Menyerah

1290 Words
Bima mengernyitkan kening memandangi Langit yang sudah rapi dengan kemeja hitam dan celana panjang. "Mau kondangan ke mana, lu?" Tanyanya. "Rumah Pak Subagja," sahut Langit sambil merapikan rambutnya di depan cermin. Bima mengangkat kedua alisnya. "Hah! Serius? Mau ngapain?" Tanyanya lagi. Langit berbalik memandang Bima. "Perempuan itu ngejar-ngejar gue terus sampai ke rumah. Dia maksa minta gue ketemu orang tuanya." Bima bersiul. "Mau juga kan, lu akhirnya?" Ledeknya. "Nyerah gue! Kemarin dia hujan-hujanan nungguin gue di parkiran motor." "Ngapain?" Bima membelalakan matanya. "Ya, itu maksa gue ketemu orang tuanya!" Sahut Langit dengan geram. "Masa sih, sampai segitunya?" "Yah... kan, gue udah bilang dia itu perempuan stres!" Bima menepuk-nepuk bahu Langit sambil tertawa. "Selamat deh, lu. Gue doain jadian," godanya. Langit merengut. "Mati berdiri gue punya cewek kayak gitu." "Loh. Gak pa-pa stres dikit, tapi masa depan cerah?" "Lu udah kayak ade gue, Mas. Matre!" Sungut Langit. Bima tertawa. "Itu bukan matre. Itu realistis," ucapnya lagi sambil menenteng boks rotinya yang kosong. "Gue balik duluan!" Pamitnya lalu menghilang di balik pintu. Langit melirik jam di ponselnya. Waktu sudah menunjukan pukul enam. Dibacanya sebuah pesan yang belum dibukanya sejak tadi. Malia tak berhenti mengingatkannya sejak pagi. Dia takut sekali ia tak jadi datang. ... Kini Langit sudah tiba di depan rumah berpagar tinggi itu. Pintu pagar segera terbuka sebelum ia sempat menekan bel. "Mas Langit, ya?" Sapa seorang pria berseragam keamanan dengan ramah. "Silakan Mas, sudah ditunggu Mbak Malia," ucapnya lagi sambil mendorong pintu gerbang lebar-lebar. Langit lalu memarkirkan Vespa-nya di halaman yang luas. Dilihatnya sekelilingnya. Deretan mobil mewah berjajar rapi di sisi taman yang sangat asri. Lalu dipandanginya Vespa tuanya. Langit menghela nafas panjang. Kini jantungnya mulai berdebar. "Haiii!" Sebuah suara mengagetkan Langit. Dari jendela lantai atas rumah tampak Malia melambaikan tangan sambil menyunggingkan senyum. Lalu memberi isyarat padanya untuk masuk ke dalam rumah. Malia berlari menuruni anak tangga untuk menyambutnya. Lalu digandengnya tangan Langit menuju sebuah ruang tamu yang luasnya melebihi luas rumahnya. "Tunggu sebentar ya," ucapnya sambil terburu-buru masuk ke ruangan lain. Lalu kembali dengan menggandeng seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita yang dikenalkannya sebagai orang tuanya. Langit pun menyalami keduanya. Pak Subagja menatap Langit dengan kedua mata berkaca-kaca. Digenggamnya tangan Langit erat-erat. "Saya mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya karena sudah menyelamatkan anak saya," ucapnya terbata. Sejenak Langit terpaku. Ia tahu ada lebih banyak ungkapan terima kasih yang terlihat di matanya dari pada yang keluar dari bibirnya. Dan ia juga tahu dari senyum Ibunya, ada banyak kecemasan yang ditutupinya di sana. Ada banyak cerita kesedihan yang dipendam dalam diamnya. Seketika Langit teringat Sang Ibu. Seperti itulah Ibunya selama berbulan-bulan setelah kematian Ayah. Dan kini ia mengerti mengapa Malia begitu ingin ia menemui mereka. Rasa bersalah tiba-tiba menyelinap di hatinya. "Silahkan duduk, Nak Langit." Suara lembut Bu Subagja menyadarkan Langit dari lamunan sesaatnya. "Terima kasih, Bu," ucapnya. "Saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih sama kamu. Karena kalau kamu tidak ada di sana waktu itu, Malia mungkin..." Suara wanita itu tercekat. Ia menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang akan menetes. "Maaah..." Pak Subagja menatap Sang Istri dengan lembut dan menggenggam tangannya. "Itu karena kebetulan saya sedang ada di sana, Bu..." sahut Langit. Dipandangnya Malia yang duduk tertunduk di sampingnya. "Semua tidak ada yang kebetulan. Kamu ditunjuk Tuhan untuk menyelamatkan anak saya. Saya berhutang budi sama kamu," ucap Pak Subagja lagi. Langit tersenyum dengan canggung. Selama ini ia merasa yang dilakukannya itu bukanlah sesuatu yang besar. Tapi ternyata buat mereka itu adalah sesuatu yang luar biasa. Dan saat mereka memintanya untuk kembali bercerita tentang kejadian malam itu mereka pun tak kuasa menahan tangis. "Maafkan Malia, Nak, karena sudah menyusahkanmu." Wanita itu menyeka air matanya. Langit tersenyum. "Enggak sama sekali, Bu," sahutnya seraya kembali memandang Malia yang masih tertunduk. "Kondisi Malia memang sering tidak stabil. Tapi dia akan kembali memulai terapi minggu depan," imbuh Pak Subagja. Malia mengangkat wajahnya dengan terkejut. "Tapi aku kan, udah sembuh, Pah..." ucapnya. Bu Subagja tersenyum menatap Malia. "Tapi kamu harus tetap bertemu Dokter Widya dulu, sayang," ucapnya dengan lembut. Langit tertegun memandang Malia yang kini kembali meremas-remas tangannya, dan menggigiti bibirnya seperti orang ketakutan. Tiba-tiba saja ia merasa sangat menyesal karena telah memperlakukannya dengan buruk selama ini. Ia tak tahu jika dia begitu menderita dengan depresinya hingga harus melakukan terapi. Perlahan Langit menarik tangan Malia yang gemetar lalu menggenggamnya. "Hei, kalau kamu butuh teman untuk ke Dokter, aku bisa temani kamu," ucapnya seraya tersenyum dengan tulus. Malia menatap Langit tak percaya. Tapi ia lalu tersenyum saat Langit menganggukan kepala untuk meyakinkannya. Dan setelah beberapa saat lamanya saling berbicara, mereka lalu mengajak Langit untuk menikmati makan malam bersama. Di atas sebuah meja makan besar nan panjang, terhidang beragam makanan lezat. Tiba-tiba Langit teringat Mentari dan kembali mencemaskannya. Sepanjang malam ia tak bisa tidur, menemani adiknya di dalam kamar. Meski tadi pagi Mentari sudah kembali ceria, tapi kekhawatiran itu masih menyelimutinya. Ia sendirian di rumah, entah makan apa dia malam ini? Sedangkan di sini ia menikmati makanan enak. "Mas..." Langit terkejut saat melihat tangan Malia menyentuhnya. "Panggil Langit aja," ucapnya. Malia mengangguk."Makan..." ucapnya seraya menuangkan sup panas ke dalam mangkuk kosong di hadapan Langit. Tak banyak percakapan yang terjadi selama makan malam. Kedua orang tua itu seperti ingin memberi kesempatan pada Malia dan Langit untuk menjadi lebih dekat. Bahkan mereka pamit meninggalkan meja makan saat keduanya belum selesai menyantap seluruh hidangan. Dan kini Langit menatap wajah Malia yang tampak pucat. "Kamu sakit?" Tanyanya. Malia menggeleng. Tapi Langit tak percaya. Dirabanya kening gadis itu "Kamu anget," ucapnya khawatir. "Aku gak pa-pa." Kini Malia menjauhkan tubuhnya. Berusaha menghindar. "Karena kehujanan kemarin itu, kan?" Tanya Langit lagi. Tapi Malia tetap menggeleng membuat Langit semakin merasa bersalah. "Maaf ya, udah bikin kamu kehujanan," sesalnya. Malia kembali menggeleng. "Bukan salah kamu. Kan, akunya yang mau," sahutnya. "Aku juga minta maaf kalau kemarin aku sering kesal dan marah-marah sama kamu," sesal Langit lagi. "Kan, aku juga yang sengaja bikin kamu kesal?" Sahut Malia sambil tertawa. Sesaat Langit tertegun memandangi gadis di sampingnya itu. Ia baru menyadari jika selama ini ia tak pernah melihatnya tertawa. Sudah pukul sembilan lewat ketika Langit berpamitan untuk pulang. Malia membawakannya sekantong penuh makanan untuk Mentari. Dan kedua orang tuanya ikut mengantarkannya hingga ke halaman depan. Perlakuan hangat mereka membuat Langit merasakan kembali sesuatu yang lama hilang dari hidupnya. Dipandanginya kembali wajah Malia yang melambaikan tangan dengan senyum yang lebar. Ah! Betapa beruntungnya hidup gadis itu. Dan Langit pun memacu motornya dengan cepat, menembus gelap dan dinginnya malam. Tapi ia tak merasakan dingin itu, karena kini hatinya diselimuti kehangatan. Sesampainya di rumah, Langit buru-buru menghampiri kamar Mentari. Ia sangat mengkhawatirkannya sejak tadi. Tapi ia terkejut saat mendengar suara tawa Sang Adik dari dalam kamar. Dengan curiga ia pun membukanya. "Selamat malam, Mas Langit... " Ucap Devia saat pintu terbuka. "Oh, ada Devia?" Sahut Langit terkejut sekaligus lega. "Kak Devia udah dari tadi nemenin aku. Mas Langit lama banget sih lemburnya?" Gerutu Mentari. "Sorry... Nih, Mas bawain makanan," sahut Langit seraya mengulurkan kantong besar yang dibawanya itu pada Mentari. Namun seketika ia tersadar saat dilihatnya hidangan yang tersaji di atas meja makan. "Mas Langit udah makan, ya?" Mentari menatap isi kantong itu. Wajahnya berubah kecewa. "Yaaah, aku sama Kak Via nungguin makan bareng. Kita udah masakin kesukaan..." "Oh! Belum, kok!" Sahut Langit memotong ucapan Mentari. "Makanan ini tuh, dikasih sama pelanggan cafe tadi. Kamu simpan di kulkas aja buat besok. Sekarang kita makan yang kalian masak dulu, " dustanya. Ia tidak ingin mengecewakan adik tercintanya. Dan kini Langit kembali menyantap makan malam untuk yang kedua kalinya. Demi Mentari, dan demi Devia yang sudah bersusah payah menjaga dan menemaninya. Sudah tidak ada raut kesedihan di wajah Mentari. Kini ia kembali cerewet seperti biasanya. "Mas Lang, lihat sini, dong! Senyuum!" Seketika kilatan kamera dari ponsel Mentari menangkap gambar mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD