2. Manusia Batu

1963 Words
Aku lapar. Aku juga haus. Aku ingin makan dan minum. Sudah lebih dari satu jam aku duduk sendirian di ayunan besi depan penginapan. Manusia tak berperasaan yang tadi sempat menawarkan negosiasi, kini berada di dalam penginapan dan tak kunjung keluar. Dia mungkin tidur di dalam. Bicara negosiasi, sepertinya itu hanya untuk menggertakku. Pasalnya, dia tidak benar-benar membahasnya dan malah meninggalkanku sendirian sampai detik ini. “Dasar, Manusia Batu!” aku mengambil kerikil dan melemparnya ke jurang. Ingin melempar ke penginapan, nanti aku bisa terkena kasus. Sepertinya hari ini aku terlalu gegabah. Aku hanya memikirkan efek jangka pendek. Aku kabur tanpa persiapan. Aku hanya pergi membawa badan dan ponsel saja. Bahkan uang satu perak pun tidak ada di saku. Tiba-tiba, aku mendengar suara pintu dibuka. Aku menoleh, dan kulihat manusia tak berperasaan itu keluar. Dia tampak segar, sepertinya sudah mandi dan ganti baju. Aku mendadak mengendusi ketiakku. Tidak bau, tidak pula wangi. Aku belum mandi dari pagi. Aku masih mengenakan celana training hitam, kaos putih polos, dan cardigan tipis warna abu-abu. Penampilanku saat ini benar-benar khas anak kos yang sedang keluar sebentar untuk cari makan. “Eh, Mas! Mau ke mana?” tanyaku ketika melihatnya hendak membuka pintu mobil. Laki-laki itu menoleh. “Bukan urusanmu.” “Stop, stop!” Aku segera berlari ke arahnya. “Mas, saya boleh pinjam uang atau enggak? Saya lapar, dari pagi belum makan.” “Tidak ada yang menyuruhmu menguntit saya.” “Saya bukan penguntit! Oke, saya salah karena masuk mobil orang sembarangan, tapi saya enggak tahu kalau yang punya mobil mau pergi ke hutan begini.” “Ini bukan hutan.” “Lalu apa? Saya enggak lihat ada kehidupan lain di sini.” “Beberapa ratus meter dari sini ada toko serba ada.” “Apa bisa bayarnya pakai QRIS?” “Kamu kira semua orang paham teknologi?” “Nah, makanya! Saya mau pinjam uang. Nanti saya ganti via transfer. Ya?” Laki-laki itu tidak menjawab. Kupikir dia akan masuk mobil, ternyata dia hanya mengambil dompet. Melihatnya naik menuju jalan utama, aku refleks mengikutinya. Dia diam saja sekalipun tahu aku mengekor di belakang. Kami jalan di aspal yang agak rusak. Selama mengikutinya, aku terus mengusap perutku karena dari tadi bunyi berkali-kali. Aku merasa sebentar lagi akan mati kelaparan. Setelah lima menitan jalan kaki, aku melihat ada sebuah toko di pinggir jalan. Ada rumah penduduk di sekitarnya, tetapi hanya sedikit. Mungkin hanya empat atau lima rumah saja. “Sore, Bu!” sapanya begitu berhenti di toko yang kumaksud. Mungkin toko ini yang dia sebut dengan toko serba ada. Memang, dari luar tampak banyak sekali isinya. Ada sembako, alat mandi, bahkan pakaian sekalipun. “Wah, ada Mas Dhika! Datang kapan, Mas?” “Baru satu jam yang lalu, Bu.” “Oh, iya-iya.” Pemilik toko itu menatapku. “Dia siapa, Mas?” Aku segera tersenyum seramah mungkin. “Hallo, Ibu. Saya adiknya Mas ... Dhika. Iya, saya adiknya Mas Dhika.” Namanya Dhika, kan? Laki-laki itu menoleh dan menatapku kaget. “Kamu—“ “Bu, jual makanan matang atau enggak, ya? Atau roti, gitu?” aku sengaja masuk toko lebih dalam, menghindari tatapan laki-laki yang disebut Dhika ini. Jujur, aku memang lupa dengan namanya. Kalau wajah aku ingat karena dia tidak banyak berubah. Baik dulu maupun sekarang, dia masih setampan itu. “Roti ada, Mbak. Itu di rak ujung.” “Siap, Bu. Terima kasih, ya!” Aku segera mengambil roti di rak yang ditunjuk, lalu meraih air mineral yang ada di sebelahnya. Setelah itu, aku jongkok sebentar untuk makan roti cepat-cepat. “Ah ... akhirnya, bisa bertahan hidup.” Ketika aku hendak mengambil roti kedua, ada tangan yang menahanku kuat-kuat. Begitu aku mendongak, sepasang mata sedang menatapku tajam. “Rupanya kamu benar-benar gila, ya?” “Satu roti lagi, please. Saya masih lapar banget.” Laki-laki itu menggeleng. “Daripada makan roti di sini, lebih baik cepat ambil apa yang kamu butuhkan dan pergi. Sebentar lagi toko ini tutup.” “Dibayarin dulu, tapi, kan?” Tidak ada jawaban. Dia meninggalkanku dan mengambil beberapa barang serta makanan yang dia inginkan. Aku segera mengikutinya. Aku mengambil keperluan apa saja yang kiranya akan kubutuhkan. Termasuk itu baju ganti, dalaman, handuk, dan perlengkapan mandi. Sebetulnya aku sedang haid, tetapi sudah mau selesai, jadi aku tidak perlu lagi pembalut atau semacamnya. “Kamu mau jualan, sampai ambil sebanyak itu?” “Saya mengantisipasi kalau kelaparan lagi dan disuruh tidur di luar.” Aku meringis. “Saya janji akan bayar semua.” “Saya pastikan kamu tidak kelaparan dan tidak tidur di luar. Sekarang letakkan kasur lantai dan benda-benda aneh itu.” “Beneran, apa? Janji dulu!” “Iya, cepat!” Setelah menyortir lagi belanjaanku, aku segera menuju kasir. Laki-laki itu kembali keliling entah untuk mencari apa. “Mas Dhika, ayo, Mas! Sebentar lagi Ibu mau tutup.” “Oh, iya, Bu.” Setelah selesai membayar seluruh belanjaan, kami segera keluar. Hari sudah sore. Langit sudah mulai kemerahan. Sebentar lagi matahari terbenam. Sepanjang perjalanan kembali menuju penginapan, tidak ada pembicaraan sedikit pun. Aku masih lemas karena rasa laparku belum berkurang seperempatnya. Roti yang kumakan tadi masih jauh dari kata cukup. “Mas, Mas! Tunggu dulu!” seruku ketika dia membuka pintu penginapan. “Apa?” “Saya habis berapa?” “Lupakan.” “Jangan gitu. Saya bisa bayar, kok—” kalimatku terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara perut yang sangat keras. Jelas itu suara perutku. Aku langsung memejamkan mata. Antara malu, juga pasrah. "Cepat, masuk.” Laki-laki itu menunjuk penginapan dengan dagunya. “He? Beneran, ini?” entah kenapa, aku refleks menyilangkan tangan di depan d**a. “Kamu takut masuk sini, tapi tidak takut masuk mobil orang sembarangan?” “Saya punya sabuk taekwondo putih.” “Baru putih sudah kamu banggakan?” “Setidaknya saya bisa melawan kalau Masnya macam-macam!” “Jadi mau masuk atau tidak? Kalau tidak, ya sudah. Kursi teras cukup untuk menampung badanmu—“ “Eeeh! Saya mau, saya mau!” aku celingukan ke sekitar. Membayangkan suasana yang mulai gelap dan dingin saja sudah sukses membuatku bergidik. Aku segera naik menuju teras, lalu melesat masuk. Sesampainya di dalam, aku terdiam sesaat. Ternyata penginapan ini lebih besar dari yang kukira. “Kamu boleh pakai kamar samping dapur. Tapi ingat, jangan berisik! Kalau berisik, saya suruh kamu keluar!” “Siap!” Laki-laki itu meletakkan belanjaannya di atas meja, lalu masuk ke sebuah kamar yang pintunya ada di dekat pintu masuk. Entah kenapa, tiba-tiba senyumku mengembang. Sepertinya, hari ini tidak seburuk itu. *** “Wangi masakan apa, ini?” aku mengendus-endus berulang kali. Wanginya semakin lama semakin membuat perutku bergejolak minta dipuaskan. Aku ingin keluar, tetapi aku belum mengenakan baju. Aku cepat-cepat mengambil kaos yang tadi kubeli di toko, lalu segera memakainya. Aku menatap pantulan diriku di depan cermin. “Better, daripada enggak ganti baju.” Setelah memastikan penampilanku baik-baik saja, aku segera keluar kamar. Seketika, wangi yang barusan tercium, kini terasa semakin kuat. “W-wah ... Masnya bisa masak?” tanyaku begitu berdiri di depan pantri. “Jangan tanya yang jawabannya sudah jelas.” “Galak amat!” “Kamu mengacaukan rencana saya.” “Ya maaf. Saya enggak sengaja.” Aku memutuskan untuk duduk di kursi tinggi yang ada di depan pantri. Perutku rasanya terus bergejolak tiap kali mengambil napas. Wangi masakannya benar-benar menyiksaku. Beberapa saat berlalu, tiba-tiba satu mangkuk mie kuah sudah tersaji di depanku. Aku mendongak, dan laki-laki itu suda kembali ke arah kompor. Ternyata dia menuangkan mie untuk dirinya sendiri. “Kalau mau nasi, ada di magic com. Ambil sendiri.” Setelah mengatakan itu, dia berjalan ke arah sofa dan menyalakan TV. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Bodoamat dengan karobohidrat yang berlebih, yang penting aku kenyang. Setelah mengambil nasi, aku segera kembali ke tempat semula. Aku diam sebentar, menunggu mie di depanku agak dingin. Kalau aku nekat memakannya sekarang, bisa-bisa lidahku melepuh dan mati rasa. Pertama-tama, aku mencoba kuahnya. Aku berhenti sejenak, mencecap rasa yang ada. “Wah ...” aku kehabisan kata-kata. Dengan rasa yang sekaya ini, pasti banyak bumbu yang ditambahkan. Akhirnya, aku mulai menyuap mie ke dalam mulut. Seperti ekspektasiku, aku langsung memejamkan mata. Bukan main! Mienya sangat enak! Aku menoleh ke arah laki-laki itu, dia kini sedang lahap memakan masakannya sendiri. Sesekali dia menatap televisi yang sedang menampilkan berita. “Mas ...” aku memberanikan bersuara. “Saya beneran minta maaf untuk hari ini.” Kalimatku terabaikan. Dia tidak membalas apa pun. Dia masih sibuk dengan mie di mangkuknya yang lebih besar. “Masnya dengar atau enggak saya ngomong?” “Dengar.” “Saya minta maaf!” “Sejak kapan minta maaf seperti orang marah?” “Ya habisnya enggak dijawab.” “Kalau mau berisik, sana keluar.” “Saya bukannya mau berisik. Ini saya tulus mau minta maaf, lho!” “Sudah saya maafkan, jadi diam. Kalau sudah selesai makan, cuci piringnya dan segeralah masuk kamar. Jangan bersuara lagi sampai pagi.” Aku menganga mendengar kalimatnya. Di saat aku masih terheran-heran, tiba-tiba dia berdiri dan menaruh mangkuk kosongnya di sebelah mangkukku. “Karena saya sudah masak, jadi kamu yang cuci piring. Ingat, selagi saya masih baik, jangan banyak protes.” Aku menghela napas panjang, lalu menganguk. “Ya. Terima kasih banyak untuk makan malamnya.” Laki-laki itu masuk ke kamarnya. Aku sendiri cepat-cepat menghabiskan makananku. Aku menelan sampai titik terakhir. Benar-benar sampai tandas tak tersisa. Aku segera berdiri dan menumpuk piring serta mangkuk kotor. Setelah itu, aku membawanya ke wastafel dapur. Namun, karena agak terburu-buru, aku tak melihat ada tong sampah kecil di bagian bawah. Aku tersandung, mengakibatkan dua piring serta mangkuk yang kupegang jatuh. PYAR! Suara nyaring piring pecah seketika memenuhi ruangan. Dalam sekejap, laki-laki tadi sudah keluar lagi dari kamarnya dan menyusul ke dapur. “Apa-apaan kamu!” “S-saya enggak sengaja, Mas. Saya enggak lihat tong sampah ini. Saya tersan—“ kalimatku terputus ketika laki-laki itu menarikku ke belakang sampai aku hampir terjungkal. “Saya beneran minta maaf.” “Kamu Tuan Putri Kerajaan? Kenapa sesederhana cuci piring saja tidak bisa?” “Bukan enggak bisa, tapi saya tersandung tong sampah.” Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak. Dia juga memijit pangkal hidungnya, terlihat frustasi. “Biar saya beresin, Mas. Mangkuknya ditotal dengan utang saya yang tadi. Saya bayar semua—“ “Kamu pikir semua hal bisa diuangkan?” Aku yang baru saja jongkok memungut pecahan piring, seketika mendongak. “Maksudnya?” “Kenapa sejak pertama kali ketemu, kamu selalu dengan mudah menyebut tentang uang? Sekaya apa keluargamu?” “Bukannya ngerasa sok kaya, tapi ini bentuk tanggungjawab.” Tiba-tiba, laki-laki itu mengambil kresek hitam dari laci dapur, lalu ikut jongkok. Dia memunguti pecahan mangkuk tanpa suara. Aku mengikutinya. Di saat kami masih sibuk membereskan pecahan piring dan mangkuk, sayup-sayup aku mendengar suara hujan turun. Akhir tahun memang musim hujan, jadi aku tidak heran jika hujan turun sewaktu-waktu. “Saya minta maaf,” ujarku lagi begitu lantai sudah kembali bersih dan pecahan mangkuk sudah disingkirkan. “Kalau memang mau minta maaf, sekarang cepat ke kamar dan jangan bersuara.” “Siap!” Aku segera berlari ke kamar, tetapi kemudian aku berhenti karena ingat sesuatu. Aku balik badan, lalu menghampiri laki-laki itu. Keningnya langsung mengkerut. “Apa lagi?” tanyanya. “Hari ini Masnya sudah banyak membantu saya, tapi kita belum kenalan.” Aku memang sudah tahu namanya, tetapi tetap saja kami belum kenalan secara lebih pantas. Berikutnya, kuulurkan tanganku untuk mengajaknya bersalaman. “Saya Desya.” Laki-laki itu menatapku sesaat, lalu pandangannya turun ke bawah. Kupikir dia akan menyambut uluran tanganku, tetapi ternyata dia langsung pergi ke kamarnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Seketika, aku membeku di tempat. Tanganku bahkan masih menggantung di udara. Aku berani bersumpah. Selama dua puluh lima tahun aku hidup, baru kali ini ada orang yang berani mengabaikanku separah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD