Bab 1
Bandung, 23 Juli 1952 adalah tanggal di mana mamaku dilahirkan, mama di lahirkan dari pasangan bapak Karna Wijaya dan ibu Ratnasih. Beliau di beri nama Sofia, beliau merupakan anak pertama. Kakekku hanya bekerja sebagai seorang buruh di Toko Cina yang sederhana.
Dulu saat kakek masih muda, beliau pernah bergabung dalam militer, saat membela kemerdekaan Indonesia dan wajib militer sekitar tahun 1940 sampai 1945. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka, dan diadakan pendataan ulang kembali, kakek aku tidak ikut mendaftar sebagai militer, kakek memilih hidup sebagai orang biasa saja. Perang telah membuat kakekku trauma dan tidak ingin masuk dalam kesatuan pejuang dan bertugas kembali.
Kakek dan nenek memilih bekerja sebagai karyawan buruh biasa saja. Pindah dari satu toko ke toko yang lainnya. Mereka tinggal di rumah yang sangat sempit dan sederhana dengan ukuran 5×9 meter saja, bahkan tanahnya pun warisan dari kakek buyutku. yang telah meninggal.
Nenek buyutku bekerja sebagai penjahit dan penjaja kue keliling. beliau sangat rajin sekali bekerja. Keluarga kami terbiasa bekerja keras, karena saat itu kehidupan masih sangat memprihatinkan sekali. Maklum baru enam tahun Indonesia merdeka sejak tahun 1945.
Penghasilan kakek tidak pernah menentu, kadang hari ini dapat, kadang pun tidak dapat sama sekali. Zaman dahulu belum ada program Keluarga Berencana, hampir Setiap dua tahun sekali nenekku melahirkan sampai memiliki enam orang buah hati, termasuk mamaku salah satunya.
Mereka terbiasa hidup dalam kesederhanaan, hanya terdapat satu kamar dan satu bale-bale yang biasa di gunakan untuk tidur bersama-sama. Bahkan nenek dan kakekku terbiasa tidur di lantai dengan beralaskan tikar jerami. Mereka hanya memiliki dua sampai tiga helai pakaian saja, pakaian itu ibarat habis di pakai, di cuci, kering pun di pakai di badan kembali, bahkan mereka adik-beradik sering bertukar pakaian, agar tidak bosan hanya memakai pakaian yang itu-itu saja. Mereka tidak mengenal istilah gosok menggosok pakaian seperti sekarang, masih memiliki baju saja mereka sudah sangat beruntung sekali.
Walaupun mamaku, tante dan omku hidup dalam keprihatinan tetapi mereka tetap bahagia dan ceria. Mereka sangat akur sekali. Mereka suka bermain dan membantu buyutku berdagang kue sepanjang hari. Sofia kecil sering membawakan bakul kue di atas kepalanya, Suwito kecil suka membawakan ceret air dan Enin kecil suka mengikuti mereka berjualan dari belakang. Merekalah yang usianya sudah lebih dari 5 tahun dan sudah bersekolah dasar.
Mereka berjualan kue berkeliling kampung, mereka menjual combro, misro, tahu dan pisang goreng terkadang pun cireng yang mereka jajakan. Mereka harus semangat menjajakan dagangannya agar memperoleh uang jajan dari nenek buyutku. Hampir setiap hari nenek buyut memberikan mereka bekal uang jajan untuk pergi ke sekolah.
Mamaku dan adik-adiknya pergi ke sekolah dengan sangat sederhana sekali, mereka menggunakan seragam, membawa tas sekolah dari kain jerami atau kain bekas terigu jualan buyutku yang di jahitkan oleh buyutku dan menjadi sebuah tas sekolah. Bahkan alas kaki pun hanya menggunakan sandal jepit atau sepatu yang terbuat dari beludru hitam dan karet. Itu pun mereka hanya memiliki satu pasang sepatu saja.
Walau negara sudah merdeka tetapi masih saja terdapat pemberontakan-pemberontakan di dalam negara. Hal itu sangat mengguncang perekonomian hampir seluruh keluarga, termasuk keluarga kami. Pemberontakan G30S-PKI, saat itu mamaku masih kelas 5 Sekolah Dasar, bahan makanan pokok sangat langka saat itu, minyak tanah dan beras hilang dari pasaran. Mamaku Sofia terpaksa mengantre dengan adiknya Suwito selama beberapa meter dan berjam-jam lamanya. Hanya untuk memperoleh 1 atau 2 liter minyak tanah. Begitu pun dengan pekerjaan kakekku yang sangat terimbas karenanya. Tidak jarang kakek hanya membawa satu liter beras saja, bahkan sering sekali tidak membawa apa pun ke rumah. kadang nenek hanya bisa memasak bubur saja untuk delapan anggota keluarganya, agar mereka tetap bisa makan.
Mama Sofia dan Om Suwito terkadang membantu nenek, walau sekedar mencari sayuran bekas dan sisa di pasar seperti pelepah kol atau brokoli bekas jualan pedagang. Hampir semua warga dan teman-teman kecil mereka turut melakukannya. Sungguh morat-marit ekonomi saat itu, rakyat miskin dan kelaparan. Kemiskinan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan nenek dan Buyutku rela menjual kain dan alat makan agar dapat membeli beras dan menyambung hidup mereka.
Begitulah kisah dan cerita dari cikal bakal keluargaku. Aku Sintia berasal dari keluarga yang sangat pekerja keras dan pantang menyerah.
Sintia