Mendengar ucapan Darren yang telak membuat Sean gugup, ia tidak tahu harus menjawab apa karena yang dituduhkan Darren adalah kenyataan bahwa bukan dia yang membuat game tersebut.
“Sorry, memang game itu bukan gue yang buat guys. Maaf kalau gue selama ini udah ngaku-ngaku karena gue gak tahu lagi konsep apa yang harus gue buat sementara gue juga berambisi untuk menjadi nomor 1. Kalian sudah tahu kan alasan gue selalu berambisi nomor 1 karena ibu gue. Gue mau buktiin kalau gue beneran bisa membuat bangga dari hasil game gue ini,” kata Sean dengan wajah memerah menahan malu.
Darren hanya bisa menghela napasnya panjang setelah tahu bahwa benar dugaannya kalau game tersebut bukanlah Sean yang buat melainkan Andrew.
“Jadi, kejadian coding otomatis itu si Andrew yang menggerakkan pakai PC yang lo pungut?” tanya Gilang yang ingat bahwa PC tersebut bisa coding begitu saja membuat mereka tak habis pikir dengan PC yang terlihat keren, namun menyesatkan.
Sean dan Alefukka mengangguk membenarkan, walaupun Sean tidak tahu kejadian coding otomatis itu. Namun, Sean percaya karena dalam sekejap game tersebut jadi.
Semakin dipikir memang rasanya semakin tak bisa diterima oleh akal sehat, komputer melakukan coding otomatis dan membuat game secara otomatis bukanlah hal mudah yang bisa diterima nalar. Bisa dibilang seperti PC horor, namun tak berhantu.
“Jadi, kita terperangkap gara-gara lo yang ambil PC itu dan kita yang menerima akibatnya?” tanya Gilang dengan wajah memerah mencoba menahan emosi yang sudah bergemuruh di dalam hatinya. Darren menepuk punggung Gilang mencoba meredam emosi Gilang yang mulai tersulut.
“Guys, kita harus sadar bahwa pertengkaran gak akan buat lo semua kembali ke dunia manusia. Kita harus cari cara buat lepasin diri dari dunia game ini,” ucap Darren dengan wajah serius. Gilang mengangkat satu alisnya tampak heran dengan ucapan Darren yang sok bijak di telinganya.
Alefukka mengangguk setuju dengan ucapan Darren dan pemuda itu bersyukur bahwa Darren akhirnya terbuka juga otaknya yang selama ini jarang sekali digunakan.
“Ya, gak bisa gitu dong! Kan gue udah bilang sama Sean ngapain PC orang dipungut lagian juga dia kan anak orang kaya ngapain sih mungut gitu?” tanya Gilang yang kesal dengan kelakuan Sean.
“Gue udah bilang berapa kali gue gak tahu kalau PC itu mengakibatkan kita kayak gini, lagian hal kayak gini juga gak masuk akal!” bentak Sean dengan kesal kemudian meninggalkan mereka bertiga dengan rasa amarahnya.
Entah mengapa akhir-akhir ini ia seakan tak cocok dengan Gilang maupun Darren, mereka berdua terlalu egois dan membuat Sean murka padahal dirinya jarang sekali marah pada sahabat-sahabatnya.
Alefukka melihat Gilang dan Darren dengan wajah kusut kemudian berdiri dari posisi duduknya dan menekan tombol untuk membuka rolling doornya. Mereka pun akhirnya menaiki truk yang dirancang anti zombie tersebut kemudian keluar menumbruk zombie-zombie yang sudah sangat banyak itu.
“Kita mau ke mana?” tanya Alefukka ketika Sean sedang menyetir, pertanyaan yang sama juga diajukan oleh Darren dan Gilang.
Sean hanya diam masih enggan menjawab pertanyaan mereka itu, ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk seperti ponsel yang hanya bisa menunjukkan arah pintu keluar dari game tersebut.
“Ini, beribu-ribu kilometer dari sini ada sebuah pintu yang sesuai petunjukknya adalah jalan keluar dari game ini. Kalau kita bisa sampai dan mengalahkan semua zombie di tempat ini berarti kita menang dan otomatis kita akan dikembalikan ke dunia manusia,” jelas Sean sambil masih fokus menyetir truk tersebut.
Rasanya mustahil untuk mencapai pintu tersebut karena Zombie yang berada di sepanjang pulau itu sangatlah banyak bahkan mereka sekarang sedang sibuk menubruk semua zombie yang menghalangi jalan mereka.
Ada rasa gugup juga didalam hati Sean, namun ia tak akan menyerah karena ini adalah akibat ulahnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dan membuat ketiga sahabatnya itu berada di dalam permainan setan ini.
“Gue gak percaya bisa melalui ini semua, karena mengingat sepertinya bensin truk ini sudah mau habis,” ucap Gilang memperingati, benar saja ketika Sean melihat bensinnya yang sudah hampir habis ia gugup dan tidak tahu di mana tempat bersembunyi untuk mereka.
“Ini gimana, kita harus bersembunyi di mana?” tanya Sean yang mulai gelisah karena ia tak tahu tempat persembunyian di pulau ini.
Gilang memperhatikan sebuah titik hijau yang menandakan tempat umum seperti mall atau mini market terdekat dari posisi mereka saat ini.
“Belok ke arah utara, di sana ada sebuah mall. Kita akan coba ke sana aja siapa tahu belum terkontaminasi sama zombie, walaupun gue gak yakin,” ucap Gilang yang memberikan sebuah harapan palsu.
Sean melirik pemuda itu dengan kesal sebelum ia membanting stir ke arah utara, mereka mencari mall yang dimaksud ternyata benar saja ada sebuah gedung yang diduga adalah mall yang sudah tak terpakai lagi.
Sean menghentikan truk tersebut kemudian mereka berempat keluar dari mobil dengan berlarian yang sekencang-kencangnya karena zombie mengejar mereka dari arah belakang.
“Woi, sebelah sini!” teriak Darren yang menemukan pintu masuknya, mereka kemudian masuk dan menahan pintu tersebut. Sementara Darren dan Gilang menahan pintu, Alefukka dan Sean mencari tombol otomatis untuk menutup pintu dengan rolling door otomatis. Sean bersyukur karena ditahun 2035 semua pintu mini market atau pusat perbelanjaan sudah memakai rolling door otomatis dan mereka tak perlu susah payah menutupnya lagi.
“M-mampus!” ucap Sean saat melihat dari kejauhan arah dalam mall ada beberapa zombie yang sudah masuk dan rolling door sudah tertutup rapat.
Mereka berempat berlarian ke arah lantai atas, sebelum ke lantai atas Sean mengambil tongkat baseball yang dijual di mall tersebut dan membagikannya pada ketiga sahabatnya, saat ini tak ada yang lebih penting dari keselamatan mereka.
Bruk!
Sean menendang zombi yang hampir saja menerkam Darren dari belakang. Ia juga menghajarnya dengan tongkat baseball dan memecahkan zombie tersebut. Sean menghembuskan napasnya kemudian berlari menarik Darren dan Alefukka agar berlari lebih cepat lagi.
“Kayaknya itu zombie-zombie Cuma segitu yang masuk, tapi kita harus tetap waspada,” kata Alefukka saat mereka sudah berada di lantai atas.
Sean, Gilang dan Darren mengangguk. Mereka berharap agar di mall itu masih aman dan bisa untuk tempat mereka bersembunyi dari zombie-zombie tersebut.
Mereka berempat terduduk di dekat eskalator dan merenungi kelelahannya hari ini, Sean yang tak suka coding tiba-tiba saja jadi merindukan coding karena sesulitnya coding, hidup seperti ini jauh lebih sulit dan Sean tak sanggup menjalaninya dan berlama-lama di pulau ini.