Hari ini di kampus tidak seperti biasa hampir semua mahasiswa yang ditemui Sean tersenyum ramah padanya. Sean tahu pasti ini kareka game yang PC itu buat, namun Sean tak menggubris mereka ia tetap santai seperti biasanya walaupun sebenarnya agak risih karena tiba-tiba saja semua orang baik dan melihatnya bagaikan seorang ilmuwan terkenal yang memberikan sebuah obat untuk penyakit mematikan.
“Sean, lo dicari sama Bu Marni barusan di ruang dosen,” ujar seorang pemuda yang bernama Rinto.
“Ok thanks,” ucap Sean kemudian berjalan menuju ruang dosen yang berada tidak jauh darinya. Sean tahu bahwa panggilan Bu Marni adalah panggilan yang akan membuatnya malu di ruang dosen.
Wajah Sean sedikit memucat ketika sudah sampai di depan pintu ruang dosen tersebut, beberapa kali ia harus menghirup udara seakan di ruang dosen tak pernah ada udara.
Setelah beberapa saat memberanikan diri akhirnya Sean membuka knop pintu dengan perlahan kemudian memasuki ruangan yang sedang sepi itu hanya ada beberapa dosen yang berada di dalamnya termasuk Bu Marni dengan ketiga temannya.
‘Azz bener gue kan mereka dipanggil juga’ batin Sean saat melihat Alefukka, Gilang dan Darren berada di depan meja Bu Marni.
“Nah ini ketuanya datang juga! Sini duduk dulu,” ucap Bu Marni ramah. Sikap Bu Marni membuat jantung Sean semakin bergemuruh.
Pasalnya keramahan Bu Marni memiliki dua arti yang membuat para mahasiswa yang menjadi anak didiknya was-was.
Mungkin hanya Sean satu-satunya yang tidak terkecoh dengan sikap keramahan Bu Marni. Ia sudah terbiasa menghadapi Bu Esma di SMA jadi ia tidak mungkin lupa bahwa sifat Bu Marni tak jauh berbeda dengan Bu Esma.
“Ibu manggil saya? Ada apa ya, Bu?” tanya Sean to the point seraya duduk di hadapan Bu Marni dengan ketiga temannya.
“Ibu sudah melihat game buatan kalian berempat, sebenarnya ini game klasik hanya saja ibu melihat ada beberapa yang unik dan konsepnya kalian juga akan memakai kacamata virtual reality yaa jadi main tidak hanya duduk, tetapi melibatkan semua anggota tubuh. Sepertinya ini akan seru, untuk percobaan apa kalian bisa memainkannya? Satu tim berempat kan? Nanti ibu panggilkan lagi 4 orang untuk menjadi tim lawan,” ucap Bu Marni yang membuat Sean tergagap.
Sedangkan Alefukka memberi kode pada Sean untuk tidak panik, lagi pula itu seperti game biasa mereka hanya perlu mempelajari saja. Untuk mereka berempat game adalah seperti kehidupan kedua, jadi tidak akan sulit untuk beradaptasi dengan game baru.
“Kami bersedia, Bu. Sekiranya kapan bisa kami uji coba dengan melawan tim lain?” tanya Darren yang tampak bersemangat, ia tidak menyangka jika reaksi Bu Marni sekagum itu pada game buatan Sean. Rasa kesalnya kemarin-kemarin bahkan tak terlihat hari ini.
Sean memutar matanya malas melihat tingkah Darren yang tak percayaan pada dirinya.
“Mungkin minggu depan, ibu akan cocokkan dulu jadwal sama kelas lain. Sekarang kalian boleh keluar, untuk Darren dan Gilang awas yaa kalau bikin masalah lagi,” ujar Bu Marni memperingati, namun wajah itu tetap tersenyum pada Sean dan Alefukka. Walaupun game yang Sean ciptakan belum bisa menembus pasaran nasional maupun internasional, namun game itu cukup terkenal seantero kampus dan mungkin saja bertahap akan meluas.
Darren dan Gilang hanya mengangguk kemudian mereka pun keluar dari ruangan tersebut.
Sean menghembuskan napasnya lega saat mereka keluar dari ruangan itu.
“Bro? Congrats !! Kita berhasil guyss,” ucap Darren dengan wajah gembira, sedangkan Gilang hanya menatap Darren dengan tatapan datar.
“Yang paling banyak ngoceh, lo. Sekarang yang paling banyak teriak lo juga, kayaknya gue liat bakat lo cuma teriak,” ucap Gilang ketus kemudian meninggalkan mereka bertiga, pikirannya mumet dengan kegiatan kampus dan kelompok gak waras itu.
Sean dan Alefukka hanya saling pandang kemudian pergi ke berlainan arah, di kampus mereka punya kegiatan masing-masing. Hanya saja jika sedang dalam waktu senggang mereka akan berkumpul atau mungkin jika sedang berkelompok seperti ini.
Darren yang melihat tingkah ketiga sahabatnya itu hanya bisa mengoceh beberapa saat sebelum akhirnya ia mencari kegiatannya sendiri.
Sean duduk di perpustakaan dengan wajah semraut, jantungnya berdebar kencang ketika mengingat bahwa ia akan mempresentasikan kepada banyak mahasiswa lain dan beberapa dosen yang akan menyaksikan.
Namun, untuk mengakui bahwa bukan dirinya yang buat pun Sean tak sanggup.
“Gue harus gimana ini?” tanya Sean pada dirinya sendiri merasa bersalah sudah membohongi banyak orang, namun yang tahu perihal game ini hanyalah Alefukka. Pemuda itu adalah sahabat Sean paling dekat tidak mungkin membongkar rahasianya.
Lagi-lagi Sean menghirup napas dalam-dalam mencoba tenang, sekali-sekali berbuat curang sepertinya tidak akan membuatnya dicurigai orang karena biasanya juga ia mendapat IPK yang bagus tiap semesternya.
Dilain tempat Alefukka melihat halaman belakang kampus tersebut dengan sedikit curiga, ia masih tidak yakin bahwa Pak Iwan tak mengetahui soal komputer aneh itu.
“Selagi komputer itu baik sepertinya gue gak perlu tanyain aneh-aneh sama Pak Iwan. Lagi pula komputer itu hanya bermaksud membantu tim kita gak akan mungkin juga ia bermaksud jelek, walaupun gue gak tau motif dia ngebantu tim kita apa,” ucap Alefukka dengan wajah bertanya-tanya menatap halaman gedung belakang kampus.
Namun, saat ia sedang melamun ada sebuah tangan yang memegang pundaknya.
“Woi, itu Pak Ramat udah dateng lu ngapain berdiri di depan doang?” tanya seorang teman yang sekelas dengan Alefukka.
“Ehh iya gue baru sadar. Thanks, Rei,” ucap Alefukka kemudian ngeloyor ke kelas meninggalkan Rei dengan wajah bingung.
Genk extramers sedang naik daun karena game yang mereka buat, namun tampaknya Alefukka salah satu anggota genk extramers tidak begitu bahagia membuat Rei bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Di dalam kelas, Alefukka juga tampak tidak konsen. Beberapa kali Pak Ramat sang dosen bertanya, namun tak ada jawaban dari Alefukka membuat beberapa mahasiswa yang sekelas dengannya bingung padahal Alefukka biasanya lincah dan suka berguyon disaat mata kuliah Pak Ramat yang sama humorisnya dengan dirinya.
Pemuda itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan karena merasa tak bisa konsen dengan mata kuliah tersebut. Ia ingin menenangkan diri dulu dan memikirkan motif komputer itu membantu mereka untuk apa?
“Lo kenapa, Bro? Ada masalah sama Extramers?” tanya Rei yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Alefukka ketika kelas Pak Ramat sudah selesai.
Alefukka lagi-lagi menggeleng.
“Gak ada hubungannya sama mereka, cuma lagi ada masalah di rumah,” ucap Alefukka berusaha berbasa-basi dari pada Rei yang kepo banyak bertanya.