Bab 3. Malam Pengantin 2

1462 Words
# Saat Luna membuka pintu kamarnya, dilihatnya Denny berdiri dengan membawa koper serta tasnya. “Apa yang terjadi?” tanya Denny. Dia langsung datang saat Luna meneleponnya. “Masuklah dulu,” ucap Luna. Denny masuk. Dilihatnya Luna masih mengenakan baju pengantin yang sama dengan yang digunakan saat di altar sebelumnya dan dia bahkan tidak melihat Cakra di kamar itu. Tanpa sadar dia menarik napas lega. “Ke mana Cakra?” tanya Denny. “Entahlah. Dia langsung pergi setelah mengantarku kemari,” ucap Luna separuh berbohong. Dia tidak mungkin menceritakan pada adiknya tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya dan Cakra sebelum ini. Luna membuka kopernya dan mengambil pakaian ganti. “Tunggu sebentar, aku akan berganti pakaian,” ucap Luna. Dia melangkah menuju ke kamar mandi dengan menyeret baju pengantinnya. Denny duduk di atas sofa yang ada di dekat tempat tidur. Dia memperhatikan tempat tidur yang masih dalam keadaan rapi. Bisa dipastikan kalau tidak ada yang terjadi di antara Luna dan Cakra, hal itu membuatnya merasa bersyukur. Hanya beberapa saat kemudian Luna keluar dari dalam kamar mandi dengan mengenakan kaos dan celana jeans. Dia bahkan sudah menghapus riasannya. “Wah, tidak ada yang akan mengira kalau Kakak baru saja menjadi pengantin tadi,” ucap Denny. Pakaian yang dikenakan oleh Luna sekarang membuatnya terlihat seperti seorang gadis muda yang masih berusia belasan, sebaya dengan Denny. Luna meraih sendal dari dalam tasnya dan sekaligus merapikan gaun pengantin yang dia kenakan sebelumnya. “Aku harus pergi dari sini,” ucap Luna. Ucapan Luna membuat Denny sedikit terkejut. “Kemana? Kakak baru saja menikah dan tidak mungkin Kak Luna kembali ke rumah. Tidak mungkin juga Kakak ke rumah keluarga Adhiatma tanpa Kak Cakra,” ucap Denny. Luna terduduk lemas di atas tempat tidur. Dia tahu apa yang diucapkan oleh Denny itu masuk akal. Posisinya serba salah sekarang, namun disisi lain dia tidak mungkin duduk saja di kamar dan menunggu Cakra kembali. Dia tidak tahu kalau Cakra bisa saja berubah pikiran dan menyerangnya saat dia tertidur. Denny mengamati raut wajah Luna. “Apa Kak Cakra melakukan sesuatu yang tidak pantas pada Kakak? Apa dia memaksa Kakak?” tanya Denny. Luna menggeleng cepat dan tersenyum menyembunyikan kegelisahannya. “Tidak seperti itu. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya saja tidak nyaman tinggal di kamar hotel yang seharusnya untuk melewati malam pengantin sementara baik aku dan Cakra tidak berencana untuk melakukannya. Itu terasa sedikit canggung,” ucap Luna. Denny menatap Luna dengan tatapan berbinar. “Oh, apakah Kakak sudah berbicara dengan Kak Cakra? Kalian membuat kesepakatan atau semacamnya?” tebak Denny. Luna menggigit bibirnya pelan. “Semacam itu. Yang dicintai Cakra itu Fenny dan saat Fenny kembali nanti, pernikahan ini akan berakhir,” ucap Luna berbohong. Hal itu adalah kesepakatan yang hendak dia tawarkan pada Cakra namun karena situasinya kurang baik, dia belum sempat membicarakannya dengan Cakra. “Syukurlah. Aku kira semua akan berlangsung buruk. Benar sekali, Kakak hanya perlu bertahan sampai Kak Fenny kembali. Aku meminta bantuan seorang teman untuk menemukan Kak Fenny, lagi pula kalau Kak Fenny mendengar Kak Cakra akhirnya menikah dengan Kakak, dia mungkin akan segera kembali,” ucap Denny. “Karena itu, kurasa aku akan menginap di hotel lain,” ucap Luna. “Jika seperti itu, bisa saja ada gosip kalau Kakak melarikan diri di malam pengantin. Setidaknya, Kakak harus berada di hotel ini untuk menghindari kecurigaan sampai resepsinya selesai,” ucap Denny. Luna terdiam. Apa yang dikatakan oleh Denny memang masuk akal. Jika muncul berita yang tidak-tidak maka bukan tidak mungkin masalah akan semakin besar. Tapi di sisi lain, Luna tidak mungkin berdiam diri di kamar ini dan menghadapi kemungkinan harus melewatkan malam pengantinnya bersama Cakra. Dia mungkin setuju untuk menikah dengan Cakra dan melakukan semua hal sebagai istri Cakra tapi dia tidak ingin tidur dengan pria yang sebenarnya adalah kekasih dari saudara tirinya. Ada batasan baginya untuk menuruti semua hal sekalipun itu demi keluarganya. “Kau benar,” ucap Luna. “Bagaimana kalau Kakak tinggal di kamar yang berbeda di hotel ini. Biar aku yang melakukan check-in. Dengan begitu tidak ada yang akan curiga. Besok pagi, Kakak bisa membicarakannya lagi dengan Kak Cakra,” usul Denny. “Kalau begitu, aku akan merepotkanmu sekali lagi,” ucap Luna. Denny tersenyum. “Nah, Kakak tinggal di sini sebentar,” ucap Denny. Luna mengangguk. “Terima kasih Den,” balas Luna. “Itulah gunanya saudara,” ucap Denny. Dia kemudian bergegas pergi. Luna menatap kepergian Denny sambil menarik napas panjang. Selama beberapa saat kemudian dia menatap cincin pernikahan yang kini melingkar di jarinya. “Mari membuat kesepakatan lagi setelah pikiran Cakra lebih tenang,” gumam Luna. Dia ingat kalau Fenny pernah mengatakan bahwa Cakra adalah pria yang sangat tergila-gila kepadanya, jadi dia menyimpulkan kalau Cakra tidak mungkin bisa melupakan Fenny dan masih mengharapkan Fenny. Dengan itu seharusnya dia bisa menawarkan kesepakatan pada Cakra. Bagaimanapun, mereka sama-sama asing satu sama lain dan pernikahan ini terjadi karena semuanya terlanjur tidak mungkin dibatalkan lagi. Ini tidak seperti pernikahan sungguhan. Setidaknya begitulah penilaian Luna. # Cakra kembali ke kamar hotelnya menjelang tengah malam namun dia tidak menemukan Luna di dalam kamar. Hal itu membuat Cakra menjadi semakin kesal. Dia tidak menyangka kalau Luna akan berani meninggalkannya tepat di malam pernikahan mereka. Hanya beberapa saat kemudian, dia mendapat info kalau Luna memesan kamar berbeda dengan nama Denny. Tidak sulit bagi Cakra untuk mendapatkan kunci cadangan dan masuk ke kamar yang ditempati Luna. Kini Cakra berdiri diam memandangi Luna yang tertidur nyenyak di kasur namun pada kamar yang berbeda dengan yang seharusnya dia tempati di malam pengantin mereka. Perlahan Cakra melangkah mendekat dan menyalakan lampu tidur yang terletak di samping tempat tidur. Bahkan dengan cahaya remang-remang dari lampu tidur tidak membuat Luna terganggu sama sekali dan itu membuat Cakra dengan leluasa mengamati wanita yang baru saja dinikahinya beberapa saat lalu. Tanpa riasan di wajahnya, Luna terlihat jauh lebih muda dan cantik dibanding sebelumnya. Kulitnya putih, nyaris pucat, berbeda dengan Fenny yang memiliki warna kulit yang lebih eksotis. Luna memiliki bulu mata yang panjang dan bibir mungil yang berbentuk hati sedangkan Fenny memiliki bibir yang lebih penuh dan seksi dalam penilaian Cakra. Selain itu, Fenny memiliki tubuh yang tinggi semampai dan ramping. Sementara Luna meski tingginya mungkin tidak berbeda jauh dengan Fenny, namun bentuk tubuh keduanya jelas berbeda dan inilah satu-satunya yang membuat Cakra memberi penilaian lebih pada Luna. Perlahan Cakra meraih kedua tangan Luna, mengikatnya hati-hati dengan ikat pinggangnya. Dia lalu membuka pakaiannya sendiri dan kemudian naik ke atas tempat tidur. “Kaluna Wiratama,” panggil Cakra pelan. Luna mendesah pelan. Matanya yang mengantuk perlahan terbuka saat merasakan kalau dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dengan leluasa. “Jadi kau mencoba melarikan diri? Kalian Kakak beradik benar-benar kejam,” ucap Cakra lagi. Luna terkejut saat menyadari kalau saat ini Cakra telah berada di dalam kamarnya dan terlebih lagi berada di atas tubuhnya yang hanya mengenakan baju tidur sementara pria itu sama sekali polos tidak menggunakan pakaian lagi. “Cakra kau ...” Luna tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Cakra sudah lebih dulu melumat bibirnya dengan cara yang sama dengan yang terjadi tadi siang saat mereka masih berada di dalam mobil. Aroma minuman keras tercium dengan jelas dari Cakra dan Luna tahu pasti kalau ini bukan pertanda baik. Dia tidak bisa menebak semabuk apa Cakra sekarang tapi yang jelas keadaan saat ini benar-benar tidak menguntungkan untuknya. Luna berusaha berontak, namun dia baru menyadari kalau tangannya kini terikat di atas kepalanya dan meski dia berusaha sekuat tenaga untuk menendang Cakra dengan kakinya yang bebas namun kekuatan pria itu sama sekali bukan tandingannya. Cakra akhirnya melepaskan pagutannya dan membuat Luna tersengal-sengal kehabisan napas. “Sudah kubilang, aku akan memakan habis hidangan pengganti yang diberikan kepadaku sekalipun aku tidak menyukainya,” ucap Cakra. Sorot matanya kini terlihat berbeda. “Kumohon, kau akan menyesali semua ini saat kau sadar nanti,” ucap Luna putus asa. Nada suaranya kini bergetar ketakutan. “Aku sadar sekarang Kaluna. Dirimulah yang sepertinya masih tidak sadar dengan status dan posisimu saat ini. Beraninya kau melarikan diri seperti Fenny!” hardik Cakra. Air mata mengalir di pipi Luna saat dia merasakan kalau tangan Cakra kini bergerak di balik pakaian yang masih dia kenakan dan menyentuh bagian sensitif tubuhnya yang selama ini tidak pernah disentuh orang lain, bahkan mantan kekasihnya sekalipun. “Tolong jangan,” ucap Luna sekali lagi dengan suara parau. Dia berharap setidaknya masih ada belas kasihan atau mungkin kewarasan yang dimiliki oleh Cakra saat ini. Sayangnya seringai di bibir Cakra mematahkan semua harapan yang masih di miliki oleh Luna. Sentuhan Cakra masuk semakin dalam ke inti tubuh Luna, mengirimkan sensasi seperti sengatan yang belum pernah Luna alami dan memaksanya untuk menerobos batasan yang tidak pernah diketahuinya selama ini. Saat itu timbul penyesalan di dalam hati Luna. Seharusnya dia tidak putus dengan kekasihnya. Seharusnya dia mendengarkan permintaan kekasihnya untuk tidak kembali ke Indonesia. Dia benar-benar menyesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD