BUKAN IMAM PILIHAN

2245 Words
BUKAN IMAM PILIHAN Ketika kesakitan masih melanda jiwa dan raga, Yanti tetap melaksanakan kewajibannya mengurus sang suami. Perempuan itu segera menyiapkan makan siang untuk Basuki dan Bagas yang baru pulang. Ketika akan memanggil mereka berdua, suara teriakan seorang perempuan terdengar. Yanti mengenalnya, pemilik suara itu tak lain adalah sang ibu mertua. Kehebohan apalagi yang akan terjadi setelah ini, pikiran perempuan berambut hampir sepinggang itu mulai bertanya-tanya. Siksaan demi siksaan sudah dia alami dari pagi dan sekarang teriakan mertuanya merupakan tanda siksaan yang kesekian kali di hari ini. "Kamu nggak tahu diri banget, Yan!" teriak perempuan paruh baya itu. Tanpa salam dan permisi dia langsung marah pada Yanti. "Salah saya apa, Ma?" "Kamu nyuruh Ilyana menggugurkan kandungannya? Otakmu ditaruh di mana?" Si Ibu mertua mendorong kepala Yanti keras dengan tangan kanan. "Aw," rintih sang pemilik rumah. "Mama salah paham. Dia yang mulai menghina aku." "Halah! Mana ada perempuan kalem macem dia menghina orang lain, jangan memfitnah orang baik." Maimunah, Mama mertua Yanti mencebikkan bibir. "Buat apa Yanti bohong, Ma." "Lambemu kui mencla-mencle (ucapanmu plin-plan), ra iso (tidak bisa) dipercoyo." Bagas dan Basuki keluar dari kamar bersamaan. Mereka sedikit terganggu dengan percakapan dua perempuan beda generasi itu. Tatapan si bungsu sedikit tidak suka pada neneknya. "Nenek nggak enak kalau nggak marah-marah?" kata bocah berumur sepuluh tahun dengan rambut lurus belah pinggir. "Diam! Kamu itu masih bocah, nggak usah ikut campur urusan orang tua," ucap Maimunah keras. "Ada apa, sih, Ma?" tanya Basuki kemudian dia melirik istrinya. "Waktu istirahatku itu cuma sejam. Jangan buat masalah lagi. Aku capek sama kelakuanmu." "Ceraikan istrimu sekarang juga, Bas. Dia nyuruh Ilyana menggugurkan kandungan," kata Maimunah berapi-api. Basuki membelalakkan mata, menatap tajam pada perempuan yang sudah terduduk lemas. Sementara Bagas, menatap benci pada dua orang dewasa di hadapannya yang telah menuduh sang Mama tanpa mendengar penjelasan. "Bener itu, Yan?" tanya Basuki. Kembali dia menarik rambut istrinya ke belakang. "Jawab! Jangan cuma diam, nangis." "Papa!" teriak Bagas sambil memeluk mamanya, takut. Yanti meninggalkan meja makan, semakin lama dia berada di sana akan semakin menyesakkan hati. Pertengakaran mereka di depan si bungsu juga tidak bagus untuk perkembangan mental bocah sepuluh tahun itu. Bagas memerlukan teladan dan situasi rumah yang kondusif. "b***k apa gimana, istrimu itu? Bukannya njelasin malah ditinggal pergi," ujar Maimunah. "Biarin aja," kata Basuki, "Mama tahu dari mana kalau Yanti nyuruh Ilyana gugurin kandungannya?" Maimunah menuang air putih kemudian meneguknya hingga kandas. Berkata keras dan berteriak ternyata membuat kerongkongannya kering. Setelah selesai minum, dia membuka suara. "Mama ketemu Ilyana di supermarket tadi. Dia menceritakan pertemuannya dengan istrimu. Sebenernya, Ilyana berniat baik. Dia meminta Yanti untuk tanda tangan surat perceraian palsu kalian supaya keluarganya percaya kamu dan perempuan nggak becus itu sudah cerai. Eh, dasar orang nggak tahu terima kasih, Yanti malah nyuruh Ilyana gugurin kandungan." "Kurang ajar emang Yanti. Biar aja, Ma. Aku bakal cerein dia beneran. Sudah nggak sanggup aku hidup sama perempuan itu. Bener-bener nggak becus jadi istri." Lelaki itu begitu menghina istrinya, tetapi masih mau dan minta dilayani. Makhluk macam apa dia? Tangan Basuki meraih piring dan memasukkan nasi serta lauk pauk yang sudah disiapkan. Tertarik dengan masakan yang tersaji, Maimunah pun ingin mencicipi hidangan itu. Dia mengambil piring dan mulai memasukkan makanan ke mulut. Orang tua dan anak itu memang tak punya malu. Lama di dalam kamar si bungsu, Yanti mulai merancang masa depan. Mau sampai kapan dia harus menanggung semua kesakitan ini. Jika dirinya bisa menahan, bagaimana dengan anak-anak. Namun, untuk mengakhiri pernikahan dengan Basuki, dia harus kuat dulu secara ekonomi. Tidak mungkin bisa membesarkan dan menyekolahkan dua buah hatinya jika tidak memiliki pendapatan pasti. Sebuah ide muncul, perempuan itu keluar dari kamar si bungsu yang sudah tertidur karena lelah menangis menuju kamarnya sendiri. Mencari-cari ponsel untuk menghubungi seseoarang. Senyum simpul terbit dari wajah Yanti, sahabat terbaiknya membalas chat yang dikirim. "Waalaikumsalam. Kayaknya lebih enak ketemuan langsung, deh, Say. Sekalian reuni tipis-tipis. Sejak nikah kamu dah jarang main," tulis sahabat Yanti yang bernama Naina. "Kita ketemuan besok, Say. Aku butuh banget info kerjaan. Terima kasih bantuannya. Kamu selalu bisa aku andalkan," balas Yanti. Tak lupa dia membubuhkan stiker dua tangan yang mengatup sebagai ucapan terima kasih. Sambil memejamkan mata, perempuan pemilik kulit sawo matang itu menarik garis bibirnya. Jika memang harus menempuh jalur perpisahan, maka Yanti sudah siap. Bukan Basuki yang akan menceraikan, tetapi dia sendiri akan menggugat lelaki itu. Biarlah dianggap kalah oleh Ilyana asal kehidupannya akan kembali tenang setelah ini. ***** Sinar mentari menampakkan diri malu-malu. Segala pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sudah Yanti bereskan. Anak-anak juga sudah berangkat ke sekolah. Pagi ini rumahnya terasa damai, tanpa ada perkataan kasar dan keras yang selalu ada hampir setiap hari. Basuki tidak pulang sejak sang mertua marah-marah kemarin dan Yanti tak lagi peduli akan hal itu. Di mana pun lelaki itu kini menginap, dirinya tak ambil pusing. Tadi, Yanti sudah mengatakan pada anak-anaknya untuk menemui Naina terkait keinginan untuk bekerja. Kedua buah hatinya menyambut dengan gembira, apalagi si sulung. Chalya begitu antusias dengan niatnya. Perkataan si sulung agar Yanti membuktikan bahwa dirinya bisa hidup tanpa bayang-bayang Basuki menjadi angin segar. Mungkin benar pemikiran Chalya, seorang perempuan itu harus bisa hidup mandiri dan memiliki penghasilan. Bukan karena meremehkan kemampuan seorang suami dalam bekerja, tetapi lebih kepada menjaga hal-hal yang kadang tidak bisa diprediksi. Kejadian tak terduga itu bukan hanya seperti yang dialami Yanti saat ini. Namun, banyak hal. Misal jika suatu saat sang suami meninggal atau sakit. Setidaknya, jika seorang perempuan bisa mandiri dan memiliki penghasilan, maka tidak terlalu bingung menghadapi masalah seperti itu. Yanti mengunci rumah sebelum pergi. Memastikan sekali lagi. Dia sudah menyiapkan makanan jika si bungsu pulang. Setelah siap semua, perempuan itu menulis pesan di depan pintu dan berangkat menemui Naina. Sampai di tempat janjian, Yanti sudah melihat Naina duduk dengan seorang lelaki yang tak lain suaminya. "Assalamualaikum," salam perempuan dua anak itu. "Waalaikumsalam," jawab Naina dan suaminya kompak. Yanti dan Naina cipika-cipiki sebelum duduk. Sementara pada suami sahabatnya, cukup berjabat tangan. Dua sahabat yang sudah lama tak bertemu itu mengulas senyum bahagia. Saling menanyakan kabar masing-masing dan memesan makanan serta minuman. "Yakin, nih, mau kerja?" tanya Naina sekali lagi. "Insya Allah, Say." "Temen suamiku sih ada buka lowongan kerjaan di minimarketnya. Cuma aku nggak yakin kamu bakal betah kerja di sana. Secara pekerjaan itu cukup menyita waktu," kata Naina, "iya 'kan, Pa?" Menatap sang suami. "Nggak masalah, Nai. Asal dia mau nerima perempuan yang udah berumur kayak aku ini aja," canda Yanti. "Masih muda, Mbak. Masak berumur, sih?" Suami Naina menimpali. "Secara 'kan umurku udah nggak muda lagi, Mas. Mana belum ada pengalaman kerja sama sekali." "Nanti aku yang ngomong sama dia. Biar langsung diterima," kata suami Naina. "Aku tinggal bentar, ya, Say. Udah kebelet, nih," pamit Naina yang diangguki oleh Yanti. Yanti dan suami sahabatnya mulai ngobrol tentang bagaimana sistem kerja minimarket itu. Sesekali percakapan mereka diselingi gelak tawa. "Bagus, ya," ucap seorang lelaki di belakang mereka, "suami kerja, kamu kelayapan. Bener kata Ilyana tadi." Yanti menengok dan terkejut. "Kamu salah paham, Mas. Aku ...." "Mulai detik ini aku jatuhkan talak untukmu," kata Basuki. Yanti dan suami Naina melongo tak percaya. Sementara Naina yang baru selesai dari toilet, hanya berdiri mematung di belakang Basuki. Inikah imam yang kamu pilih, Yan? Bukan lelaki baik seperti dugaanku selama ini. Kata hati Naina. DERITA MEMBAHAGIAKAN Setelah mengucap kata talak, Basuki pergi begitu saja dengan Ilyana yang sudah menunggu di depan kafe itu. Arya, suami Naina masih melongo menatap Yanti dan istrinya bergantian. Merasa iba dengan perempuan yang sudah dijatuhi talak suaminya, lelaki itu menyodorkan jus yang mereka pesan. "Minumlah, Mbak. Maaf kalau buat suamimu salah paham. Aku nggak nyangka bakalan gini akhirnya," ucap Arya tulus dengan wajah penuh penyesalan. "Aku yang harus minta maaf, Mas," ucap Yanti pada Arya, "Nai, kamu tahu sekarang, 'kan? Gimana kelakuan suamiku." "Sabar, Say," ucap Naina. Dia kemudian merengkuh sang sahabat ke dalam pelukan dan salah satu tangannya mengelus-elus rambut. "Aku nggak pernah nyangka, Basuki bisa melakukannya. Dulu, kalian adalah pasangan idaman di sekolah." "Waktu bisa merubah seseorang, Nai," balas Yanti dengan sesenggukan. "Ini alasanku ingin bekerja seperti ceritaku kemarin." Naina mengangguk paham, terenyuh dengan keadaan sahabatnya. Masa indah pacaran memang tak menjamin selamanya akan bahagia saat pernikahan terjadi. Itu yang terlihat oleh perempuan berhijab pada rumah tangga Yanti dan Basuki. "Iya. Aku paham sekarang, Yan. Semampunya kami akan membantu." ***** Waktu terus berlalu sejak Yanti memutuskan untuk bekerja. Terhitung seminggu sudah, perempuan dengan berat badan 45 kg itu menjalani masa percobaan di minimarket sahabat Arya. Selama kurun waktu itu pula Basuki tidak pernah pulang. Entah di mana lelaki itu menginap setiap hari. Sekedar memberi kabar dan nafkah untuk kebutuhan sehari-hari anak-anak saja, lelaki itu sudah tidak melakukannya. Apakah Basuki sudah menikah dengan Ilyana, Yanti juga belum mendapat kabar. Jika memang mereka sudah menghalalkan hibungan, harusnya sebagai istri yang sudah dijatuhi talak dia mendapat surat gugatan cerai. Namun, semua itu tidak terjadi. Beruntung perempuan itu masih punya sisa uang belanja bulan lalu yang diberikan Basuki. Bahan-bahan kebutuhan dapur dan lainnya juga masih ada. Setidaknya, Yanti masih bisa mencukupi kebutuhannya sampai nanti mendapatkan gaji sendiri. Selesai berhias, Yanti berpamitan pada Bagas yang sedang mengerjakan tugas sekolah sambil menonton televisi. Ketiadaan Basuki beberapa hari sama sekali tidak berpengaruh pada anak-anak. Malah mereka cenderung lebih bahagia dan tenang menjalani aktifitas sekolah. Tak ada lagi kekerasan fisik dan verbal yang selalu mereka lihat setiap hari. "Baik-baik di rumah, ya, Nak. Mama pulang jam sembilan, malam ini. Setelah salat Isya, jangan lupa langsung tidur. Oke," nasihat Yanti pada si bungsu. "Beres, Ma," jawabnya sambil menggerakkan tangan memberi hormat. Yanti tersenyum, sudah lama sekali dia tak melihat kebahagiaan sang putra. "Oh, ya. Hampir lupa," kata Yanti sambil menepuk kening. "Ada apa, Ma?" "Bilang Kakak. Pulang sekolah nanti makanan yang di meja angetin dulu. Makan malam kalau lauk habis minta tolong Kakak untuk menggoreng telur yang di kulkas." "Siap laksanakan." Sekali lagi, Bagas memberi hormat. Tak urang hal itu membuat mamanya gemas. Sebelum berangkat, Yanti menciumi pipi si bungsu dan mengacak rambutnya. Diperlukan waktu tak sampai lima belas menit, perempuan berkulit sawo matang itu tiba di minimarket. Rekan kerja yang sif pagi sudah bersiap-siap untuk menyerahkan tugasnya pada Yanti, dia mulai menata dan menghitung uang hasil penjualan dari mulai bertugas. Perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu memang diterima sebagai kasir di minimarket. "Mbak Yan, ntar kalau bos datang terus lagi ndak ada kerjaan mending bersihin apa gitu. Soalnya Pak Bos suka rewel kalau lihat anak buahnya nganggur," nasihat teman Yanti. "Pak Gaza maksudmu? Bukannya setiap hari dia ngecek kerjaan kita?" tanya Yanti bingung. "Bukan. Big bos nanti yang mau datang. Pemilik minimarket ini." "Siapa?" "Lho, Mbak Yanti belum tahu?" "Nggak pernah tahu." Disertai gelengan kepala. "Namanya Pak Ismoyo. Katanya, sih lagi proses menduda," jelas partner Yanti. "Ish. Ada-ada aja kamu." Mereka berdua tertawa. ***** Di rumah, dua buah hati Yanti tengah kebingungan dengan sikap papanya yang mengusir mereka. Basuki memberi waktu pada Chalya dan Bagas sampai Mama mereka pulang kerja. Di mana hati nurani lelaki yang berstatus ayah itu? Tega mengusir anak kandung sendiri demi wanita yang akan dinikahi. Tersedu Chalya membereskan pakaiannya demikian juga Bagas. Namun, si adik lebih tegar. Bocah kecil dengan tatanan rambut belah pinggir itu, menyikapi dengan santai. Mungkin karena dia masih belum begitu mengerti keadaan yang dialami keluarganya. "Kita mau ke mana, Kak?" tanya Bagas masih belum mengerti. "Nunggu Mama, ya, Dik. Beliau pasti tahu kita harus ke mana," kata Chalya yang masih sesenggukan. "Oke, deh. Kak, Adik ngantuk. Tidur dulu boleh nggak?" "Jangan tidur, Dik. Setengah jam lagi Mama udah pulang. Kalau kamu tidur siapa yang mau nggendong pas kita keluar rumah." "Sebentar aja, Kak. Adik ngantuk banget." Berkali-kali Bagas menguap. Bocah itu memang tak terbiasa tidur lebih dari jam setengah delapan malam. Yanti membiasakan anak-anak lekas beristirahat setelah melaksanakan salat Isya. Suara ketukan pintur terdengar, tanpa menunggu Chalya membukakan, Basuki sudah masuk ke kamar si bungsu. "Mamamu pulang jam berapa? Perempuan punya keluarga kok kerja sampai malam gini. Jangan-jangan dia kelayapan," tuduh Basuki seenaknya. Chalya menajamkan mata pada lelaki yang dulu sangat dia hormati. Ingin marah, tapi dia memikirkan adiknya. "Jam sembilan, bentar lagi juga pulang. Mama itu nggak kayak Papa yang suka ngaret kalau pulang kerja." "Jaga omonganmu. Papa kerja buat kalian kalau pulangnya telat itu artinya lembur. Ngerti?" "Lembur kerjaan apa lembur sama selingkuhan?" Chalya semakin berani menjawab perkataan papanya. "Jangan durhaka sama orang tua." Basuki keluar kamar dengan membanting pintu. "Papa marah lagi, Kak?" tanya Bagas yang indera penglihatannya sudah mulai meredup, ngantuk. "Adik tidur aja. Kakak beresin barang-barangmu. Ntar Mama datang, Kakak bangunin," putus Chalya kasihan melihat adiknya. Lebih setengah jam berlalu dan suara motor terdengar. Chalya yakin itu mamanya. Setengah berlari dia menghampiri Yanti, membukakan pintu sambil menangis. "Kakak kenapa? Mama pulang kok malah nangis," tanya Yanti. Letih setelah bekerja tak lagi dihiraukan, perempuan itu merangkul putrinya. Mengelus-elus punggung dan mengajaknya masuk. Sampai di ruang tamu, Basuki sudah berdiri dengan tangan terlipat di depan d**a. "Kerjaan apa sampai semalam ini? Kelayapan aja kamu." "Oh. Jadi kamu penyebab Kakak nangis," ucap Yanti, "aku sudah bukan istrimu lagi, 'kan? Jadi kamu nggak berhak ngatur dan menanyakan apa pun lagi tentang hidupku." "Bagus kalau kamu sadar sudah bukan istriku lagi. Jadi, silakan keluar dari rumah ini!" kata Basuki keras. Yanti memundurkan langkah, tega Basuki mengusir dirinya. Jika lelaki itu mengklaim bahwa rumah itu miliknya, apa dia tidak sadar bahwa tanah itu milik orang yang sekarang diusir. Yanti tersenyum miris mengingat semua. "Aku akan pergi dari rumah ini, tapi ijinkan anak-anak ikut." "Ya harus kamu bawa. Mereka 'kan anak-anakmu. Aku nggak mau dibikin ribet dengan segala urusan mereka berdua." Ucapan Basuki menjadi kebahagian tersendiri bagi perempuan dua anak itu. "Bagus. Jangan lupa kirimkan juga surat perceraian kita. Aku nggak mau perempuan itu menemui dan mengganggu kehidupanku dan anak-anak." Masih dengan kelelahan yang mendera, Yanti membereskan semua pakaian. Tak ada perabotan satu pun yang dia bawa kecuali anak-anak dan baju-baju. Dia menyuruh Chalya membangunkan Bagas, sementara dirinya sibuk menaruh koper mereka di motor. "Kakak bonceng Adik bisa, 'kan? Koper kalian sudah Mama taruh di motor. Malam ini kita pulang ke rumah Eyang." Entah apa yang menyebabkan Yanti bahagia sekalipun Basuki telah mengusirnya. Kehidupan baru tanpa suami akan segera dimulai sejak malam ini juga. Yanti menaikkan garis bibirnya, meskipun air mata sempat menetes tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD