Sementara di lain tempat di balik kehancurannya hidup Amira, ada sosok yang lebih hancur lagi sedang merasa terpukul. Rafa sengaja tidak mau menemui Amira seminggu ini, bagian dari hatinya begitu menyesal telah menyiksa dan menyentuh wanita yang dulu sangat-sangat di harginya.
Bayang-bayang tangisan Amira pada malam itu terus saja memenuhi sebagian otaknya, ia masih ingat jelas. Saat naluri dan emosinya menghadirkan kebengisan pada malam itu.
Nikmat dan hancur Rafa rasakan secara bersamaan, setelah puas menyiksa Amira sampai tak berdaya. Barulah rasa menyesal itu menyeruak dan tumbuh cepat di d**a hingga Rafa tak sanggup bertemu dengan amira sampai detik ini.
" Kupikir aku akan puas setelah mendapatkan semuanya dari wanita itu, ternyata rasa sakit ini masih ada," keluh Rafa pada Adit, sekretaris kesayangan itu setia duduk di sofa dengan Rafa. Menemani tuan nya yang selalu hidup dalam bayang-bayang rasa dendam.
Layaknya seorang bawahan sekaligus teman curhat, Adit memberikan solusi sesuai logika yang ada di otaknya." Mungkin tuan harus belajar menerima, barangkali rasa sakit itu akan hilang jika balas dendam Anda di hentikan saja." Ujar Adit penuh kehati-hatian.
" Mana bisa, Amira harus menerima balasan yang setimpal, barulah aku puas!" Rafa bersikeras melanjutkan aksinya. " Aku tidak akan merubah rencana yang sudah kususun dengan susah payah, balas dendam itu harus tetap dilaksanakan." Bantah nya kemudian.
Adit hanya bisa tertunduk sambil meruntuk, terserah anda saja lah, tuan. aku lelah mengikuti keinginan mu. Yang penting kamu bahagia, maka hidupku juga aman dan tentram.
Rafa berkata lagi, membuat Adit mendongak seketika melihat kearah tuannya.
" Ah, ya! berikan rekaman cctv hotel, aku ingin melihat apa yang sedang dilakukan wanita itu di sana."
Adit mengangguk, kemudian berjalan dan mengambil lebtopnya di ruangan sebelah, tempat di mana Adit berkerja dan menghabiskan waktunya selama tiga tahun belakangan ini.
Dua menit kemudian, Adit datang dengan membawa lebtop yang terbuka. Ia menampilkan layar dimana Amira sedang menangis diatas sofa.
Seketika itu juga Rafa mengernyit, heran. " Kenapa dia menangis, Adit?" Kalimat bodoh itu keluar dari bibirnya Rafa, Tampa sadar dirinya lah yang sudah membuat Amira seperti itu.
" tentu saja wanita itu menangis karena dikurung olehmu tuan, dasar manusia oon." batin Adit.
Adit sempat mengumpat sembal didalam hatinya, kemudian menjawab asal. "Mungkin dia menangisi suaminya yang jahat, karena sudah tega menjualnya."
Rafa melongo dengan bibir membentuk huruf O. " Suaminya memang gila," ujar Rafa tidak tahu malu.
Padahal kegilaan Reyhan ya berasal dari Rafa, kalau pria itu tidak menawarkan investasi besar secara cuma-cuma kepada Reyhan, tidak mungkin Amira bisa berada di tangannya Dengan jalur barter seperti ini .
Seperti yang Adit ketahui, sekembalinya Rafa dari luar negeri 3 tahun yang lalu memang dengan tujuan utamanya balas dendam nya pada Amira, dan kabar goyahnya perusahaan Reyhan adalah peluang besar yang sengaja Rafa manfaatkan kepentingan pribadinya.
" Oh ya, bagaimana dengan perceraiannya dengan Reyhan, apa kau sudah mengurusnya?" Tanya Rafa lagi, matanya Masih terus menatapi layar. Tampak Amira sedang menangis sampai meraung-raung di balik kaca pintar tersebut.
Adit menjawab sambil memperhatikan wajah Rafa yang fokus memperhatikan tingkah Amira di balik sana, " sudah tuan, tidak sampai satu bulan perceraian itu akan selesai. Karena pengacara mengambil jalur lewat pihak laki-laki, jadi prosesnya akan lebih cepat."
" Baguslah, kalau begitu aku akan menghubungi Amira dulu!" Rafa berjalan menuju meja kerjanya, lalu menghubungi Amira sambil duduk ungkang-ungkang kaki. Sekitar dua menit pria itu melakukan panggilan, sampai akhirnya Amira menutup panggilan nya secara sepihak dan membuat rafa marah besar.
" Sialan!" Rafa berteriak kesal, Adit langsung berdiri dan berlari ke arah pria itu.
" Ada apa, tuan?" Tanya Adit sok panik agar hidupnya terkesan mendrama seperti tuan yang ada didepan nya.
" Berani sekali dia berbicara ketus dan menutup panggilan ku seenak jidatnya, apa dia tidak tahu siapa aku?" Rafa menatap Adit penuh amarah.
apa, apa, kenapa aku yang jadi sasaran amarahmu, sekretaris Malang itu mengumpat didalam hati.
" Bukankah tuan sudah paham kalau nona Amira memang bukan wanita sembarangan? Dia sangat jutek dan tidak mudah di taklukkan." Adit mengingatkan jika Rafa lupa, karena pria itu sudah tau detail cerita dan perjuangan Rafa menaklukkan hati Amira di masa lalu.
" Ya iya ... tapi aku tidak suka dengan sikapnya yang sok kuat, padahal aku baru tahu kalau dia baru saja menangis seperti orang gila."
Rafa mengusap rambutnya kebelakang, hanya sekali ia bisa melihat Amira lemah didepan nya. Yaitu saat rafa dulu merenggut kehormatan Amira di masa gadisnya yang seharusnya di jaga untuk orang yang menikahi nya.
" Keluar temui Amira sana, aku akan memikirkan cara yang lebih efektif untuk melunturkan egonya!"
Ya, ya, aku juga sudah malas menemani orang gila! Umpat Adit emosi sendiri. Pria itu berjalan keluar, meninggalkan Manusia tidak waras ia tapi sangat Adit junjung dan ia jadikan prioritas utamanya.
Di dalam kamar hotel, Amira sedang menikmati hidangan enak saat adit datang menemuinya.
seperti karakter nya yang tidak suka dianggap lemah, wanita itu kembali berpura-pura menjadi manusia bahagia dan sedang menikmati indahnya hidup di kurung dalam balutan mewahan.
"Cepat selesai kan urusan mu! habis ini aku mau luluran. pelayan sudah datang, tuh!" amira berkata dengan ketus, membuat Adit ikut geram seperti Rafa yang marah-marah saat meneleponnya di kantor tadi, baru melangkah masuk saja langsung diusir. pantas saja Rafa sampai frustasi menghadapi wanita galak satu ini.
"Saya kesini mau mengantarkan berkas-berkas pengurusan surat cerai Anda, nona." Adit melangkah pelan, kemudian menarik kursi dan ikut duduk di hadapan Amira yang tengah melahap santapannya. " ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani, silahkan nona...." Adit mendorong berkas yang harus Amira tanda tangani, lengkap dengan pulpen di atasnya.
" aku tidak mau!" wanita itu semakin ketus, di mana Rafa nyaris kehilangan akal mendapati sikap tak menyenangkan dari Amira, pria itu mendesah sekilas, kemudian berkata lagi dengan wajah dibuat serius dan setengah mengancam.
" Tuan Rafa akan murka jika anda tidak mau menandatangani nya."
" Bodoh amat!" ujar Amira sambil mengedipkan bahunya cuek.
" nona ... mengertilah! jangan suka membuat semuanya jadi susah, sekarang Anda adalah milik tuan rafa, ingat itu!" Adit sampai mengatakan kalimat sedikit kasar agar Amira mau mengerti.
Amira melirik sedikit, seolah tidak perduli dengan kekerasan Adit, ia lanjut makan kembali dan berpura-pura menikmati salad buah yang baru saja di raihnya.
ugh, kenapa aku harus berurusan dengan wanita menyebalkan seperti dia sih.
" Nona!" panggilan cukup keras keluar dari bibir Adit.
Amira mendongak bersamaan dengan garpu yang ia gebrakan ke atas meja. " apa kau tidak lihat kalau aku sedang makan? tidak bisakah kau menunggu sebentar?"
Adit menghelakan nafas pelan. " tadi nona bilang tidak mau ... makanya saya memanggil lagi memastikan."
Tangan Adit mengempal kencang di bawah meja, ia meninju udara sangking kesalnya. lalu pria itu berkata lagi dengan nada sedikit membentak.
" sebenarnya Anda ingin tanda tangan atau tidak?" Tanya pria itu memastikan.
" Tidak!" Jawab Amira cuek. lalu memasukkan sepotong buah semangka dan menguyang pelan.
ada senyum tipis yang tersungging di bibir Amira saat melihat pria itu menatapnya murka seraya bersungut-sungut.
Bersambung.