Ketahuan Pada Akhirnya

1235 Words
Langit membuka mata perlahan saat merasakan hangatnya sinar matahari menembus masuk jendela kamarnya. Tapi tubuhnya seperti tak mau bergerak. Kakinya bahkan seperti terikat di atas tempat tidur. Kini ia baru merasakan kelelahan luar biasa setelah seharian kemarin melayani pelanggan cafe tanpa henti. Diliriknya jam di atas meja. Sudah hampir pukul sembilan pagi. Perutnya sudah mulai kelaparan. Perlahan ia memaksa tubuhnya bangun dan keluar dari dalam kamar. Tapi kenapa sepi sekali? Ke mana Mentari? Tanyanya. Namun kemudian ia tersenyum saat mendapati sebuah pesan pada secarik kertas yang menempel di pintu kamarnya. "Lagi sepeda-an sama Kak Vina. Kalau mau titip sarapan, WA aja!" Langit tersenyum. Diambilnya ponsel dan diketikkannya sebuah pesan ke nomor Mentari. Dan dibukanya dua buah pesan masuk dari Malia yang menanyakan kabarnya sejak tadi. Langit membacanya sekilas tanpa membalas. Ia akan membuat Malia kesal hari ini. Ia akan membalas perlakuannya kemarin. Sambil tersenyum senang Langit lalu mematikan ponselnya. Hari ini ia akan beristirahat seharian. Siapa pun tak boleh ada yang mengganggunya, termasuk Malia. Ia pun menarik kakinya ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Dan kembali memejamkan mata. Rasanya baru sekejap Langit terpejam ketika ia mendengar suara nyaring memanggilnya. "Mas! Ini sarapannya!" Wajah Mentari sudah berada tepat di atas wajah Langit dan mengamatinya. "Mas Lang sakit?" tanyanya sambil menyentuh kening Langit yang hangat. Langit menggeleng. "Kok, anget? Mukanya juga pucat!" Langit menyentuh keningnya. Ia baru menyadari ternyata ia sedang tak enak badan. "Cuma kecapeakan aja," sahutnya. Lalu beranjak bangun dan membuka bungkusan yang dibawa Sang Adik. "Mau dipanggilin tukang pijit langganan, gak?" Wajah Mentari berubah khawatir. Langit menggeleng. "Mau tidur aja. Nanti siang juga sembuh," sahutnya lagi. Mentari bergegas ke dapur lalu kembali dengan segelas teh hangat untuk Sang Kakak. Langit tersenyum. Mentari memang paling takut melihatnya jatuh sakit. Ia takut dirinya akan mengalami sakit yang sama seperti Ibu mereka dulu. "Mas gak pa-pa. Beneran! Cuma kecapeakan aja. Karena kemarin tuh, cafe ramai banget!" Langit berusaha menghilangkan kekhawatiran di wajah Mentari. "Kalau sampai sore nanti masih panas, Mas harus mau aku antar ke Dokter!" Ancam Mentari. Langit pun mengangguk untuk menenangkannya. Setelah menghabiskan sarapan, Langit kembali ke dalam kamar. Karbohidrat yang masuk kedalam perutnya membuat matanya kembali mengantuk. Entah berapa lama Langit tertidur saat tiba-tiba ia merasakan sebuah sentuhan lembut mengusap wajahnya. Langit memicingkan mata. "Malia?!" Jeritnya dengan mata yang terbuka lebar. Malia menatap Langit dengan wajah khawatir. "Kamu gak balas pesanku. Hape kamu juga mati. Aku tanya Mentari, ternyata kamu sakit," sahutnya menjawab tanya di wajah Langit. Langit mengusap wajahnya yang masih terasa hangat. Sekarang ia merasa kepalanya pun ikutan sakit. Dilihatnya sekeranjang buah segar yang dibawa Malia di atas meja. Langit menghela nafas panjang. "Aku gak pa-pa. Cuma perlu istirahat aja, nanti sore juga sembuh," ucapnya seraya duduk bersandar di tempat tidurnya. "Tapi kamu panas. Aku antar ke dokter, ya?" Malia menyentuh kening Langit. "Mal... aku cuma kecapekan aja. Gak perlu ke dokter! Lihat nih, aku bisa bangun!" Akhirnya Langit memaksa tubuhnya bangun dari atas tempat tidur lalu berjalan ke ruang tamu. Dihempaskannya kembali tubuhnya di atas sofa. Langit kembali memandang wajah cemas Malia. Kenapa sulit sekali untuk menghindarinya? Padahal ia hanya ingin beristirahat sebentar saja, keluhnya. "Hari ini kamu gak usah ngapa-ngapain. Aku sama Mentari aja yang beresin rumah," ucap Malia dengan nada memerintah. Langit menggeleng. "Gak perlu. Biar Mentari aja. Kamu kan..." Belum sempat Langit melanjutkan ucapannya, Malia sudah meletakkan telunjuk di bibirnya. "Jangan membantah!" Ucapnya dengan mata melotot. Langit pun terdiam pasrah. Ia terlalu lelah untuk berdebat dengannya. Dasar bossy! Bahkan di rumah pun dia tak berhenti mengaturnya, gerutunya. Kini dicobanya kembali memejamkan mata. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ya, Tuhan! Mobil! Jeritnya. Ia harus segera mengambil mobil itu dari rumah Devia sebelum Malia tersadar dan menanyakannya. Diam-diam ia pun melangkah keluar rumah. Tak butuh waktu lama Langit sudah kembali dan memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah. Namun tiba-tiba saja Malia sudah berdiri disana, menunggunya. Mentari yang diam-diam berdiri di belakang Malia memberi isyarat padanya untuk berbohong. "Memangnya habis kamu parkir di mana?" Tanya Malia. "Tetangga sebelah," jawab Langit berusaha tetap tenang. "Kalau malam di taruh di depan sini tuh, rawan. Jalanannya kan, kecil. Takut keserempet," imbuhnya lagi. Dan ia pun menarik nafas lega saat akhirnya Malia tak bertanya lagi. Tapi kini pikirannya kembali menerawang jauh. Mau sampai kapan ia terus-terusan berbohong padanya? Ia tak bisa selamanya bersandiwara. Dipandanginya Malia yang tengah membereskan kamarnya. Biar pun dia sering membuatnya kesal tapi dia sudah begitu baik padanya. Dia selalu ingin membantunya, meski terkadang bantuannya sering membuatnya repot. Perlahan Langit masuk ke dalam kamar. Dibantunya Malia melipat selimut. "Kamu gak harus melakukan ini semua hanya untuk membuat aku mencintai kamu," lirihnya dengan rasa bersalah. Malia berhenti bergerak, lalu menatap Langit dalam-dalam. "Semua yang aku lakukan ini bukan untuk membuat kamu mencintai aku... Tapi aku melakukannya karena aku mencintai kamu..." ucapnya, lalu keluar dari dalam kamar. Sesaat lamanya Langit hanya bisa diam terpaku. Ucapan Malia seperti sebuah siraman air dingin di kepalanya. Mengejutkan sekaligus membuatnya tersadar. Selama ini ia bersusah payah untuk menyangkal hatinya bahwa gadis itu sungguh-sungguh mencintainya. Ia menganggap cintanya hanyalah cinta lokasi sesaat karena ia pernah menolongnya. "Mas Langiiit! Aku bikinin wedang jahe nih!" Suara Mentari dari ruang makan menyadarkan Langit dari lamunannya. Dilihatnya segelas air jahe panas yang mengepul di atas meja. Dan dipandanginya Malia yang tengah mengiris Buah Apel untuknya. Kini hatinya semakin luluh. Ini terlalu berlebihan buatnya. Sudah lama ia tak pernah merasakan perhatian yang tulus dari wanita mana pun selain Mentari. Diambilnya pisau dan buah itu dari tangan Malia, lalu diletakkannya di atas meja. Langit lalu memeluknya. "Terima kasih, ya," bisiknya. Ia tak mengerti apakah ia mulai menyayanginya atau hanya ingin membalas kebaikannya. Tapi saat ini ia hanya ingin mengikuti kata hatinya. Malia mengeratkan kedua tangannya di punggung Langit, dan menyandarkan wajah di dadanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Ehm!" Tapi suara batuk Mentari yang disengaja mengagetkan Langit dan Malia. Langit melepaskan pelukannya dengan canggung. Dan Malia pun tersipu malu. "Jadi? Udah jadian nih, ceritanya?" Seru Mentari dengan wajah sumringah. Kini Langit yang terbatuk. Diacak-acaknya rambut Sang Adik. "Anak kecil!" Serunya, sambil mengambil sepotong Apel dan memasukannya ke dalam mulut. "Mas, aku boleh ikut ke rumah Kak Malia, gak? Kak Malia ngajak berenang di rumahnya!" Mentari menatap Langit dengan wajah memohon. "Kapan?" Tanya Langit. "Besok pagi aja. Aku ke sana duluan. Nanti kalau Mas Lang udah selesai melukis Kak Via, baru menyusul." Seketika suasana menjadi hening. Langit mematung menatap Mentari yang terdiam sambil menutup mulut dengan tangannya. Dan Malia menatap Langit tak percaya. Matanya kembali berkaca-kaca. "Maaf..." Hanya itu yang keluar dari mulut Mentari. Suaranya bergetar. Ia hampir menangis. Malia menatap Langit yang masih terdiam. Matanya sudah berair. Ia tak butuh lagi penjelasan darinya. Tanpa kata ia pun beranjak dari duduknya. Lalu berlari ke luar rumah. Tak dihiraukannya Mentari yang memanggil dan mengejarnya. Dengan cepat Malia masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi. Langit masih terdiam di tempatnya. Ia bahkan tetap mematung ketika Mentari mengucap sesal sambil memeluk punggungnya. Tidak! Ia tidak menyalahkannya. Ini semua salahnya. Ia yang harus disalahkan. Ia tahu ini akan terjadi. Ia hanya tak menyangka rasanya akan begitu menyakitkan. "Maafkan aku, Mas!" Isak Mentari. Air matanya jatuh membasahi bahu Langit. Langit memejamkan kedua matanya. Ia tidak mengerti dengan semua yang terjadi di hadapannya dengan begitu cepat. Baru saja ia memeluknya dan melihat wajahnya tersipu. Tapi tiba-tiba saja ia melihatnya berurai air mata. Ia tak mengerti mengapa hatinya begitu pilu melihatnya menangis. Dan mengapa dadanya terasa sesak melihatnya pergi meninggalkannya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD