40 - Akhirnya Kembali

2138 Words
Sejak 10 menitan yang lalu,bukannya mencarik taksi untuk segera meninggalkan Kawasan bandara,ia malah berdiri mematung disana menatap orang yang berlalu Lalang. Sangat tidak menyangka akan benar-benar kembali ke Indonesia lagi setelah sekian lama. “Apa baiknya aku ambil penerbangan ke Paris aja ya?” tanyanya pada diri sendiri,dengan kaku menoleh ke jadwal penerbangan hari ini. Adakah rute menuju paris,dan benar ada. Akan berangkat 3 jam dari sekarang. “Namun kalau aku mengambil penerbangan kesana maka semua kakakku akan marah besar karena tidak bertemu dengannya dan lebih memilih menuju paris,” mau tak mau,Callisa menarik kopernya menuju teras bandara dan melambaikan tangannya. Tak cukup semenit ada taksi yang menghampirinya,membiarkan kopernya dimasukkan kedalam begasi sedang Callisa masuk ke jok belakang duduk dengan nyaman. Alamat rumah Ray masih Callisa hapal dengan jelas saat supir taksi menanyakan alamatnya,ternyata segala hal tentang negara ini masih Callisa ingat dengan jelas. Kembali? Aku tak pernah menyangka akan kembali ke titik awal setelah sekian lama memilih berlari. Callisa memejamkan matanya tapi baru beberapa detik ia membukanya kembali,”Ke universitas Atmaja sebentar Pak,” tidak tau kenapa Callisa meyebutkan nama kampus itu. “Baik Bu,” Ia tertawa kecil,kenapa segala hal tentang Aydan masih melekat dengan baik dalam dirinya? Untuk kamu yang pernah kuperjuangan dengan sekuat tenaga,apakah indah saat orang yang menganggu keseharianmu pergi? Callisa pernah baca dalam beberapa penggalan,bahwasanya seseorang yang putus cinta akan menjadi penyiar dadakan dan menghasilkan karya yang sangat puitis. Apakah Callisa membenarkannya? Tentu saja Callisa membenarkannya malah kini mengalaminya. “Move on susah banget.” Keluhnya dengan berbisik,menatap jalanan yang akhirnya kembali ia temukan terutama suasana macetnya. Suara bising klakson yang saling bersahutan,anak jalanan yang saling berebutan menuju mobil yang terhenti tatkala lampu merah,kegiatan orang-orang yang ada trotoar,penjual pinggiran yang kadang ramai kadang juga sangat sepi. Dunia ibu kota masih tetap sama ternyata, “Jakarta masih tetap macet ya Pak?” tanyanya entah bertujuan apa, “Ya iyalah Bu,malah kesannya aneh kalau tidak menemukan Jakarta dengan kemacetannya. Anda pasti lama meninggalkannya Jakarta ya? Wah sekarang mah banyak yang baru,sudah banyak peraturan baru yang pemerintah tetapkan terutama yang berurusan dengan surat izin mengendara. Banyak undang-undang baru,Bu.” Ditempatnya Callisa tertawa kecil,padahal ia cuman menanyakan kemacetan kenapa malah berpindah ke undang-undang? “Untung anda datangnya minggu ini coba minggu kemarin,bakal susah lewat jalan ini,Bu. Banyak mahasiswa yang melakukan hal engga baik.” Senyum Callisa memudar,Pak Aydan? apa ada Pak Aydan didalamnya? “Suasananya ricuh banget,ada apparat yang mau diajak bekerjasama ada juga yang Sukanya seenaknya,saya kemarin sempat mengantar cepat mahasiswa yang kena pukul apparat. Ya sebagian dari mereka sopan sih.” selagi supir taksi itu bicara,Callisa terus memandang jalanan yang tidak asing lagi. Ia sangat tau tujuannya sekarang,mulai menuju kampus yang dulunya selalu Callisa masuki dengan alasan ingin bertemu kakaknya padahal mau bertemu dengan Pak Aydan, “Saya engga tau kabar mahasiswa terluka itu gimana,Bu. Sebagian ada yang menghilang sebentar menghindari apparat namun saya dengar berhasil tertangkap biang keroknya yang membuat suasana mendadak ricuh. Pokoknya mencekam banget Bu,banyak anak mahasiswa sini yang terlibat juga,” Tepat supir taksi menyelesaikan ucapannya,taksi menepi dan diseberang adalah gerbang kampus atmaja. Untuk sementara,Callisa hanya memandang gerbang itu dalam diam dengan pikiran tak menentu,dan semuanya tertuju pada satu nama,Aydan Athallah. Pasti bapak seneng banget saya menyerah ya? Engga ada lagi yang recokin bapak atau muji bapak ganteng atau dengan pedenya nyapa bapak tiap kesana. Tenang banget ya pak? Tapi sayanya yang tidak tenang karena engga gangguin bapak lagi,engga nyapa bapak lagi,terus muji bapak ganteng. Callisa tertawa kecil mendengar suara dipikirannya,ia kira kepedeannya yang dulu sudah hilang ternyata masih melekat dengan baik. Bapak tau tidak,selama 6 bulan ini saja belajar agama loh,tau banyak sejarah dan sudah membedakan huruf walaupun ada beberapa yang masih agak bingung. Bapak sih yang engga jadi lamar saya makanya saya pergi,hehe. Saya kembali bukan untuk mengejar bapak kok,sadar diri saya mah. Saya kembali untuk melanjutkan kehidupan saya dan melanjutkan bisnis butik yang Mami sengaja bangun untukku di negara ini. Bapak jangan sampe ketemu saya ya atau jangan sampe ada pertemuan diantara kita,saya endak sanggup pak. dengan perlahan,Callisa mengalihkan padangannya dan meminta supir taksi menuju alamat pertama yang ia sebutkan tadi. Bapak jangan bikin saya kangen terus dong,engga enak tau. Menghela napasnya,perlahan gerbang itu makin kecil dalam pandangannya. Callisa berharap ia tidak akan kesana lagi,pokoknya tidak kesana. Cukup kisah lamanya yang gagal,mengcapek menata hati dari kegagalan akibat berharap terlalu jauh. Resikonya besar banget,Callisa mana sanggup. Iyakan? “Bapak punya anak engga?” tanyanya random memecahkan keheningan, “Punya atuh,umur segini mah bukan lagi cari uang untuk diri sendiri tapi untuk anak istri. Untuk biaya sekolah anak,biaya makan tiap hari. Kalau untuk diri sendiri mana mungkin kerjanya sampe malam,kadang pulangnya jam duabelas terus perginya jam 7. Anak-anak sempat ngeluh bapaknya sibuk tapi bisa apa saya,Bu? Kalau endak kerja ya anak-anak engga punya uang jajan,” sekilas Callisa bisa melihat pancaran kerinduan pada supir taksi itu. “Andaikan bapak engga sengaja menabrak orang terus bapak membuat orang lain menjadi tersangka. Dan itu bapak lakukan demi anak istri,itu termasuk keputusan yang bijak tidak?” andaikan ada keluarganya yang mendengarnya maka mereka akan menatap Callisa dengan pancaran kesedihan. “Anda tidak tau bagaimana susahnya menjadi seorang ayah yang hebat,kerja engga kerja tetap aja punya kekhawatiran yang besar. Tiap harinya sibuk memikirkan kebahagiaan anak istri,atau bagaimana cara membahagiakan mereka. Kami para ayah memang kadang suka seenaknya tapi ya itu cara kami,dan mengambil keputusan itu engga mudah.” Callisa bungkam,sengaja ia tanyakan agar tau sudut pandang orang lain mengenai kasus orangtuanya. “Banyak orangtua yang dianggap terlalu berlebihan dalam membesarkan anak-anaknya,terlalu serius dan tidak menikmatinya. Bagaimana bisa kami para orangtua tidak khawatir soal masa depan anak? mereka mau besar dan lahir diantara kami saja sebuah anugerah yang sangat besar. Saya Bu,setiap kali saya memeluk anak saya maka saya akan mengatakan…” “… Terimkasih nak telah memilih kami menjadi orangtuamu maka selanjutnya adalah tugas kami membuat kamu bersyukur dan yakin bahwasanya sejak awal pilihanmu bukanlah sebuah kesalahan. Mungkin nantinya cara bapak-ibu salah menurutmu atau ada beberapa sikap kami yang membuatmu menangis menahan sakit mendalam namun itu adalah keputusan paling berat yang kami ambil.” Perempuan berjilbab bernama lengkap Princess Callisa itu tertegun mendengarnya,apakah Papinya juga memiliki pemikiran yang sama dengan supir taksi ini? Lamunan Callisa tersentak saat mendongak ternyata supir taksi sudah memasuki Kawasan kompleks dimana para kakaknya berada,menghela napasnya lalu memasang wajah seceria mungkin. Tepat di blok depan rumah,Callisa segera membayar ongkosnya, “Lebihnya buat bapak aja,terimakasih untuk sudut pandang yang bapak berikan dari segi seorang ayah.” Beritahunya sebelum turun dari sana. Ia menerima kopernya barulah taksi yang ditumapanginya berlalu. Sejenak,Callisa menatap rumah kakak ketiganya,semua tatanannya masih sama. Dengan perlahan,Callisa melangkahkan kakinya masuk kedalam,tak sadar tersenyum lembut menemukan keponakannya ada di teras rumah bermain barbie. “Sayang,Papa sudah bilang jangan main sendirian dirumah nanti ada yang bawa pergi. Ayuk masuk kedalam,Mama dan yang lainnya akan segera makan pagi sebelum berangkat,Ratu akan ikut Mama bukan? Nah ayo makan dulu.” Dengan tatapan terharu,Callisa menatap punggung tegap kakak pertamanya yang menggendong Ratu masuk kedalam rumah. Satu langkah,dua langkah dan berjalan terus sampai di depan tangga teras. “Mas Akaf,jangan gangguin Exas tidur nanti moodnya engga baik.” Satu tetes airmata Callisa jatuh,ia merindukan momen hangat ditengah-tengah perhatian para kakaknya juga istrinya. “Haha,anak papa sudah bangun hm? Mukanya gemes banget sih. makannya nanti dulu biar Mama siapin makannya,kita liat pemandangan pagi dulu,anak papa makin ganteng ya? Atau engga mau manggil papa? Bunda ayah aja? Haha,ka-“ Rakaf mematung ditempatnya,”Dek Callisa?” bisiknya pada diri sendiri. “De De De,” andaikan bukan celotehan anaknya mungkin Rakaf tidak sadar pegangannya padanya melonggar,hampir membuat Exas terjatuh. “Dek Callisa?” ulangnya sekali lagi,ia tidak mempercayai apa yang matanya lihat saat ini. “Mas Akaf,liat apasih heran gitu? Ayok,makanan Exas su-Callisa?” dengan langkah lebar Deva mendahului suaminya menuju Callisa yang masih berdiri disamping kopernya. Memeluknya dengan sangat erat,”Dek Callisa,astaga! Akhirnya. Alhamdulillah ya Allah,terimakasih telah membawa Callisa kami kembali pulang.” Ibu satu anak itu memeluk Callisa dengan sangat erat. Melepaskan pelukannya,kedua tangan Deva menagkup wajah adik ipar tersayangnya. “Haha,Mba senang kamu pulang Dek dengan penampilan seluar biasa ini. Kamu membuat kakak kamu tidak bisa mengatakan apa-apa dibelakang sana,mungkin tidak menyangka akan mendapati adiknya berjilbab.” Tangkupan tangannya terlepas dan memeluknya kembali,”Mba kangen banget sama kamu,sangat merindukanmu Callisa.” Callisa membalasnya tak kalah erat dan tak lama suara tangisannya terdengar. Keduanya sama-sama menangis melepaskan kerinduan,”Mba kesal sama kamu tau engga,engga ada kabar selama dua hari sekalinya ada eh sudah berdiri disana. Selama 6 bulan Mba penasaran kenapa di kamar terus eh ternyata begini,” ujarnya disela-sela tangisnya,Callisa tertawa kecil dengan mata sembabnya. “Mba Deva,Callisa kangen.” Rengeknya, Deva mendongak guna mencegah airmatanya jatuh lagi,ia mundur selangkah memandang suaminya yang sejak tadi mematung ditempatnya,”Mas ayo sini,masa engga mau peluk adiknya. Bengong aja disana,” mendekati Rakaf lalu mengambil alih Exas. “Sana ih peluk adiknya,” Deva mendorong kecil punggung suaminya dengan senyuman tak luntur sama sekali. “Itu beneran Dek Callisa kan?” mau tak mau Deva tertawa mendengarnya, “Masa engga kenal sama adik sendiri sih,Mas? Aku aja yang sebagai iparnya langsung kenal masa mas sebagai saudaranya engga kenal. Itu Callisa kita,sudah kembali.” Capek melihat kakak tersayangnya hanya bengong di tempatnya,Callisa maju dan memeluk kakaknya dengan erat. “Kak Akaf nyebelin ih,masa ngenalin adiknya aja engga bisa? Memangnya muka Callisa berubah banyak ya? Callisa kangen kakak tau,” protesnya tapi tetap tersenyum. “Callisa.” Keduanya sama-sama tertawa,Callisa dengan ceria menatap kakaknya dari dekat. “Penampilan aku beda banget ya Mba?” tanyanya setelah Rakaf melepaskan pelukannya tapi tetap merangkulnya. “Tidak,kamu bertambah cantic pake banget.” Callisa tertawa,melepaskan rangkulan Rakaf lalu masuk kedalam. Entah kebetulan atau tidak,pagi ini semua kakaknya berkumpul disana padahal Callisa sengaja tidak mengabarkan kepulangannya. Dengan senyum mengembang menatap tiga orang di ruang makan,empat Bersama Ratu juga. “Assalamualaikum kakak gantengku! Callisa pulang.” Sapanya ceria. Duduk diantara Ray dan Reika lalu menatapnya dengan cara bergantian,senyumnya tidak luntur sama sekali. 30 detik 1 menit. Tak ada yang bersuara,bahkan Ratu yang tadinya sibuk membahas berbie juga diam di tempatnya. “Ih kok ada yang seneng Callisa pulang? Ini Callisa loh,tau gini mend-“ “Dek Callisa.” “Callisa.” Panggilan kompak juga pelukan datang secara bersamaan dari keduanya,diantaranya Callisa tertawa pelan tidak tau mau membalas pelukan yang mana. Ia memejamkan matanya menikmati momen yang sangat ia rindukan selama berbulan-bulan yaitu berada diantara semua kakaknya. “Wah Mama engga bohong,Tante Call beneran pulang.” Suara gemaan Ratu membuat dua bersaudara itu melepaskan pelukannya pada Callisa. “Engga malu nangis didepan anak kecil ih,” ejeknya saat melihat Ray dan Reika menangis sehabis memeluknya. “Kakak ngambek sama kamu,Dek.” tanggapan Callisa hanyalah tertawa, “Sama,aku juga marah sama kamu Callisa.” Dengan pelan dan secara bersamaan,Callisa menepuk kedua pundak kakaknya. Mengedipkan matanya pada Ratu yang sejak tadi berbinar senang melihat kedatangannya,matanya beralih menatap Rasya yang ternyata juga menangis. “Kenapa pada nangis sih? Callisa pulang sedih bukannya disambut dengan bahagia.” Tangan kanannya digenggam oleh Reika,otomatis pandangan Callisa teralihkan kearah kakak tertuanya. Callisa masih mempertahankan senyumnya,perlahan menatap semua orang yang ada disini. Rakaf,Reika,Ray,Ratu,Rasya,Deva dan Exas,mereka semua senang karena adanya Callisa lagi disini. “Kakak berpikir,andaikan minggu ini kamu tidak kembali maka kakak akan kesana menjemput kamu mau kamu menolaknya sekalipun kakak tidak peduli,yang terpenting kakak bisa membawa ka-“ Callisa menumpukan tangannya yang satu diatas genggaman tangannya tadi,menatap kearah sana. “Aku hanya takut kalian semua enggan menerima penampilanku yang sekarang,” gumamnya tapi masih mampu didengarkan oleh semua orang. “Darimana kamu mendapatkan pemikiran seperti itu,Dek?” Ray yang ada di samping Callisa bersuara,tidak habis pikir dengan jalan pikiran Callisa. “Jadi kalian semua menerima penampilanku?” “Tentu saja!” jawab mereka semua kompak membuat senyum Callisa makin mengembang. Dengan santainya memakan roti panggang yang ada di piring Reika. Sepanjang Callisa makan,pandangan mereka semua mengarah pada Callisa. Bahkan Reika dengan serius memperhatikan bagaimana Callisa menghabiskan Roti panggang itu,ada Ray yang terus tersenyum memperhatikan betapa cantiknya Callisa dengan penampilannya yang sekarang. Lalu ada Rakaf,merasakan rumah ini kembali menghangat setelah berbulan-bulan mencekam seolah tak penghuninya sama sekali. Yang paling membahagiakan setelah berlari sangat lama memang paling benarnya adalah kembali ke keluarga,memberitahu mereka bahwasanya kita telah kembali. Semua ketakutan Callisa tentang opini kakaknya kini terpatahkan dengan senyuman penyambutan yang mereka berikan. Tau begini Callisa tidak akan capek-capek overthinking setiap harinya di turki sana. Callisa hanya akan sibuk belajar bukan memikirkan hal yang tidak perlu,tapi apa boleh buat? Semua manusia memang Sukanya memikirkan sesuatu yang belum terjadi sama sekali,memikirkan bagaimana,kenapa dan mengapa. Jadi beban bukan? Dan Callisa memang merasakannya,sangat dan sangat merasakannya. Callisa tertawa pelan saat Rasya mendekat memeluknya dari belakang,saling memandang dengan senyuman. Kalau mau dipikirkan kembali,semua kakaknya akan menerimanya mau apapun itu termasuk penampilannya yang sekarang. Karena mau sampai kapanpun,Callisa akan terus menjadi princess mereka. Selayaknya Namanya,Princess Callisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD