Membuka Hati

1426 Words
Langit melambaikan tangan ke arah kamera pengawas di atasnya. Dan beberapa detik kemudian, pintu pagar besi itu pun terbuka. Tampak seorang pria berseragam keamanan mendorong pagar itu dan mempersilakannya masuk. Hari ini ia mulai mengikuti saran Mas Bima untuk memperbaiki hubungannya dengan Malia. Untuk mencoba menerimanya dengan hati terbuka, dan menjalankannya dengan ikhlas, bukan semata karena imbalan. Mudah-mudahan saja sikap Malia juga bisa berubah, karena ia sudah lelah bertengkar dengannya. Apalagi Pak Subagja juga sangat berharap ia bisa membuat Malia lebih dewasa dan Mandiri agar dapat secepatnya masuk ke dalam perusahaan untuk menjadi penerusnya kelak. Langit memarkirkan motornya di samping garasi. Dan sesaat kemudian dilihatnya Malia memanggil dan melambaikan tangan dari balkon kamarnya. Lalu berlari turun untuk membuka pintu. Senyum Malia mengembang lebar sesaat pintu terbuka. Dan sebuah kecupan mendarat di pipi Langit sebelum ia sempat menyadarinya. "Mal!?" Langit menatap Malia sambil melotot. Lalu menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Malia tertawa melihat kepanikan di wajah Langit. "Papa Mama lagi gak ada di rumah. Lagi pergi ke rumah kerabat," sahutnya. Langit menghela nafasnya. Ia mencoba bersabar. Diulurkannya kantong plastik berisi bungkusan makanan yang dibawanya pada Malia. "Sesuai pesanan. Aku bawain makanan yang belum pernah kamu makan," ujarnya. "Apa ini?" Malia mengintip isi di dalam bungkusan itu. "Martabak ketan hitam. Kamu belum pernah coba, kan?" Malia menggeleng ragu. "Ini pasti kesukaan kamu?" Tanyanya. Langit mengangguk dengan senyuman. "Aku bawain makanan yang kamu gak akan bisa bikinnya. Jadi kalau mau makan itu kamu harus minta sama aku," ucapnya sambil mengerling usil. Dan Malia pun tertawa lebar. "Makasih, ya!" Ucapnya, lalu menarik paksa tangan Langit untuk mengikutinya ke halaman belakang rumah. Dengan kesal Langit menarik kembali tangannya. "Bisa gak kamu tuh, gak maksa..." Langit tak jadi meneruskan omelannya saat mereka tiba di halaman belakang dan melihat pemandangan indah yang terbentang di hadapannya. Sebuah taman tropis bergaya Bali. Dengan bermacam tanaman hijau di atas rumput tebal yang menyelimuti seluruh halaman. Dan Pohon Palem yang berderet mengelilingi pagar tembok yang tinggi, serta Pepohonan Kamboja dengan bunganya yang tengah bermekaran indah dan wangi. Dari kejauhan terdengar gemericik air yang keluar dari celah-celah dinding bebatuan, mengalir ke sebuah kolam ikan dengan jembatan kecil di atasnya. Dan di sampingngnya terbentang kolam renang yang sangat besar, dikelilingi oleh patung-patung berwajah Dewa yang mengeluarkan air dari dalam mulutnya. Serta sebuah lapangan tenis yang menyatu dengan lapangan basket yang besarnya melebihi lapangan di komplek perumahannya. Langit memandangi semua itu dengan takjub. Ia merasa seperti tengah berada di sebuah resort mewah di Bali. Ia lalu menarik nafasnya. Semakin jauh ia masuk ke dalam hidup Malia, semakin ia merasa tak berarti. Betapa kontrasnya kehidupan yang ia jalani, dan kehidupan yang Malia nikmati. Seperti langit dan bumi. Kini pandangannya menoleh ke arah Malia yang tengah duduk di atas kursi kayu sambil sibuk membuka bungkusan martabak yang dibawanya. Ia pun kembali ragu. Dan kembali tak percaya diri. "Enak?" Tanyanya saat melihat Malia memasukan potongan martabak itu ke dalam mulutnya. Dengan mulut yang penuh Malia pun mengangguk. Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawakan Es Teh Lemon yang menyegarkan dan sepiring kue-kue pastry. "Aku senang akhirnya kamu mau datang ke rumahku. Biarpun sore banget." Malia menuangkan Teh Lemon ke dalam gelas dan mengulurkannya pada Langit. "Kalau hari libur kan, aku sama Mentari mesti bersihin rumah, beres-beres, cuci pakaian, cuci motor..." Langit meneguk minumannya. "Hari Sabtu depan aku ke sana, ya? Bantuin kamu?" "Kamu datangnya kalau udah selesai aja, ya?" Sahut Langit. "Uuh kalau udah selesai namanya bukan bantuin, dong?!" Sungut Malia. Dan Langit pun tertawa melihatnya. Bagaimana mungkin ia membiarkan Malia membantunya di rumah? Jangan-jangan pegang sapu saja dia belum pernah? "Kamu suka olahraga, ya?" Langit menunjuk ke arah lapangan. "Papa sama Mama suka main tenis. Kalau Kak Leon sama Mario dulu sukanya main basket. Kalau aku sukanya berenang." "Leon itu Abang kamu?" Malia mengangguk. "Dia udah lama gak pulang sejak lulus kuliah di Amerika dan bekerja di sana. Katanya, dia enggak mau pulang. Dia memilih untuk hidup di sana bersama 'boyfriend' nya. Tiba-tiba saja Malia menundukkan wajahnya. Langit mengangkat kedua alisnya. "Boyfriend?" Tanyanya, memastikan. Malia mengangguk. "Papa gak suka sama Kak Leon. Papa sampai enggak mau mengakui Kak Leon sebagai anak lagi," imbuhnya dengan suara yang lirih. "Ooh!" Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Langit. Sekarang ia mengerti mengapa Pak Subagja tidak pernah menyebut namanya. Dia pasti sangat kecewa. "Hmm... kalau Mario itu adik kamu?" Tanya Langit lagi dengan hati-hati. Malia kembali mengangguk. "Iya. Dia sudah meninggal hampir tiga tahun yang lalu. Kecelakaan sewaktu kami di London. Dia ditabrak pengendara mabuk saat sedang menyebrang jalan." Malia lalu terdiam. Matanya menatap jauh ke pepohonan di hadapannya. "Maaf, aku..." Kini Langit merasa bersalah. "Gak pa-pa, kamu pasti penasaran apa yang bikin aku depresi selama ini, kan?" Malia kembali menatap Langit. Sejenak Langit terpaku. Ditatapnya kedua mata itu. Tak ada cahaya di sana. Apakah kisahnya begitu kelam sampai ia tak bisa melihat sedikit saja sinar di matanya? "Kamu gak perlu cerita apa pun kalau itu bikin kamu gak nyaman. Aku kan, gak berhak tahu seluruh hidupmu?" Langit merasa semakin bersalah. Kini Malia memalingkan wajah dari Langit lalu menarik nafas dengan berat. "Bukan tentang kematiannya yang aku sesali berkepanjangan. Tapi tentang sesuatu yang membuatku tak bisa melupakannya sampai saat ini. Yang aku yakini semua kesialan yang terjadi padaku dan Mario adalah karena kesalahan yang pernah kami perbuat dulu. Aku percaya kami sedang menjalani takdir yang telah kami tulis sendiri." Malia menghembuskan nafasnya perlahan. Ia seperti ingin melepaskan rasa sesak di dadanya. Langit memandangi wajah Malia dari samping. Bibirnya ingin mengucap tanya. Tapi ia takut akan kembali menorehkan luka di hatinya. Karena ia sangat mengerti rasanya. Tapi akhirnya Malia kembali menoleh. "Suatu saat, jika keberanian itu datang aku akan menceritakan semuanya padamu." Dan matanya yang tanpa cahaya itu kembali menatap Langit. Langit mengangguk dan tersenyum. Digenggamnya tangan gadis itu. "Aku gak akan bertanya lagi," ucapnya. Dan sore itu dihabiskan keduanya dengan saling menceritakan hal-hal menyenangkan yang pernah mereka alami. Menertawakan kenakalan dan mengenang cerita masa kecil. Tapi mereka enggan berbagi kisah pedih yang hanya akan merusak rasa. Biarlah semua rahasia itu tetap mereka simpan sampai waktunya tiba. Dan hari ini pertama kalinya Langit melihat dan merasakan sikap Malia yang sangat berbeda. Dia jauh lebih tenang dan santai. Mungkin karena ia berada di rumahnya sendiri. Atau mungkin karena sekarang ia sudah menerima Malia dengan cara yang berbeda. Ah, mungkin benar apa yang dikatakan Mas Bima. Malia hanya butuh perhatian yang tulus darinya. "Terus kapan kamu mau lanjutin kuliah lagi?" Tanya Malia sambil memasukan kedua kakinya ke dalam kolam renang. Langit menggeleng. "Gak tau kapan. Sekarang yang aku pikirin cuma Mentari. Dia harus kuliah sampai selesai," sahut Langit. Kini ia ikut mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Malia menatap Langit dengan kagum. "Kamu kakak yang hebat," ucapnya tulus. Langit mengedikkan kedua bahunya. "Biasa aja. Semua orang juga pasti begitu kalau punya adik," sahutnya. Malia tersenyum. Dan tiba-tiba saja ia menarik tangan Langit hingga jatuh tercebur ke dalam kolam, lalu tertawa terbahak-bahak. Langit memandang Malia dengan kesal. "Aku kan, gak bawa baju ganti, Mal," gerutunya. Melihat Langit yang kesal membuat Malia malah semakin menjadi. Ia lalu menyipratkan air ke seluruh tubuh Langit hingga membuat seluruh pakaiannya menjadi basah. Namun, melihat wajah Malia yang tampak bahagia kekesalan Langit pun perlahan menghilang. Ia tak pernah melihatnya tertawa lepas seperti itu. Dia seperti anak kecil yang tengah bermain air. Dan akhirnya ia pun membiarkan Malia bermain sesuka hatinya. Hingga tak terasa hari sudah menjelang malam. Dan kini Langit sudah berganti pakaian dan berdiri di hadapan Malia yang tertegun menatapnya. "Aku seperti melihat Mario," ucapnya. Langit balik menatap Malia dengan terkejut. Ia tak tahu Malia memberikan pakaian Mario untuk mengganti pakaiannya yang basah. "Hm, aku bisa pakai bajuku, kok. Gak pa-pa basah, mau pulang juga," ucapnya dengan canggung. Malia menggeleng, lalu tersenyum. Dirapikannya kerah baju Langit yang terlipat. "Enggak apa-apa. Aku cuma lagi ingat aja," sahutnya. Langit menarik tangan Malia dan menggenggamnya. "Jangan bersedih lagi. Ingat, ada aku yang sekarang menjaga kamu," ucapnya sungguh-sungguh. Malia menyunggingkan senyumnya, lalu memeluk Langit. "Terima kasih untuk kebahagiaan yang kamu berikan hari ini," ucapnya. Mendengar ucapan Malia hati Langit seperti disiram air dingin. Seumur hidupnya ia belum pernah mendengar ucapan semacam itu. Apakah dia sungguh-sungguh mengatakannya? Ditatapnya wajah gadis itu. Sekarang ia bisa melihat ada sedikit sinar di sana. Apakah dia benar-benar bahagia? Tapi Langit tak ingin bertanya. Biarlah hati mereka yang akan saling bicara. Dan malam itu Langit meninggalkan Malia dengan perasaan yang berbeda. Rasa aneh yang disukainya. Yang membuat hatinya terasa hangat dan lega. Tapi ia tak ingin berharap lebih. Meski ia tahu Malia mencintainya. Karena hidup itu tak cukup hanya dengan cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD