Cemburu Langit

1364 Words
Langit tak bisa menyembunyikan wajah terkejut sekaligus kekagumannya, saat melihat teras belakang cafe yang kini berubah menjadi sangat indah. Deretan tanaman dalam pot-pot besar, dengan sofa-sofa empuk, dan lampu-lampu yang temaram menyulap teras layaknya sebuah taman rooftop yang asri dan romantis. Siapa pun akan betah berlama-lama berada di sana. Langit memandang Bima yang tengah mengatur meja dan kursi bersama Danar. "Kapan dikerjainnya, Mas? Kok udah jadi aja?" Tanyanya bingung. "Akhir pekan kemarin. Pas libur," sahut Bima dengan bangga. "Kok, lu gak ngasih tau gue? Tau gitu kan, gue bisa bantuin?" "Udah ada Pak Tommy sama anak buahnya yang kerjain. Gue cuma datang ngawasin aja. Bagus, kan?" Bima tersenyum lebar. Langit mengangguk. "Keren, Mas!" Sahutnya sambil mencoba duduk di atas sofa. "Lu bisa pacaran disini sama Malia. Biar gak ada yang ganggu. Kalau malam lampunya itu romantis banget." "Apaan sih lu, Mas!" Sungut Langit. "Loh, beneran kok. Ini kan, sengaja dibikin konsep romantis sama Ma..." Tiba-tiba Bima tak melanjutkan kalimatnya. Ia malah pura-pura terbatuk. Langit menatapnya curiga. "Malia?" Tanyanya. "Maunya gue, maksudnya!" Sahut Bima. Tapi Langit tak percaya. Ia sudah yakin ini adalah ide Malia. Bahkan ia juga yakin jika saat ini dia sudah bekerja sama dengan Mas Bima untuk menjadi investor Cafe Dewa. Dan ia percaya Malia merubah tempat ini bukan untuk pelanggan semata, tapi untuk dirinya sendiri. Agar dia lebih nyaman saat berada di sini. Bahkan mungkin sebentar lagi dia akan mengadakan meeting di teras ini. "O ya, Lang. Tempat ini mau dipakai meeting nanti sore. Jam empat sampai jam enam. List-nya udah gue tempel di konter," ujar Bima, lalu melangkah masuk ke dalam cafe. Langit tersenyum. Benar saja dugaannya. Percuma saja ia berusaha menjaga jarak kalau pada akhirnya mereka akan sering bertemu kembali. "Hai!" Sebuah suara membuat Langit menoleh. Malia sudah berdiri di hadapannya sambil memegang secangkir kopi. "Kamu udah sarapan?" Tanyanya seraya duduk di samping Langit. Langit mengangguk. "Kamu?" Tanyanya balik. Malia menggeleng. "Belum sempat," sahutnya. "Mau aku ambilin roti?" Tanya Langit lagi. Malia menggeleng. "Nanti aja," sahutnya, lalu memandangi sekeliling teras dengan kagum. "Kamu suka?" Tanya Langit. Ia benci sekali harus berpura-pura. Malia menyesap kopinya, lalu mengangguk. "Nanti sore aku ada meeting disini," sahutnya. Langit tersenyum. Ya, tentu saja. Sekarang dia akan mengadakan meeting setiap hari di sini, karena ini miliknya. Sebenarnya Langit ingin sekali mempertanyakan tentang perubahan teras itu. Tapi, ia takut dianggap terlalu ikut campur. Biar bagaimana pun ia hanyalah seorang karyawan di cafe ini. Ia tak punya hak untuk melarang Mas Bima melakukan apa saja yang ia mau, termasuk bekerja sama dengan Malia. Lagipula sepertinya Malia memang tidak ingin ia tahu. "Gimana liburan kamu kemarin?" Tanya Malia tiba-tiba. Wajahnya berubah datar. Langit terdiam, memikirkan jawaban. Ia tahu Mentari pasti sudah memposting foto-foto mereka semalam di sosial medianya. "Biasa aja," sahut Langit. Tapi kemudian ia berubah pikiran. Ia tak mau lagi menyembunyikan sesuatu darinya. Ia tidak ingin ada drama lagi dalam hubungan mereka yang mulai membaik. "Hmm, Mentari dan Devia ngajak aku jalan ke mall. Kita makan malam dan nonton," imbuhnya lagi. "Oh!" Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Malia. Ia lalu memalingkan wajahnya. Tapi Langit tahu Malia sedang menyembunyikan wajah cemburunya. Tapi ia membiarkannya. Ia tak ingin kembali berbohong hanya untuk menyenangkan hatinya. Malia harus belajar dewasa. "Kalau kamu?" Tanyanya kemudian. "Di rumah aja," sahut Malia masih dengan nada yang datar. Langit mengangguk. Sejenak keduanya lalu terdiam. Malia menyapu pandangannya ke deretan gedung-gedung pencakar langit di hadapannya. Dan Langit mengamati raut wajahnya dari samping, menerka-nerka apa yang akan dilakukannya setelah tahu ia menghabiskan waktu malam minggunya bersama Devia. Kalau dia sampai membuat ulah lagi, ia bersumpah akan meninggalkannya. Ia sudah lelah dengan semua dramanya. "Hmm, kamu masih suka mengajar lukis?" Pertanyaan Malia memecah keheningan diantara mereka. Langit lalu mengangguk. "Hanya ke teman-teman Mentari aja," sahutnya. "Apa aku boleh ikutan?" Sejenak Langit memandang Malia dengan ragu. Mana bisa dia ikutan les lukis dengan para ABG centil itu? Bisa-bisa dia membuat drama lagi di rumahnya. "Hmm, studio lukisku tuh, kecil. Sesak sama mereka. Belum lagi ributnya. Kamu pasti gak akan betah. Mendingan aku aja yang ke rumah kamu," sahut Langit. Malia menatap Langit sambil mengernyitkan alisnya. Ia seperti mencari penjelasan lain di matanya. Ya, Tuhan dia tak percaya! Gumam Langit. Tapi akhirnya Malia memalingkan wajahnya kembali. "Ok!" Sahutnya. Lalu buru-buru menghabiskan sisa kopinya. "Aku ke kantor dulu!" Ucapnya kemudian, lalu beranjak meninggalkan Langit tanpa senyuman. Langit tersenyum. Ia tahu Malia masih cemburu. ... Langit tertegun menatap layar ponselnya. Dengan wajah bingung didatanginya Bima yang tengah serius mengamati deretan angka-angka di layar laptop. "Mas!" Bima menoleh. "Kayaknya lu salah transfer gaji gue." Langit menunjukkan layar ponselnya. Mutasi gajinya yang baru saja masuk. "Oh, ya! Gue lupa bilang. Mulai bulan ini gaji lu naik," sahut Bima dengan santai. Langit mengangkat kedua alisnya. "Seratus persen? Ini kenaikannya dua kali lipat, Mas!" Sahutnya dengan bingung. Bima mendorong kursinya ke belakang, lalu memandang Langit dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Gaji lu gue naikin dua kali lipat, mestinya lu senang. Kalau kurang baru komplain," sahutnya. "Tapi..." Langit tak jadi meneruskan kalimatnya saat dilihatnya Bima masih memandanginya dengan raut wajah yang tak ingin dibantah. "Ok..." Sahut Langit akhirnya. "Thank you! Mas," Ucapnya kemudian, lalu keluar dari dalam ruangan diikuti pandangan Bima. Dan Bima pun lalu mengusap wajahnya, dan menghembuskan nafas dengan lega. Di sudut konter, Langit terbenam dalam lamunannya. Ia semakin tak mengerti dengan Bima. Kenapa dia sekarang jadi royal sekali? Langit kembali mengingat-ingat pengunjung yang datang ke cafe. Ia yakin penjualan cafe tak meningkat banyak. Dan ia juga ingat pendapatan rata-rata cafe setiap harinya. Tak ada perubahan yang berarti. Hampir sama saja setiap bulan. Lalu Mas Bima dapat uang dari mana untuk membayar gajinya sebanyak itu? Apakah ini campur tangan Malia juga? Langit mengerutkan keningnya. Tapi buat apa dia berinvestasi di cafe kecil mereka? Kalau mau dia bisa membuat cafe sendiri di setiap mall di kota ini. Atau dia memang sengaja melakukan ini agar bisa kembali mengintervensi hidupnya? Ah! Langit meremas rambutnya dengan kesal. Malia memang selalu saja punya rencana tersembunyi. Tepat pukul empat sore, Malia sudah datang bersama tujuh orang lainnya. Enam orang adalah orang yang sama yang pernah mengikuti meeting-nya minggu lalu. Tapi ada satu orang yang belum pernah dilihatnya. Pria muda itu tampak akrab sekali dengan Malia. Siapa dia? Langit mengamatinya dari kejauhan. Pria itu sangat tampan. Seperti seorang model. Dan penampilannya sangat rapi. Dia pasti seorang eksekutif muda, batin Langit. Dibantu Danar, Langit lalu mulai menyiapkan seluruh pesanan kopi dan snack. Dan mengantarkannya ke teras belakang. Dilihatnya orang-orang itu sibuk mengambil foto masing-masing. Mereka terkagum-kagum dengan teras yang berubah menjadi indah. Langit melihat Pria itu tengah berbincang akrab dengan Malia. Mereka saling berhadapan sangat dekat. Terkadang pria itu menyentuh wajah Malia. Tapi Malia hanya tertawa. Terlihat sekali Malia menyukainya. Apakah dia kekasih barunya? Tiba-tiba saja Langit merasakan dadanya terasa sesak. Hatinya terbakar api cemburu. Tak tahan berlama-lama melihatnya Langit bergegas meninggalkan tempat itu. Tapi suara Malia yang tiba-tiba memanggil, memaksanya untuk berbalik dan menghampirinya. "Kenalin inì Langit. Dia Barista di sini," ucapnya pada pria itu. "Bryan!" Dan pria bernama Bryan itu pun menjabat tangan Langit dengan erat dan lama. Dia bahkan berani memandanginya dari atas ke bawah. Langit menahan emosinya. Untuk apa dia memandanginya seperti itu? Mengejeknya? Mungkin Malia sudah menceritakan segala hal tentang dirinya. "Ok, udah ya!" Malia menarik tangan Bryan. Tapi Bryan masih terus memandangi Langit. Langit hampir saja tak bisa menahan emosinya lagi kalau saja Bima tak muncul dari balik pintu membawa senampan makanan kecil. Bergegas Langit masuk kembali ke dalam cafe. Ia membanting nampan yang dipegangnya ke atas meja konter. Nafasnya tersengal. Dadanya turun naik menahan amarah. Tatapan Bryan padanya membuatnya sangat terhina. Dan bahkan Malia tak ingin ia berlama-lama menjabat tangannya. Langit menghembuskan nafas panjangnya. Berusaha menenangkan hatinya yang semakin panas membara. Sudah lama sekali ia tak pernah semarah ini. Mengapa Malia melakukan ini padanya? Untuk membuatnya cemburu? Atau inikah caranya membalas dendam untuk apa yang telah dilakukannya pada Devia? Langit meremas rambutnya. Rasanya ia tak akan bisa menahan diri lagi jika harus melihat mereka kembali di sana. Apa yang harus dilakukannya kini? Memandangi mereka bermesraan selama dua jam? Langit melepas apronnya. Lalu melemparnya ke atas meja, dan keluar meninggalkan cafe. Ia harus menenangkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD