Chapter 4

1691 Words
Ajeng mengisi waktu makan siangnya di kantin fakultas bersama Naura dan Rita. Terletak di belakang Gedung B, tempat tersebut cukup nyaman untuk dijadikan tempat mengobrol. Memang tidak sebagus milik kampus tetangga, apalagi foodcourt di Crown Plaza, tetapi cukup untuk membuat mahasiswa yang kelaparan menjadi kenyang tanpa merogoh kocek terlalu dalam.  Mereka bertiga duduk di sayap kanan kantin, dekat penjual soto khas Semarang, dengan meja nomor lima berwarna cokelat dilapisi plastik bening. Tempat itu merupakan favorit mereka setiap kali datang ke sini. Entah memiliki magic semacam apa, tapi memang sangat nyaman dijadikan lapak makan sekaligus bergosip. Pengunjung kantin tidak begitu banyak, sehingga Ale, yang sejak kedatangan tiga gadis tersebut pun merasa sangat beruntung, karena tidak perlu bekerja keras untuk memasang radar menguping. Ale memperhatikan gadis tambatan hatinya yang mulai asyik berbincang. Rambut hitam sepunggung tampak berkilauan tanpa terpaan sinar mentari, meliuk-liuk seiring gerakan kepala si pemilik. Pipinya sesekali terangkat, mengembang ketika tersenyum, menimbulkan desiran hangat di hati Ale. Derai tawa yang muncul ketika salah seorang dari mereka melontarkan lelucon pun terdengar begitu merdu, mengalahkan syahdunya suara penyanyi pop dunia sekelas Adele. Juga ketika sang pujaan hati meracik sambal dan jeruk nipis untuk kemudian dicampurkan ke dalam soto yang sudah berada di meja, lalu melahapnya secara perlahan. Setiap gerak-gerik Ajeng tak sedikit pun tersiah. Bahkan ketika gadis itu mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menyentuh layarnya membentuk pola-pola yang kelihatan cukup rumit. Senyum yang melebar di wajah Ajeng secara otomatis membuat Ale mengambil ponsel dari saku kemeja, kemudian membuka aplikasi kamera dan menghadapkannya ke arah cewek itu, dengan posisi seolah-olah ia memainkannya dalam genggaman tangan di atas meja. Beruntung Ale sudah mematikan flash dan bunyinya, sehingga tidak ada yang menyadari kalau laki-laki itu baru saja mengambil foto tanpa izin. Kalau ketahuan, bisa-bisa gugatan pidana melayang ke tempat indekosnya besok pagi! Ale tersenyum puas, mangkak karena telah mendapatkan satu lagi foto cewek incarannya. Sebelum ini, Ale  selalu mengambil potret Ajeng secara diam-diam. Jumlahnya memang tidak sampai habis hitungan jari, tetapi Ale sudah merasa bangga. Belum habis rasa bangganya, seorang cowok bersuara dari arah belakangnya. Gadis itu menghancurkan rasa bangga di hati Ale, menggantinya dengan penyesalan dan rasa bersalah yang menjadi-jadi. Membuatnya sadar bahwa menyukai seseorang, tidak perlu sampai melanggar privasinya. “Gue paham, lu suka banget sama Ajeng. Gue juga ngedukung lu, kok. Tapi ngambil fotonya secara diam-diam begini malah bikin tu cewek benci sama lu. Hargain privasinya.” Cowok itu berhenti sejenak, untuk mengisap rokok yang tersisa separuh. “Lu bukan anak remaja lagi. Harusnya udah paham masalah beginian. Kagak ada manusia yang suka privasinya diotak-atik, Le.” Ale terdiam beberapa saat, mencerna ucapan cowok itu. Cowok yang sejak awal kuliah di jurusan ini sudah menjadi sahabatnya. Cowok itu Galih. Sejurus kemudian, Ale mengangguk sambil berkata, “Thank you, Bro. Gue salah kali ini.” “Lu ganggu tu cewek terus-terusan juga sebenernya udah salah, sih,” kelakar Galih. Ale melempar tisu yang sudah digulung kecil-kecil ke wajah Galih. “Kalau nggak gitu, gue kagak bakal bisa ngelihat Ajeng sering-sering, Coy. Itu cewek, ya, susah banget gue deketin.” “Beda sama Mitha, ya?” “Ya, beda, lah.” "Bedanya apa? Mitha gampang lu dapetin, sedangkan Ajeng nggak, gitu?" Ale tidak berpikir begitu. Meskipun pada akhirnya Mitha selingkuh, dia tidak ingin menganggap Mitha perempuan gampangan. Menurutnya, penerimaan setiap orang terhadap sesuatu, terhadap kehadiran orang asing, adalah berbeda. Mitha mudah menerima kehadiran sesuatu, bukan berarti gampangan. Bisa jadi, Mitha adalah tipe cewek yang mudah tersentuh dan memiliki hati yang lembut. Sampai saat ini pun, dia tidak mengerti kenapa Mitha bisa tega mematahkan hatinya. Hati yang dulu Ale berikan mendekati utuh.  "Bukan gitu. Setiap cewek beda-beda, Gal. Lagian, Ajeng juga setahu gue udah punya pacar. Wajar kalau dia susah gue deketin." "Iya, sih. Tapi kalau dia kagak punya pacar pun, belum tentu mau sama lu, sih." "b******n, lu!" Ale sebenarnya ingin mengumpat kencang-kencang, tapi ia sadar sedang dalam mode memata-matai Ajeng. Jadi, dia urungkan.  "Hapus, tuh, fotonya!" Dengan berat hati, Ale pun menurut.  *** Ajeng sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya ketika Opin bertanya, “Seandainya nggak punya pacar, kamu bakal ngebiarin Ale deket sama kamu, nggak, Jeng?” Jemari Ajeng berhenti menari. Ada sesuatu yang menelusup secara halus—namun cukup menyentil—bersamaan dengan pertanyaan tersebut. Ia tidak pernah berpikir sampai ke sana, karena sejujurnya, tak ada sedikit pun keberanian dalam diri gadis itu untuk berandai-andai. “Enggak tahu,” jawabnya singkat. Kedua temannya itu saling berpandangan. Mereka tahu Ajeng sedang bermasalah, karena kalau tidak, cewek pendiam itu pasti sudah cerewet menanggapi apa pun dan siapa pun yang membahas cowok bernama Nalendra Al-Ghifari. “Kenapa, Jeng?” tanya Rita. “Kita masih punya waktu tiga puluh menit buat denger cerita kamu.” Ajeng menghela napas dalam-dalam, menyimpan ponsel ke dalam tas, lalu mendongak—menatap teman-temannya secara bergantian. Dia lalu berkata, “Ilham makin ke sini makin sibuk. Posesifnya juga tambah lebay. Aku bales chat kelamaan aja dia ngiranya aku chat sama orang lain. Padahal, sejak awal pacaran, dia yang paling susah buat diajak komunikasi intens.” Belakangan ini, Ilham—pacar Ajeng—memang sulit untuk dihubungi. Pesan Ajeng yang terkirim sejak pagi, lebih sering dibalas ketika rembulan sudah menggantikan mentari. Telepon pun langka dijawab. Dalihnya, praktikum dan laporan sedang banyak-banyaknya. “Kamu, kan, tahu kalau Ilham emang sibuk sejak awal. Katanya ngerti, kenapa sekarang begini, deh?” Ajeng menatap Rita takterima, bermaksud merespons dengan argumen bahwa Rita tidak mungkin mengerti apa dia rasakan sekarang. Namun, semua kalimat itu ditelannya lagi. Rita tidak akan tahu bagaimana sedihnya menunggu Ilham menelepon hingga ketiduran, atau selalu ditolak ketika meminta bertemu dengan alasan sibuk mengerjakan tugas. Beradu pendapat dengan cewek penyuka K-Pop itu hanya akan membuang tenaga. Lagi pula, sejak kapan Rita mau mengalah dalam berdebat? “Kalau udah nggak sanggup, ya, omongin lagi aja sama Ilham.” Naura angkat bicara. “Hubungan kalian tuh nggak sehat kalau dibiarin kayak gini terus. Yang satu sumbu pendek, eh, satunya lagi tukang mendem. Nggak bakal ketemu ujungnya sampai kapan pun.” Sejak pertama kali memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Ilham Prana, Ajeng tahu risiko yang harus diterimanya. Sulit bertemu meski masih berada di universitas yang sama, jarang berkomunikasi, dan masih banyak hal-hal lain yang lazim dilakukan oleh orang pacaran yang sulit ia dapatkan. Untuk hal-hal tersebut, dia sepakat untuk mempertimbangkan saran Naura. “Kalau udah nggak sanggup bertahan sama Ilham, kayaknya Ale mau-mau aja kamu jadiin selingkuhan. Gencar gitu deketin kamu.” Celetukan Rita di tengah kemelut pikiran Ajeng itu dihadiahi pelototan Naura. Tidak ada yang bisa menghentikan seorang Rita Armadina kalau cewek itu sudah berpikiran konyol. Bahkan pelototan Naura tidak membuat gadis itu berhenti mengoceh soal kesediaan Ale menjadi ‘cadangan’ bagi Ajeng. Berbicara seolah tokoh yang sedang dia bicarakan berada di dunia lain dan tidak akan mungkin mendengarnya. Ajeng mendesah kesal. Teman-temannya ini memang terkadang tak memiliki penapis saat berbicara. Menjadikan Ale selingkuhan! Gadis itu memekik dalam kepala. Tak pernah dalam benaknya terlintas untuk melakukan hal itu. Bermain serong dengan cowok yang lebih segalanya dari Ilham pun ia tidak akan mau, apalagi Ale! Cowok itu tidak memiliki sedikit pun kriteria pria idamannya. Sudah takpernah serius kalau bicara, tukang bolos, melawan pada dosen, suka mengganggunya pula. Rasa gondok di hati Ajeng akibat tuturan Rita berubah menjadi tawa, ketika kedua sahabatnya itu malah bertelingkah seperti kucing dan tikus di serial kartun Tom & Jerry. Terkadang dia bertanya-tanya, mengapa dirinya bisa selepas ini jika di hadapan Naura dan Rita? Hanya bersama kedua orang inilah Ajeng bisa tertawa seolah tak memiliki beban, mengganti suasana hatinya dari buruk ke baik dengan cepat.    Jadi selingkuhan? Ale tersenyum geli di tempatnya duduk. Ke mana, sih, otak cemerlang mereka? Dia memang gencar mendekati Ajeng, tetapi bukan berarti dijadikan selingkuhan pun akan mau-mau saja. Ale ini tipe cowok yang menjunjung tinggi komitmen dan membenci pengkhianatan. Jadi, ia tak mungkin mencederai kepercayaan orang lain, apalagi membuat gadis yang disukainya menjadi penyeleweng. Bagi Ale, selama janur kuning belum melengkung, jalan masih terbuka lebar untuknya merebut hati Ajeng. Bagi Ale, antara menjadi selingkuhan dan membuat Ajeng putus dengan kekasihnya adalah hal yang amat sangat berlainan. Menjadi selingkuhan sama saja dengan Ale mendapatkan cangkang tanpa isi, sedangkan membuat gadis itu putus dengan pacarnya berarti Ale telah menyentuh hati Ajeng di bagian yang paling dalam. Ia telah membuat sang pujaan hati menyadari akan makna kehadirannya. “Kamu gimana sama Bang Jaka?” Ale tersenyum mendengar Ajeng bertanya dengan suara yang begitu lembut. Pengalihan yang cukup bagus, Cantik. Ia bergumam dalam hati, tersenyum geli atas kepiawaian Ajeng mengganti topik pembicaraan. “Nggak gimana-gimana,” jawab Naura. “Masih adem-ayem aja.” “Bagus, deh.” Ajeng tersenyum tulus, lalu beralih menatap Rita. “Masih suka sama kakakku, Ta?” Kakakku? Ini informasi yang baru untuk Ale. Ia tidak tahu kalau Ajeng mempunyai kakak laki-laki. Tentu saja laki-laki, ‘kan? Tidak mungkin Rita menyukai kakak perempuannya. “Udah nggak. Lagian kakakmu mau tunangan. Aku mau move on aja,” jawab Rita tegas. Ajeng jadi merasa tidak enak hati. Meski Rita berkata tidak apa-apa, Ajeng yakin cewek itu sedang mengalami patah hati. Sebagai sahabat, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya. Wira—kakaknya—sangat mencintai pacarnya. Mereka sudah bersama sejak kuliah. Ajeng sekeluarga pun menyukai perempuan itu. Baik, pengertian, dan lemah lembut, menantu idaman kedua orang tuanya. “Maafin aku, Ta.” “Nggak pa-pa.” Rika menyentuh tangan Ajeng yang bertengger di atas meja sambil tersenyum. “Cowok bukan Mas Wira doang, kok.” “Biasa aja kali, Jeng! Rita mah udah biasa sama cinta bertepuk sebelah tangan," seloroh Naura. Rita merengut tak terima, tapi sejurus kemudian berkata, “Kalau aku move on ke Ale aja, gimana? Aku sama dia, kan, senasib. Kali aja bisa kayak negara-negara di Asia Tenggara yang membentuk ASEAN, karena sama-sama pernah dijajah. Nah, kalau aku sama Ale, sama-sama punya cinta yang bertepuk sebelah tangan,” celetuk Rita. Hening. Suasana yang seharusnya dipenuhi gelak tawa, malah berubah menjadi canggung dalam sekejap. Tidak. Bukan karena mereka terkejut oleh pernyataan Rika. Sesungguhnya, ucapan cewek itu cukup untuk menimbulkan tawa, tapi suara batuk seorang cowok membuat ketiganya terpaku. Nalendra Al-Ghifari benar-benar terkejut dengan pernyataan Rika tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Cowok itu sadar cintanya tak berbalas, tapi tidak perlu segamblang itu dikemukakan, bukan? Cowok itu berlalu dari tempat sambil terbatuk-batuk. Dia tidak sanggup lagi menguping pembicaraan yang mulai melantur ke sana-kemari itu. Ajeng, Naura, dan Rita saling bertatapan. Rona merah di wajah ketiganya sangat kentara. Setelah beberapa saat, bahu mereka merosot. Bagi cewek, tepergok menggosipkan seseorang oleh objek utama adalah kiamat. Tiba-tiba saja, Ajeng dihampiri pertanyaan-pertanyaan, yang jika dipikir secara logis, tidak mungkin terpikir oleh cewek judes seperti Ajeng; apa yang Ale pikirkan setelah mendengar Ajeng dan kawan-kawan membicarakan dirinya? Apakah cowok itu akan berpikir kalau dia adalah seorang penggunjing? Kenapa juga Ajeng jadi memusingkan pendapat Ale? Bukankah dengan kejadian ini, ada kemungkinan kalau Ale akan menjauhi Ajeng? Ini yang ia inginkan, bukan? Tapi ... ... tetap saja malu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD