Hubungan kami ini menganut paham simbiosis mutualisme alias saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Alasannya gampang, kalau gue sih butuh pacar atau lebih tepatnya status buat menjauhkan telinga dari pertanyaan horor nan jahara dari emak gue dan dia juga punya alasannya sendiri. Kalau dia sendiri gue baru tahu alasannya.
Kami sedang hari mingguan di Jembatan Gentala Arasy di kota gue di siang bolong nan terik, sungguh berfaedah sekali.
"Semangat," katanya sembari mengangkat kepalan tangan kanannya.
Panas cyin apanya yang mau disemangatin jalan di atas jembatan di siang hari bolong. Dan lagi kami ini sudah kayak orang yang kulitnya mati rasa sekarang jam sebelas siang, sebentar lagi tengah hari dan dengan bodohnya kami sekarang sedang berjalan di atas jembatan dan baru setengah jalan. Baru setengah jalan aja gue sudah ngap-ngapan.
Gue menatapnya horor, ngapain coba dia ngajakin gue ke sini?
"Panas, keringatan nih." Gue mencebikkan bibir, jalan dengan gontai. Untung gue pakai baju panjang plus jilbab paling gak badan gue ketutupan kain, kalau gak alamat mutung alias gosong dah kulit gue yang eksotis ini, huueek.
"Hitung-hitung olah raga." Dia menyejajarkan langkahnya dengan gue yang sudah menatapnya cengo. Olahraga pale lo! Gue ini cuma kurang garam aja buat dijemur dijadiin ikan eh manusia asin, untung gue manis, gue cuma ngomong fakta loh ya, jangan sirik haha.
"Hoy bro. Tumben minggu siang menampak diri, biasanya semedi di rumah," sapa seorang pria yang langsung menepuk pundak bang Sul mesra, eh.
"Ni lagi jalan sama cewek gue," bang Sul menoleh ke arah gue, dengan senyum seolah menunjukkan rasa bangga, kemudian diikuti oleh temannya itu. Mau gak mau gue mengulas senyum ramah.
Temannya bang Sul yang belum gue tahu namanya siapa itu melihat ke arah gue dan bang Sul bergantian. "Ini cewek lo?" bang Sul mengangguk mantap.
"Syukur deh, kirain lo beneran belok," katanya.
Seketika gue menyipitkan mata menatap ke arah manusia lempeng di samping gue dengan tatapan curiga. Jangan bilang gue cuma dijadikan pengalihan isu, kalau bener siap-siap gue tendang itu bagian *teeeet* sensor takut dosa nyebutnya.
Bang Sul menghembuskan nafas beratnya. "Gue cuma lama gak punya pacar bukan mau berubah haluan," belanya. Temannya hanya terkekeh geli mendengar ucapan bang Sul.
"Oh iya kenalin Gue Irwan." Dia mengulurkan tangannya dan langsung gue sambut sembari menyebut nama gue.
"Manis, kayak namanya," pujinya membuat gue malu-malu guk guk setelah kami melepas jabatan tangan. Bang Sul sedikit mendengus tidak terima. Eh ini gak terima gue dipuji manis atau gimana?
"Dek lo dipelet apa sama dia sampai mau jadi pacarnya," sambungnya gue cuma menahan senyum, jaga image supaya gak kelihatan barbar padahal gue mau ketawa ngakak ngelihat muka betenya bang Sul.
Bang Sul diam saja mendengar ocehan sepihak teman yang gue tahu satu kantor dengannya.
"Lo masih nyimpan kolor janda ya buat melet." Gue seketika langsung menoleh ke arah bang Sul yang melotot tidak suka dengan ucapan temannya itu. yang dipelototin malah tambah ngakak ketawa.
"Bangke mulut Lo," sergah bang Sul, yang dikatain malah cengengesan.
Tak berapa lama mereka berbincang ala lelaki, tahu kan maksud gue ala lelaki? Kalau kalian punya temen cowok pasti ngerti. Setelahnya bang Irwan berpamitan untuk menyusul atau lebih tepatnya mencari anak dan isterinya.
Sampai saat kami berdua gue masih mandangin dia dengan tatapan menyelidik.
"Apa?" tanyanya yang gue yakin sudah mulai risih gue pelototin dari tadi.
"Abang beneran normalkan?"
Dia menghela nafas, "Mau dibuktiin?" tanyanya sembari menaik turunkan alisnya. Gue sih faham maksud candaannya yang mencurut eh menjurus ke arah anu. Anu satu kata berjuta makna.
Gue menggeleng, "Banyak kasus tuh, yang belok nikahin lawan jenisnya terus dihamilin cuma buat pengalihan isu," ucap gue mengingat beberapa kali gue membaca berita tentang hal itu di mana si wanita cuma dijadikan bahan pembuktian. Dan sampai saat hamilpun suaminya gak perhatian dan malah masih tetap anteng sama pacarnya yang sama-sama batangan, ya salam dunia sudah tua. Dan gue gak mau punya nasib kayak begitu.
Dia menghela nafas lagi, bengek apa ya lo bang? Ngela nafas mulu.
"Terus Abang kudu piye?" katanya meniru kebiasaan gue ngomong piye?
Gue masih menatapnya intens dan dia mulai mencebik kesal kemudian berjalan berlalu meninggalkan gue.
"Eh jangan marah." Gue mencekal tangan kirinya.
Bang Sul menoleh ke arah gue dengan muka kesal yang kelihatan lucu di mata gue.
"Mie ayam bakso," katanya. Dan mata gue langsung bersinar mendengar makanan kesukaan gue disebut.
Eh tunggu, berarti kami harus balik lagi ke tempat parkir motor lagi dong? Ja elah baru juga sampai di seberang.
***
Gue gak tahu harus apa, haruskan gue mengumpat atau berterimakasih? Gue tahu kok gue demen banget mie ayam bakso tapi gak begini jugakan ya? Dia mesenin gue mie ayam bakso telor + bakso urat dan dia cuma pesan mie ayam doang. bangsul emang. Eh itu gue ngatain dia loh ya bukan manggil dia.
"Tunggu apa lagi? Ayo dimakan nanti keburu dingin." Gue memincingkan bibir sembari menatapnya yang sedang khusuk mencampurkan saos, kecap dan sejumput cabai kadang gue gemes gitu pengen nuangin semangkok cabai halus itu ke dalam mangkok makanannya. Oiya gue heran kenapa cowok-cowok yang gue kenal gak pandai makan pedes, tapi herannya mulutnya bisa ngomong pedes.
"Abang beneran nyimpan kolor janda ya?" tanya gue santai sembari meracik mie ayam di mangkok gue agar lebih sedap dan membuat hampir semua orang di dalam kedai mie ayam itu menoleh ke arah kami karena gue emang ngomong suka gak nyante.
Dia tersedak. "Minum Bang, minum," kata gue mengulurkan gelas kosong kemudian menuangkan air ke dalamnya, dengan cepat dia meneguk air itu hingga tandas. Matanya memerah dan gak tahu kenapa otak gue menyarankan agar gue ngetawain ekspresi jeleknya saat ini.
"Abang kenapa sih? Pake kesedak segala, biasa aja dong." Bang Sul memijit pangkal hidungnya yang gue yakin sedang terasa perih saat ini.
"Kamu itu kalau mau ngomong sesuatu yang aneh itu lihat situasi dong." Bang Sul mengisi kembali gelas yang tadi sudah kosong dan meminumnya.
"Kan Aye penasaran Bang." Iya gue jadi mikir jejangan dia melet gue. Jiaah sok kecakepan gue, ada yang mau aja seharusnya gue bersyukur.
"Itu tadi cuma becanda doang," katanya dengan mode serius. Gue ngangguk-ngangguk bak boneka di atas dasboard mobil. Iya sih candaan cowok sama cowok terkadang sungguh terlalu.