. Waktu dan rasa penasarannya pada cerita Sandrina membuat dia llalu mengangguk setuju dengan tawaran yang disampaikan oleh Sandrina. Kemudian Sandrina mulai bercerita tentang masa-masa SMA-nya dengan Fina.
“Intinya Mas Rio atau yang dulunya aku kenal sebagai Bang Iyo itu adalah cinta pertama buat Fina, juga sekaligus orang pertama yang membuat Fina patah hati,” ucap Sandrina sambil menyesap minumannya yang hampir tandas.
“Tapi selama ini Fina tidak pernah menunjukkan gelagat memiliki perasaan lebih terhadap saya. Dia malah sering cerita soal gebetannya, pacarnya dan bla bla seputar kisah asmaranya.”
Sandrina tertawa hingga mata sipitnya semakin kelihatan seperti nyaris terpejam. Mario heran melihat respon Sandrina yang justru tertawa seperti itu.
“Sudah aku bilang Fina itu drama queen, Mas. Hidupnya nggak enak kalau nggak ada drama. Dia ngomong gitu karena sengaja mau bikin Mas Rio jealous kali.”
“Maksud kamu?”
“Sebelum Mas Rio nikah, Fina itu pacaran cuma sekali doang, itu pun sama cowok nggak bener. Dia justru berubah jadi bad girl semenjak Mas Rio nikah.”
“Bad girl kamu bilang?”
“Iya gitu, deh. Fina sering gonta ganti cowok, dan mematahkan hati tiap laki-laki yang menjalin hubungan dengannya. Nggak jarang juga Fina merusak hubungan orang lain. Sampai akhirnya dia ketemu Rafael. Semenjak menjalin hubungan asmara dengan Rafael, baru dia bisa move on dari Mas Rio.”
“Apa benar semua yang kamu ceritakan soal tadi Ina?”
“Bener, Mas,” jawab Sandrina mengangguk pasti.
Keduanya terdiam. Mario kembali menatap keluar kaca jendela di sampingnya. Sedangkan Sandrina melanjutkan menikmati matcha cake yang tinggal setengah di piring ceper berukuran tidak terlalu lebar.
“Lalu apa yang kamu ketahui tentang perceraian Fina dan Rafael?” Mario menanyakan hal yang mengganggu pikirannya beberapa hari ini.
“Rafael mandul mas, dan Fina nggak tahu soal itu. Fina itu pengen banget punya anak, sedangkan Rafael nggak akan pernah bisa memenuhi keinginan Fina yang satu itu. Rafael sebenarnya cinta sama Fina, tapi dia ingin melihat wanitanya itu bahagia. Rafael tidak ingin Fina semakin tersakiti bila tahu kenyataan Rafael mandul. Dan satu hal lagi, di kandunganku ini bukan anaknya Rafael, ini anak mendiang calon suami aku.”
Mario terkejut mendengar jawaban Sandrina. Kenyataan apa lagi ini, belum habis pikir Mario menelaah kenyataan bahwa dugaannya benar memang Fina mencintainya sejak dulu, sekarang Sandrina memberinya kenyataan baru Rafael dan cerita sebenarnya soal kehamilan Sandrina.
“Mas Rio aku duluan ya. Rafael udah hampir sampai rumah. Aku nggak enak kalau dia tiba duluan di rumah daripada aku.”
“Tapi Ina, aku masih nggak paham sepenuhnya tentang yang kamu ceritakan.”
“Lain waktu kita ketemuan lagi, Mas. Aku akan cerita detailnya. Maaf ya, Mas, aku buru-buru.”
Sandrina bergegas meninggalkan Mario yang masih terpaku dalam diamnya, dalam keterkejutannya. Sepertinya hati dan otaknya belum siap menerima banyak kenyataan. Dilihatnya jam tangan dengan tali stainless steel di pergelangan lengan kanannya, sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Ibu jarinya mulai menyentuh layar sentuh ponselnya dan mengetik pesan untuk Fina.
Mario M. Zaki:
'Udah makan malam? Mau titip apa? Abang otewe pulang nih.'
F. Veristha:
'Ngga ada bang'.
Mario meninggalkan kafe dengan perasaan kacau. Penyesalan tidak hentinya menghantui pikirannya. Kenyataan bahwa selama ini Fina yang tak lain adalah adik sepupunya memang mencintainya bukan hanya sekadar dugaannya saja, dan Mario juga yang justru menyakiti dan menghancurkan perasaan orang yang dicintainya itu. Rasanya Mario ingin terus memaki kebodohannya yang tidak menyadari semua itu dari awal. Penyesalan yang teramat dalam terus membayangi pikirannya sepanjang jalan. Seharusnya dulu dia lebih kuat memperjuangkan Fina, bukan malah justru meninggalkan begitu saja. Ternyata dia selama ini salah duga. Dia mengira bahwa hanya dialah yang jatuh cinta pada Fina. Dia tidak pernah menduga kalau ternyata Fina juga jatuh cinta padanya.
Mario melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, karena ingin segera sampai ke apartemen lalu memeluk istrinya itu. Sekitar 20 menit kemudian Mario sudah sampai di depan pintu apartemen. Saat ia membuka pintu, apartemennya masih cukup terang. Ada suara orang ngobrol samar-samar dari ruang televisi. Fina sedang menerima telepon dari Bagas, dia tidak menyadari kedatangan Mario. Saat Mario menepuk pundak istrinya secara perlahan, membuat Fina tiba-tiba memutuskan sambungan teleponnya dan meletakkan begitu saja ponselnya di atas meja.
“Maaf ya, abang pulang terlambat malam ini,” ujar Mario sambil tetap tersenyum.
Fina membalas senyuman itu. “Enggak apa-apa. Bang Iyo udah makan?” tanyanya.
“Belum. Veris masak apa?”
“Ada sayur asam Jakarta sama ikan gurami goreng,” jawab Fina kemudian melangkah ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Mario.
“Tadi lagi telponan sama siapa?” tanya Mario sepeninggal Fina.
“Temen lama waktu masih di Surabaya. Bang Iyo mandi aja, aku goreng ikannya dulu.”
Mario melanjutkan langkahnya ke dalam kamar. Tak membutuhkan waktu lama, keduanya sudah siap di meja makan lalu makan dalam keadaan hening. Seperti biasa Mario yang mencuci piring serta gelas kotor, sedangkan tugas Fina adalah membereskan meja makan. Setelah menyelesaikan pekerjaan di dapur, Fina langsung masuk kamar tanpa menunggu apalagi mengajak Mario turut serta dengannya ke kamar.
“Udah solat isya, Veris?” tanya Mario dari ambang pintu kamar.
“Udah, Bang,” jawab Fina sambil menarik ujung selimut menutupi hingga pinggangnya.
Usia pernikahan Fina dan Mario memang sudah memasuki usia empat minggu. Namun belum sekalipun Mario melakukan tugasnya sebagai suami di ranjang. Fina selalu menghindar dan Mario tidak pernah memaksa Fina sampai betul-betul dia telah siap. Mario merasakan sesak di dadanya, atas perlakuan Fina yang selalu mengacuhkan dirinya selama ini. Membuat Mario semakin merasa bersalah karena telah meninggalkan Fina dulu, terlebih lagi akibat keputusannya menikah itulah akhirnya membawa Fina merasa menjadi istri yang tidak berguna karena tidak bisa memberikan anak di pernikahannya yang pertama. Padahal Fina belum tahu kenyataan yang sebenarnya kalau Rafael lah yang mandul.
“Maafkan Abang ya, sayang,” bisik Mario. “Kasih abang kesempatan untuk membuatmu bahagia,” ucapnya lembut lalu ikut tertidur menghadap punggung istrinya.
Menjelang dini hari Fina terbangun. Pikirannya tiba-tiba melayang memikirkan percakapannya dengan Bagas di telepon sebelum Mario pulang tadi.
“Fina elo di mana?”
“Aku di apartemen. Kenapa?”
“Aku barusan lihat Ina ketemuan sama laki-laki pakai kacamata. Tapi bukan Rafael. Emang kegatelan itu perempuan. Lakinya lagi kerja di atas langit bertaruh nyawa dia malah enak-enakan ngopi-ngopi di starbucks ama laki-laki lain.”
“Kamu kenal dengan pria yang sedang bersama Ina tadi?”
“Enggak kenal, Fin. Ina juga nggak lihat aku. Tapi aku punya foto pria itu. Nanti aku kirim fotonya ya.”
Sambungan telepon diputus begitu saja oleh Fina, karena dia menyadari kehadiran Mario saat laki-laki itu menepuk pelan pundaknya. Ketika menuju dapur, terdengar suara notifikasi pesan w******p berbunyi dari ponsel Fina.
Bagas
Send your picture
Fina langsung membuka picture yang dikirim oleh Bagas. Membuat Fina tak mengacuhkan keberadaan Mario. “Bang Iyo?” desisnya, tangan Fina gemetaran saat memegang ponselnya, melihat pria yang sedang dibicarakan Bagas adalah suaminya sendiri.
Dalam keadaan setengah terjaga itu dewi batin Fina menjerit kesakitan memikirkan alasan dan tujuan Mario menemui Sandrina tanpa sepengetahuannya. Butiran bening menetes dari sudut mata Fina dan lama kelamaan membasahi bantalnya. Mario tidak menyadari bahwa istrinya sedang menangisinya, karena posisi tidur Fina tidak sedang menghadap suaminya. Pun begitu dengan Mario yang sudah mengubah posisi tidurnya memunggungi Fina. Keduanya saling berbalik punggung dengan pikiran masing-masing, membawa perasaan yang sebenarnya muaranya sama yaitu cinta. Keduanya memang saling mencintai, tapi merasa sama-sama terlambat untuk menyadari dan terlambat mengungkapkan perasaan masing-masing sehingga berujung saling menyakiti seperti saat ini.
Jika ditanya siapa yang paling tersakiti? Tidak ada. Karena keduanya sama-sama sakit. Jika ditanya bagaimana cara menyembuhkan sakit itu? Tidak ada yang tahu selain mereka berdualah sebenarnya yang bisa saling menyembuhkan luka di hati. Tidak ada kata terlambat dalam cinta. Selama mereka yang menginginkan cinta tetap berjuang untuk mendapatkannya. Cinta memang tidak harus saling memiliki, tetapi berjuang untuk cinta tidak ada salahnya.
~~~
^vee^