7. Perang Dimulai

2176 Words
“Kamu sengaja mengikuti saya? Atau sebenarnya kamu menyukai saya?” Aku melongo. Tidak, saat ini aku bahkan menganga. Aku tidak pernah membayangkan akan mendapat pertanyaan seperti yang baru saja kudengar. “Mengikuti? Menyukai? Wah ... pede banget Mas Dhika ini!” “Lalu apa? Setelah tiba-tiba muncul di mobil saya seperti penguntit, kamu juga tiba-tiba muncul di depan rumah makan saya, dan sekarang ... kamu ngekos di kosan Ibu saya.” “Oh ... jadi Warung Makan Raja Bagus itu beneran punya Mas Dhika?” “Itu bukan inti dari pembahasan yang sedang kita bahas. Jangan membelokkan.” “Iya, iya—“ “Saya sangat heran kenapa kamu selalu muncul di depan saya.” “Selalu? Baru tiga kali, kok!” Mas Dhika tampak memijat hidungnya. Aku sendiri memilih untuk menyesap kopi di depanku. Pahit, tetapi enak. Ngomong-ngomong, saat ini aku dan Mas Dhika sedang berada di warung kopi yang tadi siang sempat kusinggung. Tadi Mas Dhika tiba-tiba kirim pesan dan mengajakku ke warung kopi. Sudah bisa dipastikan, dia tahu nomorku dari ponsel ibunya. Aku tadi sempat bingung ketika mendapat pesan dari nomor baru yang dengan santainya menyuruhku keluar dengan segera. “Saya berani bersumpah, Mas. Saya enggak ada niat mau ngikutin Mas Dhika. Boro-boro ngikutin, saya aja enggak tahu kalau Bu Lina itu ibunya Mas Dhika.” “Sudah bagus kamu menghilang satu bulan, malah kembali lagi.” “Jadi begini, sambutan untuk penghuni baru kos milik ibu sendiri?” “Kenapa pindah dari kos sebelumnya? Setahu saya, di sana lebih bagus. Selain bagus, akses juga lebih mudah.” “Haruskah saya jawab? Kok Mas Dhika kepo?” “Saya tidak akan bertanya ini kalau kos yang sekarang kamu tempati bukan milik Ibu saya.” “Lalu apa masalahnya? Saya kan deal-nya sama Ibu. Bukan sama Mas.” “Sejak kapan saya mengizinkan kamu memanggil akrab pada saya dan ibu saya?” “Ha?” mataku mengerjap. Apakah aku salah bicara? “Cari kos lain saja. Uang yang sudah kamu bayarkan, saya ganti. Saya tambah empat juta karena hari itu kamu transfernya kelebihan.” “Enggak mau!” tolakku mentah-mentah. “Enak aja! Dikira gampang, apa, cari kos yang cocok? Saya butuh hampir sebulan buat nemuin kos ini. Ditambah lagi, packing dan pindahan itu capek.” Orang ini memang keterlaluan! Kenapa tiba-tiba mengusirku? Harusnya dia bersyukur aku ikut menjadi donatur kos milik ibunya. Apalah arti kos-kosan kalau tidak ada isinya? “Saya merasa sial tiap kali kamu muncul di depan saya.” “Sial? Kapan? Tujuh tahun lalu? Atau waktu di pantai? Jangan lupa, Mas Dhika juga sempat manfaatin saya. Kemarin apa katanya? Calon istri? Mimpi aja, sana!” Aku kesal juga lama-lama. Memangnya hanya dia yang boleh marah-marah? “Saya kasih sepuluh juta. Dalam seminggu, cari kos lain.” Aku kembali menganga. “Enggak mau! Saya bilang enggak mau, ya enggak mau! Mau dikasih seratus juta pun saya enggak mau!” Sebutuh apa pun aku dengan uang saat ini, aku tidak akan menjatuhkan harga diriku sampai mau diusir tanpa alasan yang jelas. “Waktu itu Mas Dhika ngatain saya sinting, tapi ternyata Mas sendiri lebih sinting!” Mas Dhika diam. Dia terlihat sedang berpikir. “Lagian kenapa, sih, Mas? Yang ngurusin kos kan Ibu, bukan Mas Dhika. Saya di kos cuma numpang tinggal, bukan mau ngerayu anaknya Ibu Kos. Jangan kepedean!” “Ngerayu, kamu bilang? Andai kamu memang mau melakukannya, itu tidak akan mempan.” Mendengar itu, entah kenapa tiba-tiba aku merasa tertantang. “Oh ... yakin begitu?” “Saya pamit dulu. Sekalipun kamu kos di kosan Ibu saya, jangan berani tampakin diri di depan saya lagi.” Mas Dhika berdiri, lalu pergi. Aku segera berlari mengejarnya. Setelah berhasil, aku berdiri tepat di depannya dan kedua tanganku meraih kedua pundaknya. “Yakin tidak akan terayu cewek secantik saya?” “Kamu gila?” Ketika Mas Dhika hendak menyingkirkan kedua tanganku, kedua tanganku sudah lebih dulu berpindah di kedua sisi pinggangnya. Aku berpegangan pada jaket yang sedang dia pakai. “Kamu betulan gila,” katanya dengan mata menatapku tajam. Aku berjinjit, lalu kubalas tatapan mata Mas Dhika tak kalah tajam. “Saya bisa lebih gila kalau Mas berani usir saya lagi.” “Kamu mengancam saya?” “Pikir saja sendiri. Apakah ini ancaman, atau peringatan?” Setelah mengatakan itu, aku mundur dua langkah dan berlari pergi. *** Mas Dhika benar-benar menyebalkan! Dia kira aku apaan? Mengusir seenaknya sendiri. Kalau aku melapor pada Ibunya, dia pasti akan kena marah habis-habisan. Namun, tidak. Aku tidak akan melapor hanya karena ini. Aku tidak sekekanakan itu. Aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. “Kenapa bisa sekebetulan ini, sih?” sejak siang tadi, aku terus menanyakan hal yang sama pada diri sendiri. Kenapa kebetulannya harus beruntun seperti ini? Kenapa dari sekian kos yang ada di internet, aku harus tertarik dengan kos ini? Dan kenapa pula ibu kosnya adalah Ibu Mas Dhika? “Ah, bodoamat-lah!” Aku menghempaskan badanku di ranjang yang bahkan belum kulapisi sprei. Gara-gara diajak keluar, acara beres-beresku jadi belum selesai. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru kamar ini. Tidak, aku tidak ingin pergi dari sini. Nuansanya sangat cocok denganku. Apalagi bagian belakang ada balkonnya meski tak lebar. “Oke, aku harus semangat lanjutin beberesnya. Malam ini harus selesai. Besok hibernasi seharian enggak papa.” Aku kembali bangun, lalu melepas jaket yang masih kukenakan. Aku mengikat rambut, juga melipat lengan bajuku. Aku tidak boleh menunda-nunda yang satu ini. Kurang lebih satu jam aku terus sibuk membereskan ini dan itu. Lelah itu pasti, tetapi lega. Kamar baruku sudah jauh lebih enak dipandang. Sprei sudah terpasang, baju sudah kumasukkan ke dalam lemari, juga barang-barangku yang lain sudah tertata di tempat yang seharusnya. Aku puas! Karena terus gerak, aku merasa gerah. Aku memutuskan untuk mandi lagi. Lima belas menit berlalu, aku sudah mandi dan berganti pakaian. Aku keluar menuju balkon untuk menjemur handuk. Kebetulan ada jemuran kecil di sana. “Langitnya bagus banget ...” niat untuk langsung kembali masuk kamar akhirnya urung ketika aku menyadari langit malam ini tampak terang. Bulan bulat menyala, bintang-bintang meramaikan di sekelilingnya. Ini masih musim penghujan, jadi pemandangan bulan dan bintang sangatlah langka karena sering tertutup awan. Tidak seperti ketika musim kemarau, pemandangan seperti ini bisa disaksikan hampir setiap hari. “Ehm!” Aku berjengit kaget ketika mendengar sebuah deheman. Deheman itu cukup keras dan sangat tiba-tiba. Kalau deheman itu milik perempuan, mungkin aku akan biasa-biasa saja. Masalahnya, deheman itu terdengar berat khas suara laki-laki. Aku celingukan mencari sumber suara. Tetangga kosku bukan. Lampu kamarnya bahkan mati. Sebelahnya lagi juga bukan. Lampunya memang menyala, tetapi tidak ada orang di balkon. “Suara siapa, sih? Masa iya ada yang nekat bawa pacarnya ke kos?” Oh iya, bicara kosku, ini adalah kos khusus putri, bukan campur. Bahkan di bawah ada warning kalau tamu laki-laki hanya boleh sampai ruang tamu kecil yang disediakan. “Kamu cari siapa?” pertanyaan itu membuatku menoleh. Seketika, aku menutup mulut begitu menyadari bahwasanya suara tadi ternyata milik Mas Dhika. Dia kini ada di balkon rumah Ibunya. Mungkin juga, itu balkon kamarnya. Karena kamarku paling ujung, yakni F1, posisi balkon agak menjorok ke arah jalan. Balkon kamarku dan balkon tempat Mas Dhika berdiri saat ini hanya berjarak jalan dan halaman rumahnya saja. “Oh, ternyata suara demit.” Aku menjawab asal. Mas Dhika tak membalas. Kulihat dia menyeruput minuman di cangkir yang dia bawa. Mungkin itu teh, mungkin juga itu minuman jenis lain. Minuman yang tadi dia pesan di warung kopi tidak disentuh sedikit pun. Aku sendiri memilih untuk kembali menatap langit. Aku mencoba mengabaikan orang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. “Saya serius dengan kalimat saya tadi. Keinginan untuk mengusirmu kembali menguat. Apalagi setelah tindakanmu yang begitu berani.” Oh, ya ampun! Kini aku sengaja berdiri menghadap ke arah balkon rumahnya. Meski suara kami agak keras, tetapi sepertinya tidak ada orang lain yang dengar. Kalaupun kedengaran, belum tentu juga mereka bisa menangkap isinya karena suara kami agak menyatu dengan berisik musik dari arah warung kopi. “Itu artinya, Mas Dhika ingin saya semakin gila?” tanyaku dengan alis terangkat sebelah. “Saya tidak bilang begitu.” “Tapi saya juga serius dengan kalimat saya di warung kopi tadi.” “Itu urusanmu.” “Oke. Kalau begitu, perkara Mas Dhika yang mau ngusir saya, itu bukan urusan saya. Selagi bukan Ibu Mas Dhika yang minta saya pindah, saya tidak akan pernah pergi dari sini kecuali atas keinginan sendiri.” Mas Dhika diam, tetapi matanya menatap lurus padaku. Aku tidak takut dengannya, jadi aku juga melakukan hal yang sama, yakni menatap balik matanya lurus-lurus. Setidaknya ada dua menitan kami hanya saling menatap. Sampai akhirnya, Mas Dhika balik badan dan masuk ke rumahnya. Lihat saja, aku tidak akan membiarkan diriku diperlakukan semena-mena lagi! *** Lihatlah kegilaan pertama yang kulakukan pagi ini. Pagi-pagi, aku sudah sarapan di rumah Bu Lina. Itu karena aku memberi kue macaron sebagai ucapan terimakasih karena beliau sudah menyambutku dengan baik. Seperti kebanyakan Ibu-ibu positive vibes lainnya, Bu Lina langsung menerima pemberianku tanpa menaruh curiga sedikit pun. Kue ini kubeli di teman Mbak Ara, jadi aku bisa beli lebih pagi sebelum toko dibuka. “Sotonya enak, Mbak Desya?” “Enak sekali, Bu. Kaldunya ini terutama. Kayaknya ini soto terenak yang pernah saya makan.” “Makasih, lho. Ini malah Ibu dapat resepnya dari Dhika. Dia itu sempat kursus masak sebelum buka usaha. Jadi dia punya banyak resep makanan enak.” “Oh, gitu.” Aku celingukan. “Ngomong-ngomong, Mas Dhika-nya di mana, Bu?” “Dhika lagi jogging kayaknya. Udah bangun dari tadi, terus ngilang.” Aku mengangguk, lalu menyeruput lagi kuah soto di depanku. Bu Lina sudah tahu kalau aku dan Mas Dhika saling kenal. Jadi bukan hal yang aneh ketika aku menanyakan keberadaan anaknya untuk sekadar basa-basi. Oh iya, sejujurnya, aku agak malu karena Ayahnya Mas Dhika sesekali melirikku. Barangkali beliau heran ada manusia aneh bertamu di rumahnya pagi-pagi. Sudah begitu, ikut sarapan, pula. Ya, meskipun tidak benar-benar sarapan bersama karena saat ini aku duduk sendirian di meja makan. “Orang mana, Mbak Desya?” akhirnya, Ayah Mas Dhika bersuara. Dari tadi rasanya aku hampir mati kikuk diperhatikan tanpa suara. Beliau sendiri saat ini duduk di sofa sembari menikmati teh dan koran. “Saya orang Jakarta, Pak.” “Oh ... di Jogja kuliah?” “Iya, Pak. Ambil S2.” “Semester?” Aku nyengir. “Lima.” “Lho? Bukannya S2 itu harusnya lulus empat semester?” “Iya, Pak, betul. Kebetulan saya masih mau tinggal di Jogja, jadi santai.” Aku meringis. “Jangan ditunda-tunda, Mbak. Kasian Ayah dan Ibu di rumah, harus bayar biaya semester tambahan. Kalau nunda lulus karena masih mau tinggal di Jogja kan bisa cari kerja di sini, atau cari jodoh orang sini sekalian.” “Hehe, iya, Pak.” “Orang tua kerja apa, Mbak?” “Pengusaha biasa.” “Nah, itu. Jangan bebanin orang tua lebih banyak. Kasihan.” “Nggih, Pak.” Aku tidak tersinggung karena apa yang dikatakan Ayah Mas Dhika itu benar. Terlepas dari bagaimana background orang tua, menunda lulus memang bukan hal yang baik. Aku sadar seratus persen akan hal ini. Namun, aku masih ingin membela diri. Aku melakukan ini ada alasannya, yakni aku belum siap dengan segala tekanan yang mungkin akan Papa dan Mama berikan setelah aku lulus dan kembali ke Jakarta. “Saya naik dulu, Mbak Desya.” “Iya, Pak, silakan.” Setelah Ayah Mas Dhika naik, aku langsung mengusap dadaku. Padahal beliau banyak diamnya, tapi entah kenapa tatapan matanya agak mengintimidasi. Sepertinya sifat Mas Dhika sedikit banyak menurun dari beliau. “Bu, aku pulang! Sotonya udah matang?” tiba-tiba terdengar suara Mas Dhika dari arah depan. Aku sudah sangat familiar dengan suaranya. “Sudah. Sarapan sendiri, ya, Dhik. Ayah sama Ibu sudah. Ini Ibu lagi jemur baju di belakang.” “Ya.” Berselang beberapa detik, Mas Dhika masuk ruang tengah. Langkahnya langsung terhenti begitu melihatku sedang duduk di meja makan sendirian. “Kamu—“ “Pagi, Mas Dhika.” Mas Dhika langsung menghampiriku, lalu tiba-tiba dia manarikku berdiri. Aku kaget, tetapi aku tidak bisa melawan ketika dia membawaku keluar. “Apaa-apaan kamu di rumah saya pagi begini?” tanyanya setelah kami berdiri di teras rumah. Tangannya masih menggenggam lenganku erat. “Ini peringatan pertama. Saya bisa jauh lebih gila kalau Mas Dhika masih kekeuh mau ngusir saya.” Sejujurnya, saat ini aku sedang menahan untuk tidak grogi karena jarak wajahku dan Mas Dhika sangat dekat. Keringat di wajah dan lehernya agak membuatku salah fokus. “Kamu cewek tergila yang pernah saya temui.” “Saya gila karena diperlakukan semena-mena. Jangan usik saya atau—“ “Atau apa? Kamu akan mengusik saya lebih dalam lagi?” Aku mengangguk mantap. “Yes!” Aku langsung meringis ketika Mas Dhika tiba-tiba meremas lenganku yang dari tadi dia genggam. “Lakukan saja kalau berani, tapi ingat, saya enggak akan diam ... Desya Paradina Winata.” “Oke! Siapa takut—” aku meraih handuk di leher Mas Dhika, lalu kuusap bulir-bulir keringat di dahinya. “Mas Radhika Bagaspati.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD