Kamu Mengubahku

1361 Words
Langit tertegun menatap Malia yang berdiri di hadapannya. Dia terlihat sangat berbeda. Dengan setelan baju kerja serba hitam, sepatu berhak tinggi dan rambut yang diikat rapi dia nampak elegan dan dewasa. Di bahunya tersandang tas kerja, dan tangannya menjinjing sebuah tas laptop. Ia seperti bukan Malia yang dikenalnya. Tatapan Langit membuat Malia sedikit tersipu. "Kenapa? Kaget, ya?" Tanyanya. "Kamu... mulai kerja?" Tanya Langit tak percaya. Malia mengangguk. "Bantu Papa," sahutnya. Langit kembali memandangi Malia. Hatinya dipenuhi banyak pertanyaan. Mengapa tiba-tiba dia bisa berubah? Mengapa cepat sekali? Baru saja kemarin dia merajuk karena tidak diperbolehkan ikut les lukis, dan tiba-tiba hari ini dia memutuskan untuk mulai bekerja? Ah! Rasanya tak percaya. Apa yang membuatnya tiba-tiba berubah? Ia tahu Malia memang selalu penuh kejutan. Tapi kali ini kejutannya sangat berbeda. Apakah ini karenanya? Tapi rasanya ia belum melakukan sesuatu yang cukup berarti untuk membuatnya berubah secepat itu. "Ehm!" Suara Malia menyadarkan Langit dari kebingungannya. "Oh! Maaf! Aku... Maksudku... apa kamu mau kopi?" Tiba-tiba saja Langit menjadi salah tingkah. Malia kembali mengangguk. "Coffee Latte. Take away," sahutnya lagi. "Mmm... mumpung masih sepi, apa kamu mau ngopi bareng aku?" Langit menatap ragu. Ah, kenapa ia jadi kembali tak percaya diri? Gerutunya. Ajakan Langit membuat Malia keheranan. Ia tak menyangka dengan sikap Langit yang tiba-tiba berubah hari ini. Ia lalu mengangguk dan duduk menunggu di sudut ruangan, tempat pavoritnya. Tak lama kemudian Langit datang dengan membawa dua cangkir kopi dan meletakkannya di atas meja. Dan kembali memandangi Malia dengan kagum. Dengan penampilannya saat ini tak akan ada seorang pun yang percaya bahwa dia pernah begitu putus asa hingga ingin mengakhiri hidupnya. Selama ini ia mengira Malia akan selalu menjadi gadis manja yang haus perhatian. "Kamu kelihatan dewasa dan... cantik," pujinya. "Berarti kemarin-kemarin kamu menganggap aku masih kecil dan enggak cantik?" Malia pura-pura memasang wajah cemberut. Langit tertawa, lalu menggeleng. "Kemarin kamu juga cantik, tapi aku suka kamu yang sekarang. Kamu seperti wanita mandiri. Aku bangga sama kamu!" Pujinya lagi. "Kamu pikir aku cewek manja yang cuma bisa gangguin kamu kerja?" Sungut Malia. Membuat Langit kembali tertawa. "Pasti Papa kamu sangat bangga!" Langit tak bisa membayangkan betapa bahagianya Pak Subagja melihat perubahan Malia yang sudah diharapkannya sejak lama. Malia tersenyum. "Kamu yang bikin aku jadi berubah..." Ucapnya dengan tulus. Langit menggeleng. "Itu karena kamu sendiri," elaknya. Ia memang merasa tak melakukan apa-apa. Suara pintu yang terbuka tiba-tiba mengagetkan keduanya. Bima datang dengan menenteng boks roti dan sekantong besar belanjaan untuk cafe. Sejenak ia terdiam di tempatnya, memandangi Malia sambil mengernyitkan kening. "Kamu... kerja?" Tanyanya tak percaya. Malia mengangguk seraya menahan senyum melihat Bima yang kini menghampirinya dengan wajah yang keheranan. "Wah! Selamat! Aku ikut senang!" Bima tak bisa menyembunyikan rasa suka citanya. "Cuma bantuin Papa, Mas," sahut Malia. Bima tersenyum. Ditepuk-tepuknya punggung Langit. Seolah ingin memberi selamat kepadanya karena telah membuat Malia berubah. "Jadi, kamu bakalan berkantor terus di sini?" Tanyanya lagi. Malia kembali mengangguk. "Sementara aku menemani Papa dulu sambil belajar sedikit demi sedikit," ucapnya. Kini Langit menyesap kopinya dengan perasaan lega. Akhirnya tugasnya akan segera berakhir. Malia sudah berubah sesuai harapan Pak Subagja. Bahkan lebih cepat dari perkiraan. Dia sudah mulai bekerja. Tak ada yang perlu dikhawatirkannya lagi. Dia akan segera melupakannya. Malia adalah calon pemimpin Bagja Company. Dia akan mulai sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak akan punya waktu untuk memikirkan dirinya. Dan cinta sesaatnya itu lambat laun akan menghilang. Dan Malia hanya akan mengingatnya sebagai seorang Barista di Cafe Dewa. Langit menarik nafasnya. Entah kenapa ia jadi tak suka membayangkannya. "Kamu kenapa?" Suara Malia kembali membuat Langit tersadar. Ia lalu menggeleng. "Gak apa-apa. Aku cuma mau ngucapin selamat atas pekerjaan baru kamu!" Langit mengulurkan tangannya. Tapi Malia malah menepis tangan Langit sambil tertawa. "Apaan sih, kamu!" Ucapnya. Dan Langit pun ikut tertawa. Ia lupa jika Malia bukanlah seorang karyawan yang baru saja mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia adalah 'pemilik' perusahaan besar itu. "Hmm... Maaf aku gak bisa lama. Aku harus ke kantor sekarang untuk Meeting pertamaku." Malia menatap jam tangannya, lalu menyeruput kopinya hingga habis. "Aku pergi dulu, ya. Terima kasih kopinya," ucapnya seraya beranjak bangun dari kursi. "Mmm, apa kamu mau makan siang bareng aku nanti?" Tanya Langit tiba-tiba. Ucapan Langit membuat Malia tak jadi melangkah. Ia kembali menatap Langit dengan ragu. Seolah ingin memastikan ucapannya. Karena baru kali inilah Langit mengajaknya makan siang bersama. Biasanya ia yang selalu memaksanya. Tapi dilihatnya wajah itu nampak sungguh-sungguh. Dan ia pun mengangguk dengan senyuman lebar. "Sampai ketemu siang nanti!" Ucapnya sebelum kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Langit yang terus memandanginya hingga menghilang di balik pintu. "Hmm... akhirnya kan, lu jatuh cinta juga!" ucap Bima dari balik konter. Ternyata ia memperhatikan Langit sejak tadi. "Ah. Enggak!" Elak Langit seraya beranjak dari duduknya untuk membantu Bima. "Mata gak bisa bohong. Lu jatuh cinta," sahut Bima lagi sambil mengeluarkan isi belanjaan dari kantong besar yang dibawanya. Langit tak menjawab. Mungkinkah ia jatuh cinta pada Malia? Rasanya tak mungkin. Ia hanya merasa bangga melihatnya berubah. Ia merasa berharga karena telah berbuat sesuatu yang berarti pada hidup seseorang. Karena selama ini ia merasa hidupnya hanya berarti buat Mentari saja. ... Langit tersenyum melihat Malia yang terburu-buru menghampiri mejanya untuk makan siang. "Kita makan apa hari ini?" Tanyanya seraya menarik kursi lalu duduk di hadapan Langit. Langit menunjukkan sepiring sate ayam di atas meja. "Gimana hari pertama kerja?" Tanyanya, melihat wajah Malia yang terlihat lelah. "Capek! Banyak sekali meeting. Sorry ya, kamu jadi nunggu lama." "Gak pa-pa. Kantinnya kan, jadi sepi?" Sahut Langit seraya melempar pandang ke area kantin yang hanya menyisakan beberapa orang saja yang masih menyantap makan siang. "Aku senang hari ini kamu juga ikut berubah," ucap Malia seraya mengaduk-aduk sate ayam di piringnya. "Hmm... Berubah?" Tanya Langit pura-pura tak mengerti. Ah, sial! Begitu kentarakah perubahan sikapnya? Batinnya. Malia mengangguk. "Kamu sekarang lebih perhatian. Sampai mau ngajak aku makan di kantin," sahutnya. Langit tersenyum malu. Diteguknya minuman dingin di hadapannya. "Ini untuk merayakan perubahan kamu," dustanya. "Aku... ikut merasa lega, karena itu artinya tugasku sudah..." "Oh iya! Papa ngajakin kita makan siang besok. Bisa, kan?" Tiba-tiba saja Malia memotong ucapan Langit. Langit mengangguk. Benar saja dugaannya. Tugasnya akan segera berakhir. Dan Pak Subagja akan membicarakannya saat makan siang besok. Ah, kenapa tiba-tiba hatinya jadi resah? Kini ditatapnya gadis itu kembali. "Hmm... apa aku boleh tanya?" "Kamu masih penasaran kenapa aku bisa berubah hanya dalam waktu semalaman?" Sahut Malia. Ia tahu apa yang dipikirkan Langit. Dan Langit kembali mengangguk. "Apa yang sebenarnya terjadi, Mal? Kenapa tiba-tiba kamu memutuskan untuk mulai bekerja?" Tanyanya. Malia meneguk minuman dinginnya dari dalam botol. Lalu dipandanginya botol kaca itu. "Karena setelah kamu mengajak aku lari pagi kemarin itu. Lalu kita berbicara mengenai arti kebahagiaan. Akhirnya aku merenung semalaman. Aku memikirkan ulang hidupku. Sampai akhirnya aku tersadar, bahwa masih banyak hal di dunia ini yang belum aku lihat. Selama ini aku hanya melihat hidupku dalam dunia yang sangat kecil. Aku seperti hidup dalan botol kaca yang sempit. Terhimpit dan sesak oleh pikiranku sendiri. Padahal aku bisa keluar dari botol itu hanya dengan memecahkannya." Malia menarik nafasnya dalam-dalam. Dipandanginya Langit yang masih menatapnya, menunggunya kembali bercerita. "Aku terkurung dalam kehidupan masa laluku yang hancur karena hal-hal bodoh yang aku lakukan. Aku terus meratapi masa lalu di mana aku bahkan sudah merasa mati sebelum Mario mati." Kini kedua mata Malia berkaca-kaca. "Kamu tidak tahu, betapa hancurnya hidupku. Aku gak punya apapun yang bisa dibanggakan. Aku bahkan enggak punya alasan lagi untuk hidup sebelum aku ketemu kamu." Kini Langit terpaku menatap Malia. Kedua matanya mulai terasa menghangat. Ditunggunya kembali gadis itu mengeluarkan kata. Ia ingin sekali mendengar kisahnya. Tapi Malia malah terdiam. Dan kedua matanya kini meneteskan air mata. Membuat Langit akhirnya tak tahan untuk meraih tangannya lalu menggenggamnya. "Kamu enggak perlu meneruskannya," ucapnya. "Aku sangat bodoh," isak Malia. Langit menggeleng. "Kamu tidak bodoh. Kamu hanya melakukan hal yang belum kamu mengerti. Dan kamu tidak hancur. Kamu masih utuh. Karena kamu masih punya hati. Hatilah yang membuat kamu bisa menangis." Langit menghapus air mata Malia dengan jemarinya. Ia tahu, ada begitu banyak kesedihan yang tumpah di setiap tetesan air matanya. Ada begitu banyak kepedihan yang ditahannya di setiap isaknya. Ia tahu, karena ia pernah merasakannya. Dan ia masih merasakan sakitnya hingga saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD