bc

Keluarga Amari ( Tamat )

book_age16+
439
FOLLOW
1.9K
READ
family
goodgirl
confident
queen
fairy
drama
goblin
highschool
small town
secrets
like
intro-logo
Blurb

"Jangan mendekat atau memanggil namaku dengan bibirmu itu. Aku tidak mau berteman dengan monster seperti kalian, Leanne!"

Bibirku terkatup rapat dan tidak mampu menjawab pertanyaan diajukan Anson yang ada di hadapanku. Ia tidak berani melihatku dan lebih memilih memalingkan wajahnya.

Aku bukan monster atau makhluk mengerikan yang menyamar menjadi manusia, hanya diriku berbeda dengan yang lainnya. Aku sudah lama hidup di dunia tanpa bisa mencintai. Namun, hatiku tidak bisa menolaknya ketika anak manusia telah membuat hidup ini berwarna.

"Masih adakah orang yang mau berteman denganku?"

Ada sebuah rahasia paling dalam yang dari keluarga Amari yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun. Temukan rahasia itu di cerita ini.

chap-preview
Free preview
Part 1 Awal Kisah
Pemandangan yang terjadi di depan rumah menjadi hal yang lumrah bagiku selama ini. Mereka menangisi kematian orang yang dicintai. Maklumlah jarak pemakaman dari rumahku terbilang dekat. Hanya berjarak beberapa meter saja. Mungkin bagi kalian akan takut jika melihatnya, tetapi hal itu tak masalah bagiku.  "Siapa yang mati hari ini?" celetuk Alois-- adikku--yang tubuhnya bisa dikatakan gendut. "Bukan mati, Lois. Mati itu untuk hewan," selaku membenarkan ucapannya. Terkadang anak ini seenak mulutnya kalau berkata tanpa memikirkan perasaan orang yang sudah meninggal. Ya ... orang di dalam peti itu kini ada di hadapanku. Seorang lelaki tua berjenggot sedang menatap tak suka kepada Alois. "Maafkan adikku, Tuan. Dia memang agak tidak terkontrol jika bicara." Alois mengernyitkan dahinya sambil memasang mimik bingung. "Apa--dia ada di sini?" tanyanya dengan menunjuk jari. Aku menggangguk. "Pantas baunya khas orang yang barusan meninggal," ucapnya enteng. Aku hanya bisa mengurut d**a melihat tingkahnya. "Aku minta maaf atas sikapnya, Tuan." Akhirnya aku yang meminta maaf kepadanya. Inilah yang tidak aku suka dari keadaan ini. Keluargaku memiliki keunikannya masing-masing. Aku bisa melihat, mendengar dan menyentuh mereka yang tak tampak. Adikku hanya bisa mencium kehadiran mereka. Kakak lelaki bisa meramal masa depan. Sedangkan ayah dan ibu.... bisa aku katakan mereka bisa mengetahui kematian seseorang dalam waktu dekat. ***** "Besok kamu akan bertemu seseorang yang menyebalkan, Dik." Aku tidak jadi memasukkan bitterballen buatan ibu ke mulut saat Zie melihat hari esok. Terkadang kakakku yang satu ini tidak suka melihat peristiwa yang akan datang dan memilih diam daripada menceritakannya. "Siapa itu Zie? Anak perempuan atau anak lelaki?" Lois menyeletuk sembari mencomot makanan itu dari atas meja lalu langsung melahapnya dengan cepat. "Kamu akan tahu nanti, Dik." Zie tidak akan memberitahunya, ia senang menyimpannya sendiri dan membiarkan aku mencari tahu sendiri. Memang apa salah jika aku juga ingin tahu? Namun, seberusaha apapun kita mendesaknya, ia tidak akan menutup mulutnya kecuali jika situasi genting. "Memangnya kamu tidak bisa mengambil dan memakannya pelan-pelan, Ndut?" Lois melotot ke arahku dan tidak suka atas ucapan yang kulontarkan padanya. Aku tidak menyenangi cara ia makan, menurutku itu tidak sopan. Belum habis di mulutnya, ia langsung mengambil lagi. "Awas kamu, ya, Leanne! Aku akan mengadu pada ibu." Usianya bukan lagi anak kecil, tetapi tingkahnya seperti anak usia lima tahun. Badannya saja yang besar menurutku. "Ada apa lagi, Leanne? Jangan mengganggu adikmu terus," tegur Ibu yang baru saja tiba dari melayat tetangga yang meninggal. Lois merasa menang di atas angin, ia menjulurkan lidahnya seakan mengejekku. Dasar adik manja. "Di mana Ayah?" Biasanya kedua sejoli itu selalu beriringan ketika masuk rumah setelah bepergian. Namun, sudah hampir sepuluh menit berlalu. Ayah belum datang. "Ayahmu masih ada di sana. Ayah menyuruhmu menjemputnya, Leanne." "Kok aku, sih, Bu? Kan ada Zie atau Lois." Bukannya aku tidak mau menjemput Ayah, tetapi ada rasa malas untuk melangkahkan kaki ke sana. "Zie sibuk mempersiapkan hari pertamanya sekolah esok, Leanne. Sedangkan adikmu---." Ibu mengedipkan mata lalu tersenyum dari arah dapur sembari melirik Lois yang menghabiskan bitterballen di meja makan. "Iya aku tahu. Tidak mungkin menyuruhnya menjemput Ayah. Bisa-bisa dua jam lagi sampainya." "Nah ... itu kamu tahu, Nak." Ibu menyahut dengan tawa yang lepas. Aku mendengkus kesal pada bocah gendut yang ada di depanku. Entahlah perutnya terbuat dari apa sehingga ia tidak merasa kenyang. Dua jam lalu, ia sudah makan sepiring nasi goreng. Ke mana larinya nasi tersebut? "Apa sih melihat aku terus?" Ternyata ia sadar jika sedang diperhatikan. Aku hanya geleng-geleng kepala dan beranjak dari kursi untuk menjemput Ayah. Sebelum aku menutup pintu rumah, teriakan Ibu menggema di dapur. "Di mana cokelat ibu, Lois?" Tidak usah ditanya lagi. Pindah di dalam perut siapa cokelat tersebut? Lebih baik aku mendengarkan lagu seraya berjalan menuju rumah duka. ***** Aku memainkan kerikil dengan melemparkan ke depan menggunakan kaki, tetapi kerikil tersebut kembali lagi. Aku tahu pelakunya yang usil. "Keluarlah! Aku tahu dirimu sedang mengikutiku." Makhluk tak kasat ini sedari tadi telah mengikutiku sejak di pagar rumah. Dia kira aku tidak menyadari kehadirannya. "Kamu bisa melihatku?" Pria muda dengan berpakaian tentara era 50-an menampakkan wajahnya di depanku dengan tatapan heran. "Tentu saja, itu karena bau tubuhmu yang khas." Bau dari tubuh orang yang sudah meninggal lama tidak seperti pada manusia umumnya. Pria muda itu terpana kala dia mendengar jawabanku. "Kamu sudah lama di sini? Aku jarang melihatmu," ujarnya sambil berada di sampingku. Aku berjalan, dia melayang. "Iya kami baru tiba sebulan lalu di sini. Jadi belum begitu kenal dengan yang lainnya," jawabku sepelan mungkin. Jangan sampai orang yang berpapasan denganku saat ini mengira diriku gila. "Namaku Waller." Dia diam sejenak sebelum memperkenalkan dirinya. Baru kali ini ada hantu yang menyebut namanya sebelum aku bertanya. "Leanne. Itu namaku." Aku juga memberitahu namaku. Dia tampak bahagia karena ada manusia yang tidak takut padanya. Waller meninggal sekitar lima puluh tahun lalu akibat penyakit yang dideritanya setelah dia pulang dari tugasnya. Rumahnya berada di sini dulu, jauh sebelum dijadikan perumahan. "Mengapa kamu tidak pergi, Waller? Bukankah sudah saatnya kamu meninggalkan dunia ini?" Aku menatap matanya. Ada sorot kesedihan yang tidak dapat dikatakan. Aku tahu pasti ada sesuatu yang terjadi. "Aku ingin menunggu seseorang," jawabnya lirih. "Siapa? Keluargamu?" Aku penasaran mengenai kisah hidupnya yang menurutku ada sebuah rahasia. Kami berhenti karena ada gerombolan pasukan berkuda yang entah dari mana datangnya. Mereka menuju hutan yang ada jaraknya beberapa meter dari rumah. "Mereka itu pasukan dari penunggu hutan," jawabnya santai kemudian mengikutiku lagi. "Aku menunggu wanita itu terlahir kembali." Sekarang aku paham yang dikatakannya. Dia pasti merindukan sesosok yang ditunggunya selama ini. "Apa kekasihmu sudah meninggal?" Waller menggeleng dengan lesu dengan menyunggingkan senyuman kesedihan. Apa aku salah mengatakannya? "Wanita itu masih hidup dan ia tinggal di sini." Aku mendelikkan mata, ada rasa tidak percaya. Selama ini, dia tidak mau pergi hanya karena menunggu kekasihnya. "Tentu saja ia sekarang sudah menjadi wanita tua dengan kulit yang keriput, tetapi itu tidak bisa menghilangkan rasa cintaku padanya." Bahagia sekali jika ada manusia seperti Waller yang menunggu kekasih tercintanya. Aku jadi iri hati. "Memangnya wanita itu tinggal di mana? Apa ia sudah menikah?" "Ia berada di rumah panti jompo dan seumur hidupnya tidak pernah menikah." Aku turut sedih mendengarnya dan ingin melanjutkan pembicaraan kami. Namun, Ayah sudah melambaikan tangan dari kejauhan. "Leanne ..." Waller memanggilku sebelum aku menghampiri Ayah yang sudah menunggu di halaman depan. "Apa kamu manusia layaknya manusia atau kamu bukan manusia?" Aku mengangkat bahu dan tersenyum padanya. Biar dia mencari tahu jawabannya sendiri. ***** Kami menyembunyikan kemampuan ini dari masyarakat. Kami takut jika mereka mengetahui kenyataan tentang keluarga Amari yang sesungguhnya. Karena selain itu, kami memiliki satu rahasia yang tak bisa diungkap oleh siapapun. "Jadi masih maukah kalian berteman denganku?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.5K
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.2K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

T E A R S

read
312.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook