Bab 8. Rasa Bersalah 2

1533 Words
# Maura meletakkan dua botol bir di depan Arga. “Karena besok kau akan kembali ke Jakarta, bagaimana kalau kau habiskan dulu ini,” tantang Maura. Arga mendorong dua botol bir itu ke arah Cakra. “Karena Cakra yang baru saja menjadi pengantin baru ini, bagaimana kalau dia saja yang habiskan. Aku tidak boleh terlalu mabuk karena ada pesawat yang menungguku dalam beberapa jam ke depan dan ada hati yang harus aku kejar di Jakarta nanti,” elak Arga. Cakra tertawa melihat cara Arga menolak tantangan dari Maura. Maura memang sulit untuk di tolak dan sekaligus yang paling bar-bar di antara mereka bertiga hingga terkadang Cakra maupun Arga kesulitan dibuatnya. Meski begitu, Maura juga adalah orang yang paling berperan hingga persahabatan mereka bisa langgeng sejauh ini karena dia juga yang paling sering mengajak mereka untuk berkumpul saat mereka sudah terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Cakra mengetuk pelan botol bir itu dan kemudian mendorongnya ke tengah meja. “Aku datang ke sini untuk berbulan madu. Sayang sekali kalau aku mabuk dan melewatkan bulan madu dalam keadaan teler.” Cakra mengelak. Tapi Maura mengambil gelas keduanya, membuka tutup botol minuman itu dan kemudian mengisinya semua gelas hingga penuh. “Habiskan,” titah Maura. Dia jelas tahu kalau kedua pria dewasa di depannya itu tidak mungkin mabuk hanya karena minum bir yang tidak seberapa banyak. Cakra dan Arga tertawa, mereka tidak bisa mengelak lagi kalau Maura sudah bersikap seperti itu. Pada akhirnya keduanya mengambil gelas masing-masing. “Bersulang!” teriak ketiganya bersamaan. Tepat setelah menghabiskan isi gelasnya, ponsel Cakra berbunyi. “Wah, sepertinya ada yang sudah di cari istrinya,” ejek Maura. Arga tertawa mendengar ucapan Maura tersebut. Cakra sendiri malah mengerutkan dahi melihat nomor hotel tempatnya menginap yang ternyata meneleponnya. “Ini dari hotel,” ucap Cakra. Dia memberi isyarat akan menjauh sebentar untuk menerima panggilan itu dan Arga serta Maura mengangguk mengerti. Hanya beberapa saat kemudian Cakra sudah kembali ke meja mereka dengan terburu-buru dan langsung meraih kunci mobilnya. “Aku harus pergi, istriku dilarikan ke Rumah Sakit,” ucap Cakra. Baik Arga maupun Maura terlihat kaget mendengar ucapan Cakra. “Rumah Sakit mana?” tanya Maura. “Royal Hospital. Aku benar-benar harus pergi sekarang,” jawab Cakra. Dia bahkan tidak menunggu kedua sahabatnya menjawab dan langsung melangkah pergi dengan terburu-buru. Maura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Dia bilang tidak suka dengan istrinya tapi dia malah sekhawatir itu,” ucap Maura. Arga tertawa. “Aku lebih penasaran pada kenapa istrinya Cakra bisa masuk Rumah Sakit hanya selang beberapa hari setelah mereka menikah. Ini bahkan belum seminggu. Sepertinya Cakra belum kehilangan keperkasaannya,” ucap Arga. Maura mendelik ke arah Arga. “Otak kalian para pria selalu saja tidak pernah jauh-jauh dari hal yang berbau m***m,” ucap Maura. “Itu normal. Namanya juga laki-laki. Omong-omong, apa tidak pernah mengatakan perasaanmu pada Cakra selama ini? Kau membenci mantan istri Cakra bukan karena kau masih menyimpan perasaan pada Cakra kan?” tanya Arga. Kali ini nyaris saja satu botol kosong bir mendarat di wajah tampan Arga. “Ralat ... maaf. Aku tidak akan pernah mengungkit masalah itu lagi,” lanjut Arga cepat. “Jangan pernah mengungkit lagi masa lalu Ar. Aku hanya menganggap Cakra sahabat sekarang dan kalau pun aku tidak suka pada Fenny, itu murni karena aku tahu Fenny berselingkuh di belakang Cakra. Mana ada sahabat yang suka melihat sahabatnya dipermainkan seperti itu? Kau juga akan begitu kalau saja kau tahu bagaimana hubungan Cakra dan Fenny sejak awal.” Maura menjelaskan. “Memangnya Fenny itu secantik apa? Sampai-sampai Cakra begitu tergila-gila?” tanya Arga penasaran. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri dan meski bersahabat baik dengan Cakra, dia belum pernah melihat seperti apa kekasih Cakra. Dia hanya tahu kalau Cakra memang sudah lama menjalin hubungan dengan seorang wanita dan baru tahu sekarang kalau wanita itu bernama Fenny Maura mengangkat bahunya pelan. “Cantik sih memang, tapi jenis wanita manipulatif dan licik,” ucap Maura. Dia kembali mengingat saat Cakra pertama kali memperkenalkan Fenny padanya di sebuah pesta. Fenny memiliki penampilan seperti seorang model yang tinggi, ramping, dengan bentuk tubuh yang bagus dan kulit yang tidak begitu putih namun terlihat eksotis. “Oh, pantas saja Cakra tergila-gila. Kalau Kakaknya cantik maka kurasa adiknya yang dinikahi Cakra juga cantik,” ucap Arga. Maura hanya tersenyum mendengar pendapat Arga. Dia sebenarnya merasa bersyukur karena bukan Fenny yang akhirnya dinikahi oleh Cakra meskipun kenyataannya itu juga demi melindungi Fenny. “Ya setidaknya Cakra mendapatkan perawan, dia memang laki-laki yang beruntung. Kurasa adiknya tidak separah Fenny. Setidaknya selama ini aku tidak pernah mendengar hal buruk tentang adik perempuannya. Setahuku, adik perempuan Fenny bersekolah di luar negeri sih. Entahlah, sejujurnya aku juga penasaran ingin melihat seperti apa istri Cakra dan adik perempuannya nenek sihir itu,” balas Maura. “Datang saja besok ke Rumah Sakit dengan alasan menjenguk,” usul Arga. “Benar juga, kau ikut?” tanya Maura. Arga menggeleng. “Pesawatku subuh ini. Aku akan mencari Luna sekali lagi di Jakarta. Kalau aku tidak bisa menemukannya, aku akan menemui ibunya Luna dan meminta untuk bisa bertemu dengan Luna,” ucap Arga. “Oh, wanita yang kau cintai itu ya,” ucap Maura. “Wanita yang ingin kunikahi,” timpal Arga. Maura tertawa. “Lucu juga sih kalau mengingat istrinya Cakra juga bernama Kaluna, untung nama belakangnya berbeda. Kalau tidak aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi pada kalian berdua. Yang jelas aku angkat tangan kalau sampai kalian berdua berselisih karena masalah cinta,” ucap Maura. Arga tertawa. “Kau tidak tahu betapa terkejutnya aku saat mendengar nama istrinya,” balas Arga. Maura ikut tertawa. Mana mungkin dia lupa betapa pucatnya Arga beberapa saat lalu. “Sudahlah, mari kita bersulang sekali lagi untuk mendoakan semoga Cakra bisa langgeng dan bahagia dengan istrinya agar tidak berbaikan dengan nenek sihir itu,” ajak Maura yang sudah terlebih dulu mengangkat gelasnya. Arga ikut mengangkat gelasnya. “Sebagai sahabat yang baik, tentu saja aku mengharapkan yang terbaik untuknya juga. Bagaimana kalau sekalian kita doakan Cakra cepat-cepat diberi momongan? Dengan begitu dia tidak mungkin kembali pada mantannya lagi kalau mantannya muncul kan,” ucap Arga. Maura tertawa semakin keras. “Setuju!” ujarnya. Kedua sahabat itu kembali bersulang untuk ke sekian kalinya. Tentu saja Arga tidak akan pernah menyangka kalau dia akan mengutuk ucapannya saat ini di masa depan. # Cakra menemui Luna yang saat ini masih terbaring di atas tempat tidur dengan mata terpejam. Sejujurnya dia kaget saat pihak hotel yang meneleponnya mengatakan kalau Luna ditemukan tidak sadarkan diri di dalam lift. Dokter mengatakan kalau Luna mengalami demam tinggi akibat kelelahan. Tentu saja Cakra tahu kenapa Luna bisa seperti itu. Semua karena perbuatannya yang dengan sengaja memaksa Luna untuk melayaninya tanpa istirahat. Cakra hanya bisa terdiam kini di samping tempat tidur di mana Luna masih terbaring dengan infus yang dipasang di salah satu pergelangan tangannya. “Hngh.” Terlihat Luna tampak bergumam pelan dan membuka matanya perlahan. “Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?” tanya Cakra, wajahnya terlihat khawatir saat ini. Luna mengerjap pelan. Dia tampak sedikit bingung saat melihat Cakra. “Aku di mana?” tanyanya. Tubuhnya terasa sangat lemah dan lelah. “Kau masuk Rumah Sakit. Tadi kau pingsan di dalam lift. Petugas hotel yang menemukanmu,” ucap Cakra menjelaskan. Luna menatap pergelangan tangannya yang saat ini dipasangi infus. “Begitu rupanya,” ucap Luna. Dia kemudian bergerak hendak berdiri tapi Cakra mencegahnya. “Kau mau apa? Tubuhmu dalam keadaan yang sangat lemah sekarang dan membutuhkan istirahat. Kau mau memaksa tubuhmu sampai drop lagi?” tanya Cakra dengan nada suara yang sedikit meninggi. Luna menatap Cakra dengan sorot dingin saat mendengar ucapan pria itu. “Aku ingin kembali ke hotel. Lagi pula, bukan aku yang memaksa tubuhku hingga drop,” ucap Luna. Cakra tercekat. Dia tidak menyangka Luna akan seperti itu. Saat itu, dia berdiri dan menekan bahu Luna dengan sedikit memaksa hingga Luna kembali terbaring ke tempat tidur. “Iya kau benar, akulah yang memaksamu hingga kelelahan dan aku bisa melakukannya lagi sekarang dan di sini kalau kau masih bersikeras untuk kembali ke hotel,” ancam Cakra. Dia menatap Luna dengan tatapan penuh makna. Luna pucat pasi mendengar ancaman Cakra. “Kau benar-benar tidak tahu malu,” ucap Luna dengan penuh antisipasi. Dia tidak dalam suasana hati dan tubuh yang siap untuk menerima pria itu sekarang. Cakra tersenyum tipis saat melihat Luna akhirnya mau berbaring lagi dan malah menarik selimutnya hingga menutupi bahunya. “Hal itu sesuatu yang wajar untuk suami istri dan kalau kau lupa, kita masih dalam masa berbulan madu,” ucap Cakra. Luna diam. Dia memalingkan wajahnya dari Cakra dan kembali menutup matanya. Sesungguhnya Luna memejamkan mata hanya untuk mengabaikan Cakra, namun dalam beberapa saat kemudian Cakra malah mendengar suara dengkuran halus Luna. Dia menarik napas panjang dan mendekat untuk memeriksa Luna yang tampaknya benar-benar tertidur. “Tidurlah yang nyenyak, kau benar-benar kelelahan rupanya Kaluna,” gumam Cakra sambil mengamati wajah tertidur Luna. Dia baru saja menyadari hal lain saat ini. Luna tidak hanya memiliki warna kulit dan bentuk fisik yang berbeda jauh dari Fenny. Dia menyadari kalau tidak ada seorang pun dalam keluarga Wiratama yang memiliki kulit putih pucat seperti yang dimiliki oleh Luna. Baik itu Tuan dan Nyonya Wiratama hingga Denny dan Fenny.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD