Karma Tak Bersuara

1286 Words
Malia mengetuk pintu ruangan itu perlahan. Dan saat terdengar sahutan dari dalam ia pun melangkah masuk. "Kita makan siang di sini, Pah?" Tanyanya saat melihat hidangan yang sudah tersaji di atas meja. Pak Subagja mengangguk. "Iya, di sini saja. Sekalian ada yang mau Papa bicarakan." "Tentang apa, Pah?" Malia menarik kursi lalu duduk di hadapan Sang Papa. Pak Subagja tersenyum. "Makan dulu, ya," sahutnya sambil menyodorkan piring kosong pada Malia. Tapi Malia meletakkan kembali piring itu di atas meja. Ditatapnya Pak Subagja dengan curiga. "Apa Papa mau memintaku untuk ikut terapi lagi?" Tanyanya. Pak Subagja tersenyum sambil menggeleng. "Kamu kan, sudah sembuh?" Sahutnya sambil menyendokkan nasi ke atas piringnya. Tapi Malia malah semakin curiga. "Apa ini tentang Langit?" Tanyanya kembali. Kini Pak Subagja meletakkan kembali sendok yang di pegangnya di atas piring. Lalu kembali menggeleng. "Ini tentang kamu. Kuliah kamu yang belum selesai di London." Malia menatap Pak Subagja dengan bingung. "Tapi dari dulu aku udah bilang enggak mau lanjutin lagi. Dan Papa sama Mama sudah setuju!" "Iya, Papa tahu. Tapi Papa sama Mama tidak ingin kamu menyesal nantinya." "Aku enggak akan menyesal, Pah!" "Tapi lebih baik kamu melanjutkannya. Dan menyelesaikannya sampai mendapat gelar Master." "Tapi buat apa, Pah? Memangnya gelar sarjana aku enggak cukup buat bekerja di perusahaan Papa?" Malia menatap tajam wajah Pak Subagja. "Bukan, begitu... Papa cuma merasa sayang dengan kuliah kamu itu. Sejak dulu kan, kamu bercita-cita untuk mendapatkan gelar Master. Kamu enggak harus melanjutkannya di London. Kamu bisa ke Amerika dan tinggal bersama Kakak kamu." Malia mendorong punggungnya ke sandaran kursi. Lalu menggelengkan kapalanya. "Aku tahu itu bukan alasan yang sebenarnya. Papa sama Mama memintaku kuliah di luar negeri supaya aku menjauh dari Langit, kan? Sejak Papa melihat video itu, sikap Papa mulai berubah." "Papa sama Mama cuma ingin yang terbaik buat kamu." "Bukan, Pah! Itu bukan yang terbaik buat aku! Itu terbaik buat Papa. Karena Papa malu aku berhubungan dengan mantan anak jalanan. Iya, kan?" Suara Malia kini bergetar. Kini Pak Subagja menatap Malia sungguh-sungguh. "Kamu adalah masa depan kami, Malia. Masa depan perusahaan ini. Kami membangun perusahaan ini dengan susah payah. Menjaga dan mempertahankannya bahkan jauh lebih susah. Sejak dulu Papa dan Mama sama sekali tidak pernah melarang kamu berhubungan dengan laki-laki yang kamu suka. Tapi, kamu juga harus ingat, yang membuat kamu sampai depresi itu juga karena laki-laki pilihan kamu. Kami hanya tidak ingin kamu mengalami nasib yang sama..." Malia menatap Pak Subagja dengan mata berkaca-kaca. "Jadi, Papa mengira depresi aku itu semata karena Demian?" Pak Subagja tak menjawab. Ia hanya menatap Malia dalam diam. "Papa sudah melupakan kecelakaan itu...?" Lirih Malia. Air matanya kini menetes. Dan Pak Subagja lalu menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menghela nafas dengan berat. "Tidak ada seorang pun yang tahu tentang kejadian itu..." "Mereka tahu, Pah! Orang-orang di jalanan itu tahu!" "Cukup, Malia! Mario sudah membayarnya!" Suara keras Sang Papa membuat Malia terkejut. Ia lalu terpaku menatapnya. "Itu karena Papa tidak pernah berusaha untuk mencarinya. Andai saja Papa mencarinya... Dan tidak membohongi kami..." "Maafkan, Papa... Semua yang Papa lakukan adalah demi masa depan kalian." Pak Subagja menatap Malia dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Malia menggeleng. "Bukan, Pah. Papa melakukannya bukan demi aku dan Mario. Tapi demi nama baik Papa. Dan demi nama baik perusahaan ini." "Tidak ada satu pun orang tua yang ingin anaknya masuk penjara. Papa tidak bisa membiarkan Mario masuk penjara..." Kini Pak Subagja menatap Malia dengan sorot mata tak berdaya. "Dan Papa lebih memilih Mario menerima hukuman karma dari pada di penjara. Karena karma tidak akan bicara pada siapa pun. Dan orang-orang tidak akan pernah tahu... Papa yang sudah membuat Mario mati..." Malia menahan isaknya. Ditatapnya kembali Sang Papa dengan bibir bergetar. "Bukankah Papa dan Mama menginginkan aku bahagia? Sejak bertemu Langit aku bahagia, Pah. Dia membuat aku hidup. Langit bukan Demian. Dia mungkin anak jalanan, tapi dia laki-laki terhormat. Dia tidak pernah menyentuhku. Dia menghormatiku seperti dia menghormati adik perempuannya. Dia menghormati Papa seperti dia menghormati Ayahnya. Dan mungkin dia orang tak mampu, tapi dia tidak pernah menjual harga dirinya. Biarkan aku terus bersamanya, Pah. Papa tidak perlu khawatir. Dia tidak akan mempermalukan Papa. Aku akan menjaga nama baik Papa." Malia mengusap air matanya sebelum kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Sang Papa yang memandanginya dengan air mata yang sudah menetes. .... Langit berdiri di depan cermin sambil memandangi pantulan dirinya dengan aneh. Dengan kemeja lengan panjang berwarna putih, dasi dan celana berwarna kelabu, serta sepatu pantofel hitam mengkilat yang membuat kakinya serasa terjepit, ia seperti melihat bayangan orang lain. Langit menarik nafasnya dalam-dalam. Ia tidak tahu apa yang direncanakan Malia dengan memintanya berpenampilan seperti ini. Tapi ia sudah berjanji untuk menurutinya. Ia tidak ingin membuatnya kecewa. Apalagi dia sudah bersusah payah membelikannya setelan pakaian dan sepatu untuk menghadiri acara Lunch Gathering seluruh karyawan Bagja Company. Langit membuka pesan yang masuk ke ponselnya. Malia sudah kembali mengingatkannya bahwa acara akan segera dimulai. Dengan hati berdebar ia pun berjalan keluar. Semua mata memandangi Langit saat ia membuka pintu Function Room Bagja Tower. Sambil berusaha menenangkan hatinya yang gugup, ia mencoba menyapa dengan senyuman. Sebenarnya ia mengenal hampir seluruh orang-orang yang berada di ruangan itu. Karena mereka juga adalah pelanggan Cafe Dewa. Tapi entah kenapa rasanya sangat berbeda saat ia menyapa mereka di sini. Ia merasa tak percaya diri. Apalagi saat menyadari jika sekarang mereka sudah tahu siapa dirinya. Mantan ketua genk jalanan. Ah, memalukan sekali! Tapi Malia dengan cepat menyelamatkan Langit begitu melihatnya. Ia menggandengnya menuju sebuah meja bundar yang besar. Di sana sudah ada Pak Subagja dengan dua orang lainnya. "Langit, perkenalkan ini Pak Johan, General Manager Bagja Company. Dan Bu Shinta, Manager Operasional Gedung ini." Pak Subagja memperkenalkan kedua orang yang duduk di hadapan mereka. Langit memperkenalkan diri sambil bertanya-tanya dalam hati. "Nanti kalau kuliah kamu sudah selesai, kamu bisa bergabung dengan beliau," imbuh Pak Subagja. Langit memandang Pak Subagja dengan bingung. Lalu beralih memandang Malia yang duduk di sampingnya. Tapi Malia tak menoleh. Ia sengaja menghindar. "Kata Malia kamu pernah kuliah Arsitektur?" Tanya Pak Subagja. Langit mengangguk. "Iya, Pak, tapi tidak selesai," sahutnya. Pak Subagja menepuk punggung Langit. "Kamu harus selesaikan kuliah secepatnya. Kalau terlalu lama ditunda nanti semakin malas. Iya, kan Pak Johan?" Pak Johan menjawab dengan anggukan. Langit kembali memandang Malia. Tapi Malia hanya tersenyum tanpa kata. Kini ia mengerti. Malia sudah mengatur semuanya. Dia tahu ia tak akan berani menolak permintaan Ayahnya. Langit mencoba menenangkan hatinya yang kesal dengan menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya makanan di atas piringnya. Selera makannya mendadak menghilang. Makan siang itu seperti neraka buat Langit. Apalagi saat kemudian ia diperkenalkan kepada seluruh orang yang hadir di sana. Ia merasa seperti tengah berada di dunia yang berbeda. Ia merasa asing. Ia tak terbiasa berhadapan dengan orang-orang berpenampilan rapi dan kelimis yang berbicara dengan rasa segan. Tertawa dengan terpaksa, dan senyum yang dibuat-buat demi menyenangkan hati pemilik tempat mereka menggantungkan hidup. Ia tak bisa menjalani hidup seperti itu. Ia tak tahu caranya. Ini terlalu berlebihan buatnya. Dan saat akhirnya acara itu selesai ia pun bergegas meninggalkan ruangan. "Kamu kalau punya rencana mestinya ngomong dulu!" Sergah Langit pada Malia yang berjalan mengikutinya di belakang. "Kalau aku kasih tahu, kamu gak bakal setuju!" Jawab Malia. Langit membalikkan tubuhnya. Ditatapnya Malia dengan tajam. "Makanya gak usah bikin rencana terus! Kamu selalu saja mengatur hidupku!" "Karena aku ingin kamu lebih baik!" "Baik buat kamu?!" "Lalu? Apa itu gak baik buat kamu juga? Aku mikirin kamu. Bisa gak kamu mikirin aku? Mikirin perasaanku? Sekali aja kamu senang dengan rencanaku?" Langit terdiam, ia sudah tak bisa lagi menahan hatinya yang geram. Ia pun kembali berbalik lalu pergi dari hadapan Malia. Malia memandangi punggung Langit dengan putus asa. Ia lelah sekali menghadapinya. Apa yang dilakukannya selalu saja salah di matanya. Andai saja dia tahu ia tengah berusaha memperjuangkan cinta mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD