Keributan

1306 Words
"Pelan-pelan minumnya, Mas." Dengan cepat aku memberikan beberapa lembar tisu, tapi dia malah mengambil tisu lain. "Mas ...." "Bisa enggak, kalau orang lagi makan itu jangan digangguin? Apa ini cara kalian melayani pembeli?" Dia menyela dan menatapku dingin. "Aku enggak ganggu, kok. Cuma—" Perkataanku tak sempat diselesaikan ketika mulut ini dibekap dari belakang. "Maaf, maaf. Teman saya memang agak rese. Silakan dilanjutkan makannya," kata Aa Toni seraya menarikku menjauhinya tanpa melepas bekapan. "Engap, ih, Aa," sungutku setelah berhasil melepaskan tangannya dari mulut. "Mana bau terasi lagi." "Masa?" Aa Toni tertawa, kemudian mencium tangannya sendiri. "Oh, iya. Tadi 'kan habis makan bekal buatan istri ada sambel terasinya." "Iih, jorok. Pakai sabun, dong, cuci tangannya." Aku mengusap-usap hidung dengan ujung lengan kaus pendek. "Maaf, maaf," ucapnya masih dengan tawa. "Kamu sebaiknya jangan terlalu agresif gitu, Mil. Jaim sedikitlah. Kamu 'kan cewek." "Kenapa? Emangnya cowok doang yang boleh genit dan jago gombal?" gerutuku seraya menatap lalu lalang kendaraan di jalanan. "Enggak enak aja, Mil. Nanti dia malah risih, lho. Kan, biasanya cewek itu kalem dan pemalu." "Itu 'kan orang lain, Aa. Cewek di dunia ini buanyak dan enggak mungkin karakternya sama semua. Aku ya aku. Kenapa harus berubah ngikutin orang lain? Emangnya Aa Toni kenal semua wanita di bumi ini?" "Yaa, bukan gitu juga. Maksudku, kamu itu jual mahal sedikit gitu, Mil. Takutnya dia malah ilfeel bukan naksir. Katanya kamu mau ngegebet dia." "Kalau enggak gerak cepat, nanti keburu diserobot cewek lain, Aa. Stok cowok di dunia ini makin menipis. Aku harus gerak cepat." "Kan, masih ada si Asep." Aa Toni malah tersenyum meledek. "Ish, Asep lagi Asep lagi." Aku mengerling malas. "Cieee, ngambek." "Jangan cubit-cubit, ah. Sakit tauk." Aku mengusap-usap pipi yang dicubitnya barusan. "Aku bilangan Teh Lani nanti, biar Aa Toni diomelin." Dia malah tertawa dan mengacak rambutku. "Sana, lanjutin makan baksonya. Belum habis 'kan?" "Oh, iya." Aku menepuk jidat dan bergegas pergi ke meja di mana aku makan tadi. "Eheem!" Deheman keras Aa Toni membuatku yang tadinya hendak menuju meja Mas Mustafa jadi urung. Dia memberi isyarat dengan mata agar aku duduk di meja paling depan di dekat gerobak. Aku melirik pada Mas Mustafa yang asyik makan tanpa menoleh sedikit pun. Dengan terpaksa dan cemberut, aku mendekat kembali pada Aa Toni dan duduk di sana. "Makan jangan sambil ngedumel. Nanti keselek." "Ish, bawel banget kek emak-emak." Dia tergelak. Hingga membuatku mau tak mau ikut tertawa. "Ehem!" Kami serempak menoleh pada ketika mendengar pria berjambang tipis itu berdehem cukup kencang. "Bisa enggak jangan terlalu kencang ketawanya?" "Em—" "Bisa, Mas, bisa. Maaf." Lagi-lagi Aa Toni sudah lebih dulu memotong ucapanku dengan membekap mulut ini. "Iih, dibilang bau terasi," sungutku sebal. "Ssstt, jangan berisik." Aa Toni setengah berbisik seraya menempelkan telunjuk di bibirnya. Lama-lama ngeselin juga mas ganteng itu. Mustafa. Enggak ada nama lain yang lebih familiar di kuping apa? Gilang kek, Amir, Danu atau Malih gitu. Kulirik ke sana lagi dan mendapati mangkuk bakso serta teh manisnya sudah kosong, tapi dia masih betah saja berada di kedai ini. Sedari tadi kulihat dia malah sibuk dengan ponselnya sendiri. Sempat aku termenung sejenak memikirkan apa yang dinasehati Aa Toni tadi. Memang ada benarnya juga apa yang dia katakan. Ok! Aku bakal coba jaim dikit. Yaa, itu juga kalau bisa. Haha. ??? Beberapa pembeli kembali datang. Dengan sigap aku melayani mereka semua tanpa menoleh sedikit pun pada Mas Mustafa meski rasanya leher ini gatal. Tak tahan kalau tak menoleh. Akan tetapi, aku akan tetap berusaha keras untuk terlihat lebih kalem. "Aku ke toilet dulu, ya, Mil. Mules, nih. Sambel buatan Lani pedes banget tadi," ujarnya, kemudian bergegas ke kamar mandi yang terletak di bagian belakang ruko. Aku memilih duduk di kursi plastik yang terletak di teras ketika para pembeli sudah dilayani semua. Termenung sembari menatap kosong jalanan di depan. Kuhela napas ketika ada desir perih dan sesak yang hadir tiba-tiba. Bohong jika aku berkata sudah lupa sepenuhnya dengan Aa Firman dan Aa Indra. Aku hanya berusaha melupakan meski sebenarnya belum berhasil. Masa lalu dengan Aa Indra tak begitu membuatku merana, tapi Aa Firman? Dia membatalkan rencana pernikahan saat hari bahagia itu tinggal menghitung hari. Bahkan undangan pun sudah tersebar pada tetangga, teman dan kerabat. Bapak pun marah besar dan terlibat keributan dengan keluarga dia karena tak terima dengan tindakannya tersebut. Namun, aku berhasil meredam emosinya dan berkata tak keberatan, juga baik-baik saja dengan keputusan Aa Firman. Aku berbohong? Tentu karena di belakang orang lain, aku menangis pilu tanpa suara sampai d**a terasa sakit dan sesak. "Berapa semuanya, Mbak?" Lamunanku buyar saat mendengar pertanyaan dari pelanggan. Bergegas aku mengusap mata yang sedikit basah dan bergegas mendekatinya sembari menampilkan senyum riang kembali. "Semuanya jadi lima puluh satu ribu. Pakai kerupuk enggak?" "Kerupuknya dua." "Jadi lima puluh tiga ribu, Teh." "Ini." Pembeli tersebut memberikan selembar uang seratus ribu, kemudian pergi dengan ketiga temannya setelah mendapatkan kembalian. Satu per satu pembeli mulai meninggalkan kedai ini, tapi tidak dengan Mas Mustafa. Dia masih betah saja duduk di kursinya. Tidak mungkin juga aku mengusirnya, bukan? "Keknya minum es campur enak, Mil? Mau enggak?" Aku menggeleng. "Lagi hemat pengeluaran, Aa. Mau ngumpulin uang buat ganti kasur Bapak dan Ibu. Kasian, udah keras banget." Aa Toni tersenyum. "Aku yang traktir. Kamu jaga sendirian dulu, ya." Aku mengangguk cepat dan tersenyum. Mendapat rekan kerja sebaik dirinya itu seperti memiliki seorang kakak. Dia begitu baik dan sering memberikan nasihat. Belum lama Aa Toni pergi, dua motor matic berhenti di depan kedai. Kuhela napas berat saat menyadari siapa yang datang. Rika—mantan kekasihnya Asep—datang bersama kedua sahabatnya, Santi dan Wina. Hanya karena Asep memilih putus darinya, dia menyalahkanku atas apa yang terjadi. Padahal, sampai detik ini aku tetap tak menerima lamaran itu. Namun, Rika tetap menaruh dendam hanya karena tahu Asep masih belum menyerah mengejarku. "Sepi, ya," cicit Rika seraya turun dari motornya. "Sepilah. Gimana mau rame coba? Tampang pelayannya aja jelek begitu, judes lagi. Siapa juga yang mau mampir beli?" timpal Wina yang langsung disambut gelak tawa ketiganya. "Terus, kalian bertiga ke sini mau ngapain kalau bukan mau beli bakso? Pulang aja sana." Aku beranjak bangun dari kursi plastik. "Waduh, kita diusir ini, Guys!" seru Rika, lalu kembali tertawa. Aku hanya menggeleng tak percaya. "Belagu banget kamu, Jum! " Aku yang hendak melangkah masuk ke dalam kedai pun jadi urung, ketika bahu kanan dicengkeram dari belakang, lalu tubuh ini diputar balik dengan kasar. "Jangan sok cantik!" desis Rika seraya mencengkeram kausku di bagian leher. Sok cantik? Emang aku cantik. Slebeew! "Aku enggak mau ada ribut-ribut. Tolong pergi aja. Jangan bikin pembeli lain enggak nyaman." Aku berkata selembut mungkin dan mencoba melepas cengkeramannya. Akan tetapi, dia malah kembali menarik dan justru mendorongku hingga punggung ini membentur rolling door cukup keras. "Gara-gara kamu Asep putusin aku, Jumilah! Harusnya kamu sadar diri! Cewek enggak tahu malu kayak kamu itu enggak pantas buat siapa pun! Buktinya kamu sampai gagal nikah dua kali 'kan? Enggak malu apa?" Rika tersenyum sinis. "Kamu itu lebih cocok jadi perawan tua. Dasar perempuan gatal!" "Jaga mulutmu, Rika! Apa maksudmu ngomong begitu?" "Cih, jangan pura-pura bodoh! Kamu tahu kalau temen kerjamu itu udah punya istri. Tapi masih aja kamu godain. Iya 'kan?" Aku menahan geram dengan mata terpejam. Detik berikutnya, Rika tersentak kaget ketika kutepis kasar tangannya, kemudian membalikkan posisi kami. Kini, dialah yang tersudut di rolling door dengam tanganku yang mencengkeram kuat blazernya. Santi dan Wina hendak menarikku agar menjauh, tapi aku sudah lebih dulu mendorong kasar keduanya bergantian dengan satu tangan lain. "Sudah cukup aku bersabar sama sikap tengilmu itu, Rika. Aku enggak pernah sedikit pun menggoda Aa Toni!" "Kamu pikir orang-orang percaya? Gosip udah telanjur menyebar, Jumilah." Rika tertawa mengejek. "Cih, dasar perempuan murahan." "Kamu!" Aku hampir mendaratkan tamparan keras, tapi pergelangan tangan ini sudah lebih dulu dicekal kuat hingga terhenti di udara. Membuatku langsung menoleh dengan napas masih memburu karena emosi. "Sudah cukup kalian buat keributan di tempat umum." ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD