6. Meredam Api Cemburu

2051 Words
Setelah merasa tenang Mario menyusul Fina kembali ke cottage. Di dalam kamar dia terus menatap punggung Fina dalam waktu cukup lama. Pikirannya tersadar kala tubuh Fina bergerak untuk bangkit dan duduk di pinggiran ranjang king size dengan balutan sprei berwarna jingga seperti warna matahari terbenam sore tadi. “Kamu pasti lapar. Kita dinner yuk,” ajak Mario dengan nada bicara senormal mungkin, seolah hatinya sedang baik-baik saja. Mario berusaha mencairkan suasana yang sempat membeku beberapa saat yang lalu. Mario tidak ingin kehilangan momen indah bersama Fina untuk alasan apa pun. Secepat kilat ia melupakan rasa sakit yang menggores hatinya saat Fina menyebut nama pria lain, kala ia mengucap cinta pada istrinya. Fina hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Mario, lalu menatap ke segala arah agar dia tidak harus menatap bola mata gelap yang semakin berkabut akibat rasa sakit yang telah dia ciptakan sesaat yang lalu. Tidak seharusnya dia mengucap nama pria lain saat suaminya mengucap kata cinta dengan tulus padanya. Haruskah dia minta maaf pada pria tulus ini? Gengsi terlalu ia jaga melampaui batas kasih sayang yang tersedia untuk pria yang kini menyandang status sebagai suaminya yang sah. Mario berjalan mendekati Fina dan ikut duduk di samping Fina. “Kamu sekarang kenapa jadi minim bicara, Veris? Apa divorce semenyakitkan itu hingga tidak hanya melukai hatimu tapi juga melukai pita suaramu?” Ucapan Mario berhasil membuat Fina mengangkat kepalanya dan menghadap ke wajah Mario yang tengah tersenyum masam. “Apa perlu Abang mencari dokter THT atau dokter Gigi Mulut yang bisa mengembalikan kecerewetan kamu?” tanya Mario sekali lagi dengan wajah serius. Fina malah tersenyum lalu memukul pundak Mario. Pria itu mengangkat kedua bahunya tanda tidak merasa ada yang salah dari ucapannya. “Abang bisa aja. Aku belum bisu tuli kali, Bang,” jawab Fina sambil menahan tawa. “Makanya jangan diem terus, biar Abang nggak nyangkain ada gangguan dengan salah satu indera kamu.” Fina tersenyum kembali menanggapi jawaban Mario. Perlahan Mario mendekatkan wajahnya ke wajah Fina. Namun yang terjadi Fina justru menjauhkan wajahnya secara perlahan. Mario semakin mendekat lalu mengecup pelan kening, kedua pipi dan ujung bibir Fina dengan lembut. Fina bergeming atas perlakuan Mario. “Mandi gih, trus makan malam.” “I ..., iya bang. Kita dinner di cottage ini atau di luar?” “Di pinggir pantai. Sambil menikmati angin malam pantai ini.” “Hah, di ruangan terbuka, Bang? Aku nggak bisa, loh. Bakal masuk angin dan bahaya, pasti akan menyulitkan Bang Iyo.” “Oya ..., separah apa emang kamu kalau kena angin laut malam hari?” “Lebih parah dari orang mabuk berat, Bang.” “So serious?” “Iya Bang Iyo, seserius aku lagi bohongin Abang saat ini.” Fina berlalu sambil tertawa terbahak lalu masuk ke dalam kamar mandi. Mario tertegun menelan pil kekhawatiran yang telah digerus oleh guyonan Fina baru saja. Detik berikutnya senyum bulan sabit terhias di wajah manis Mario melihat Fina bisa ceria seperti ini. *** Kini keduanya berada di pinggir pantai, hamparan langit gelap hanya bersinarkan rembulan dan beberapa lampion di sekitar pantai. Juga beberapa obor di sekitar cottage dan juga lilin berbentuk bulat sebanyak tiga biji di atas meja. Beragam menu seafood terpampang di buku menu yang tersaji di atas meja. Fina sibuk memilih menu sambil mengerucutkan bibirnya, dan sesekali mengetuk-ngetuk pelan dagunya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Akhirnya pilihan jatuh pada Lobster asam manis serta avocado float sebagai penutupnya. Sedangkan Mario memilih kepiting asam manis dan orange juice tanpa hidangan penutup. “Kamu nggak suka kepiting, Veris?” Fina hanya menggeleng sambil sedikit mencebikkan bibir bawahnya. “Kenapa?” tanya Mario kembali “Psst, tapi jangan bilang-bilang ya!” ujar Fina sambil meletakkan ujung telunjuknya di depan mulut, Mario hanya mengangguk setuju. “Aku nggak bisa cara memakannya,” jawab Fina lirih sambil memasang tampang lugu dan sedikit menundukkan kepala karena malu. “Norak, ich, kamu! Sudah keliling Indonesia bahkan dunia, tapi makan kepiting aja nggak bisa.” “Jangan ngeledek dong, Baang! Aku trauma, tauk, makan kepiting,” ujar Fina sambil menambah nada sedikit merajuk dalam ucapannya. Mario tertawa terkekeh lalu menjawil ujung hidung mancung Fina dengan ujung telunjuknya. Makanan pesanan mereka akhirnya datang. Fina menatap penuh napsu hidangan di atas meja ini. Dia memulai kegiatan makannya tanpa mempedulikan Mario yang kini tengah sibuk dengan kepitingnya. Tidak lama kemudian Mario meletakkan beberapa cuil daging kepiting ke piring nasi Fina, diiringi senyum manis yang terus mengembang di bibirnya yang tidak terlalu tebal itu. Bola mata hitamnya kini tenang setenang lautan gelap yang terpampang di hadapan mereka. Fina membalas senyum penuh arti itu, tanpa tahu makna apa yang tersirat di balik senyum Mario. Mario bertanya setelah melihat Fina melahap daging kepiting di piringnya. “Kamu suka kepitingnya?” “Huumh enak, Bang. Rasanya kayak ada manis-manisnya gitu,” jawab Fina sambil tergelak. “Cih ..., ngiklan banget kamu. Ya udah kalau kamu pengen makan kepiting biar Abang yang nyisihin dari cangkangnya buat kamu ya.” Keduanya tertawa dan larut dalam gurauan. Dari dulu Mario memang orang yang easy going, enak diajak ngobrol apa saja. Bahkan curhat tentang masalah sepele pun dia mau mendengarkan. Seiring berjalannya waktu dan dipisahkan oleh jarak yang membuat cinta di hati Fina yang pernah ada untuknya dulu menjadi layu sebelum sempat berkembang. Setelah makan malam, Fina dan Mario memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar pantai pulau Pantara, angin sepoi-sepoi menyibakkan rambut sebahu yang sengaja Fina gerai ini. Keduanya menyusuri dermaga yang berada tidak jauh dari cottage tempat mereka menginap. Awalnya Fina membentuk sebuah gelungan manis dengan tusuk konde yang berhiaskan kerang kecil berwarna putih di ujungnya, senada dengan dress katun warna putih sepanjang di atas lutut, sehingga mempertontonkan kaki jenjangnya dengan jelas. Dress simple dengan model tali spaghetti, potongan d**a sedikit rendah dan punggung yang terekspos sempurna bagi siapapun yang memandang. Mario geram melihat Fina mengenakan baju yang dianggapnya lebih layak menjadi baju tidur itu, bahkan dia mengatakan hanya boleh dikenakan ketika sedang bersamanya saja di dalam rumah maupun di dalam kamar. Langsung saja Mario menarik tusuk konde yang telah Fina merangkai rambutnya dengan cantik. Lalu meletakkan kedua ujung rambut istrinya menutupi dadanya, serta memakaikan Fina jaket kulit milik Mario. “Jangan pakai baju seperti ini lagi, kalau nggak ingin abang yang melepas paksa dari tubuhmu.” Dapat Fina ingat betul ekspresi wajah serius Mario saat itu. Bukannya membuat Fina takut malah membuatnya geli dan tersenyum sendiri. Merasa seperti dulu saat pertama kali Fina dugem, ketahuan dan dimarahi habis-habisan oleh Ayahnya. “Kamu seperti orang kehabisan jatah bicara. Kenapa kamu nggak kayak dulu? Cerewet, ekspresif, lucu, jahil dan spontanitas?” Mario mulai bersuara. Suaranya sedikit nyaring karena harus bersaing dengan suara deburan ombak. “Waktu sudah merubah segalanya, Bang. Veris yang sekarang tidak sama dengan Veris yang dulu Abang temui saat usianya masih 21 tahun. Veris yang sekarang ini adalah Veris dengan usia hampir 31 tahun. Waktu sepuluh tahun banyak mengubah segalanya,” jawab Fina tanpa menatap kedua mata Mario. “Kadang Abang mikir, apa Abang salah nikahin anak orang ya?” imbuh Mario merasa Fina masih saja mengacuhkannya. Plak! Telapak tangan Fina sukses mendarat bebas di bahu Mario dan membuat Abang sepupu sekaligus suaminya itu mencebikkan kedua bibirnya, sambil mengusap bekas pukulan Fina tadi dengan telapak tangannya sendiri. Mario berdecak. “Duh ..., Kalau ngerasain rasa panas gini, berarti Abang nggak salah nikahin anak orang,” tukasnya kesal. Hampir saja Fina akan memukulnya sekali lagi sebelum Mario menangkap dan menggenggam jemarinya, sambil sesekali dia remas perlahan untuk mempererat genggamannya. “Terus Abang maunya aku kayak gimana? Jadi Veris yang manja, egois, mau menangnya sendiri dan keras kepala, huh?” tanya Fina bertubi-tubi. Mario malah tergelak. “Abang cuma minta kamu tetap jadi Veris yang suka menceritakan hal apa saja pada abang. Dari hal penting sampe hal nggak penting sekalipun. Abang ingat, kamu pernah bercerita hal yang nggak banget saat Abang liputan di Lebanon dulu. Kamu bercerita kalau teman cowok kamu nembak kamu, padahal kamu naksirnya sama sahabatnya cowok itu. Ah, ya, ada lagi, waktu abang liputan di Jepang kamu nelepon Abang sambil nangis-nangis sesenggukan gara-gara diselingkuhin sama cowok kamu dan sahabat kamu. Siapa ya namanya, kok lupa ya, Abang?” Fina cemberut dan menghentakkan kakinya di dermaga, lalu berlari meninggalkan Mario seorang diri. Mario menghela nafas melihat sikap Fina yang ternyata masih tetap mudah tersinggung. Fina kembali ke cottage. Merebahkan tubuhnya di ranjang dan mematikan semua lampu menyisakan lampu di atas nakas. Dia merasa kesal sekali pada Mario, karena masih mengingat hal itu, padahal Fina yang mengalami kejadian itu sudah melupakannya begitu saja. Pintu cottage berderit tanda seseorang membuka pintu, lalu menutupnya perlahan. “Nggak sholat dulu, Veris?” Fina tidak menjawab dan pura-pura memejamkan mata. Fina menghirup aroma parfum khas Mario yang tidak pernah berubah sejak dulu sangat dekat dengan hidungnya saat ini, menandakan bahwa sosok itu berada tepat di sampingnya. Mario sedang duduk di tepi ranjang, dengan sebelah tangannya sudah berada di seberang tubuh Fina, lalu menundukkan wajahnya perlahan. Fina merasakan deru hangat nafas Mario menerpa pipinya. Fina masih terpejam tetapi sedikit mengerutkan keningnya, berpikir Mario akan berbuat apa dengan jarak sedekat ini. “Apa perlu Abang kasih satu ciuman penuh cinta seperti sang pangeran berkuda pada Puteri tidur, supaya kamu bangun dan solat Isyak berjemaah, hemm?” Fina membalikkan badan hingga posisi terlentang, matanya terbuka sempurna mendapati wajah Mario tepat di hadapannya, dan kini ujung hidung mancung keduanya saling beradu. Napas mereka saling beradu, saling melepas dan saling menghirup udara yang tiba-tiba terasa sesak di ruangan berpendingin udara ini. Mario mendaratkan bibirnya di atas bibir Fina. Awalnya hanya sekedar menempelkan saja. Namun tiba-tiba mata sendu Mario terpejam lalu mulai melumat bibir istrinya perlahan. Tanpa Fina sadari dia ikut memejamkan mata dan mengikuti irama ciuman yang diberikan oleh Mario. Mario membelai lembut puncak kepala hingga ujung rambut Fina, lalu menarik bibirnya dengan gerakan lambat. Senyum manis terukir di bibir Mario, ibu jarinya mengusap pelan bibir Fina dan membentuk pola sebuah senyuman yang membuat Fina mengikuti garis yang dibuat oleh ibu jari Mario, tersenyum tulus membalas senyuman Mario. “Kita sholat dulu ya sayang,” ujar Mario masih terus menatap kedua mata istrinya dengan penuh cinta. Fina mengangguk, Mario mengulurkan tangannya untuk membantu istrinya berdiri dari ranjang. Keduanya kemudian melaksanakan ibadah salat isya berjamaah. Setelah selesai solat Mario menyodorkan tangan kanannya untuk dicium punggung tangannya oleh Fina, kemudian dia sendiri mengecup kening Fina cukup lama. “Abang sangat memimpikan saat-saat seperti ini bersamamu.” Fina tersipu, lalu melepas mukena dan merapikannya kembali. Fina melangkah menuju balkon yang menyuguhkan hamparan laut hitam pekat bertaburkan bintang berkelip di langit tinggi. Fina merangkul tangannya sendiri karena terpaan angin menyentuh kulit tipisnya, yang memberi sensasi dingin di badannya. Mario datang memberinya kehangatan melalui pelukannya. “Dingin?” tanya Mario tepat di telinga Fina. Fina mengangguk. Mario mempererat pelukannya, lalu menempelkan dagunya di pundak terbuka Fina. Istrinya itu merasakan sensasi geli saat bekas cukuran jambang mulai tumbuh di dagu Mario menempel di kulit pundak Fina. Mengetahui Fina merasa geli, Mario semakin menggesekkan dagunya di pundak Fina yang hampir polos itu. Sikut Fina otomatis langsung saja melayang tepat di perut Mario. Laki-laki itu meringis kesakitan dan seketika melepas pelukannya karena tangannya ia gunakan untuk memegangi perutnya yang sedang merasa nyeri. “Aww ..., sakit, Veris! Apa semua pramugari diajari latihan seperti ini waktu menjalani masa pendidikan sekolah pramugari, huh?” “Iya. Jaga-jaga kalau ada penumpang genit kayak Abang ini.” “Ya elah, genit sama bini sendiri kagak dosa kali.” Fina mencebikkan bibirnya lalu masuk kembali ke cottage, meringkuk di atas ranjang. Mario mengikuti dan masuk ke dalam selimut lalu menarik tubuh Fina ke dalam pelukannya. Tangan kanannya mengangkat kepala Fina dan diletakkan di atas lengan kekarnya, sedangkan tangan satunya lagi melingkar erat ke depan perut Fina. Posisi seperti ini terasa nyaman sekali bagi Fina. Mario terus memberikan belaian-belaian mesra di rambut Fina, sesekali dia mencium kepala bahkan menghirup dalam-dalam aroma rambut istrinya. “Kok nggak wangi apel lagi rambut kamu, Veris?” Fina tak menjawab pertanyaan konyol Mario yang satu itu. Sungguh konyol sekali pertanyaan Mario, tapi sanggup membuatnya menahan tawa. “Kamu udah ngantuk? Mau Abang nina boboin?” Fina menjawab hanya dalam satu kali anggukan. Mario mulai menarik napas dan melantunkan lagu anak-anak 'twinkle-twinkle little star'. Fina pun berbalik badan dan mendelik menatap mata Mario yang semakin sendu karena menahan kantuk itu. “Abang! I am on thirty dan abang masih nyanyiin lagu jaman aku masih balita. Omesh ...,” ujar Fina menepuk keningnya sendiri. “Bukannya kamu suka ya lagu itu dulu?” jawab Mario terkekeh. “Bang Iyo ..., please deh!” Fina cemberut dengan jawaban Mario. Mario tertawa sambil terus menggelitiki perut dan pinggang Fina yang terperangkap dalam dekapannya. Fina ikut tertawa sampai akhirnya keduanya kelelahan. Puas bercanda Mario meminta Fina supaya segera tidur, agar besok tidak melewatkan keindahan matahari terbit di pulau ini. ~~~ ^vee^  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD