Gilang berdiri dari posisi jongkoknya kemudian menghirup napas dalam-dalam dan ia mengulurkan tangannya ia melihat yang lain agar mereka mengulurkan tangannya juga. Mereka memang sudah diambang batas kefrustasian, namun itu semua tak membuat mereka menyerah karena mereka tak ingin menyerahkan hidupnya untuk dunia game itu.
“Kami tim Extramers dan Gladiator menyatakan tidak akan menyerah dengan pertempuran ini, semua misi yang diberikan tak akan bisa memecahkan kami!” ucap Gilang dengan penuh semangat, Sean tertawa kecil melihat semangat Gilang yang membuatnya merasa geli.
“Astaga gue gak salah denger kan ya? Palingan juga nanti lo yang bakal nyerah duluan,” ucap Sean sambil menggeleng pelan, namun ia tetap menaruh tangannya di atas tangan Gilang begitu pun yang lainnya.
Mereka pun menaruh tangannya dan berjanji akan menghadapi itu sama-sama sampai misi selesai, dua tim yang tadinya bermusuhan sekarang menjadi akur hanya karena sebuah game sepele dan membosankan yang diciptakan oleh Andrew. Entah mereka harus berterima kasih atau malah mengutuk, karena bagaimana pun juga game tersebut memiliki sisi baik dan sisi buruk yang tak bisa dibanggakan sedikit pun.
“Apa setelah ini bakal lebih parah ya? Gue takut kalau kita gak bisa lewatin ini semua dan selamanya menjadi penghuni di dunia game,” ucap Stefan yang masih berpikiran buruk tentang masa depannya.
“Ya kita jalanin sebisa kita aja, lagian di sini lo juga gak sendiri tapi ada kita-kita yang siap ngebantu lo. Kita di sini sebagai sahabat yang akan saling membantu, bagaimana pun juga pasti bisa keluar dari sini,” kata Fendi menenangkan Stefan yang masih khawatir dengan semua itu.
Sean tersenyum tipis, tipis sekali hingga tak bisa dilihat oleh siapa pun. Ia merasa bersalah karenanya mereka harus masuk ke dunia game yang bisa terbilang sangat melelahkan dan membahayakan mereka.
“Kalau kalian sendiri ngapain ke dunia ini? Apa kalian gak tahu konsekuensinya?” tanya Sean yang merasa aneh karena Fendi dan kedua temannya nyasar di dunia game, kalau mereka kan memang tak sengaja karena mereka yang mencobanya.
Fendi melihat ke kedua temannya itu kemudian tersenyum kecut, ia merasa tak enak untuk mengatakan ini, namun bagaimana lagi? Sudah kepalang basah memang lebih baik mereka mengaku mengapa mereka bisa sampai di dunia game ini.
“Awalnya gue nonton game ciptaan lo di auditorium, sampai saat pertunjukan itu selesai akhirnya gue ikutin tim lo ke ruangan terakhir kalian bermain game. Awalnya gue hanya ingin melihat kalian bermain walaupun dari kejauhan, tapi tiba-tiba kalian menghilang begitu saja dan gue langsung hubungi Fendi dan juga Stefan untuk datang ke gedung itu melihat ruangan kosong tersebut. Fendi juga sebenarnya gak percaya, tapi akhirnya kita mencoba kacamata virtual reality itu dan terjebaklah kita di sini,” kata Rezki yang merasa menyesal dengan perbuatannya itu.
“Dan kita ketemu Andrew terus kita tanya tentang kalian dan akhirnya kita menjadikan Andrew sebagai pelengkap tim kita untuk melawan lo jadi pas 4 orang 4 orang,” kata Fendi yang melanjutkan cerita Rezki.
Sean dan ketiga temannya hanya menggeleng pelan, entah mereka harus bersyukur atau menertawakan kesialan tim gladiator yang ikut terjebak ke dalam dunia game itu.
“Astaga lain kali gue gak akan deh ikut-ikutin orang lagi apalagi sampai kepo sama urusan orang,” kata Rezki menyesali jiwa penasarannya yang selalu ingin tahu lebih tentang sesuatu yang sedang diincarnya.
“Hitung-hitung liburan kan? Dari pada di kampus terus liatin sks yang gak selesai-selesai belum lagi tugas yang numpuk bikin gak bisa ngedate sama pacar,” kata Sean sambil melihat ke arah Fendi yang sepertinya lupa bahwa ia mempunyai seorang pacar dari kampus sebelah.
Terlihat Fendi yang menepuk dahinya pelan seakan memberikan kode bahwa ia melupakan kekasihnya yang sepertinya sudah pergi selingkuh karena ia hilang berhari bahkan berminggu-minggu.
“Astaga iya pacar gue! Kayaknya dia bakal marah deh karena gak gue hubungin,” ucap Fendi lesu, Stefan tertawa melihat kegalauan sang sahabat yang bisa terbilang lucu karena seumur hidupnya ia bersumpah tak pernah melihat Fendi galau karena seorang perempuan.
“Semua orang udah tahu kali kalau lo itu hilang dan pasti rumor juga udah tersebar kayak virus, lo kayak gak tahu aja kampus kita itu soal gosip nomor 1 bung jadi jangan khawatir palingan pacar lo nyari gebetan baru,” ucap Rezki kemudian tertawa terbahak-bahak.
Setelah sekian lama akhirnya mereka bisa tertawa lepas seperti ini, entah Sean harus bersyukur atau malah mengutuk. Sekali lagi ia tidak bisa melihat dunia game ini hanya dengan pandangan buruk. Berkat dunia game itu pertemanan yang awalnya renggang hanya karena dunia game kembali menjadi sesuatu yang penuh makna.
“Karena game kita jadi bertengkar, tapi karena game juga akhirnya kita menjadi maklum atas kelakuan satu sama lain. Kalau kayak gini bagusnya ngutuk atau malah bersyukur?” tanya Sean sambil melihat Fendi.
Sean dan Fendi seolah berbicara lewat mata mereka, dengan hanya tatapan saja Fendi tahu bahwa Sean sedang menyindir tingkah kekanakannya yang membuat batas diantara mereka berdua.
“Lo bisa pilih opsi pertama karena kita lebih banyak sengsaranya dari pada hal yang harus disyukuri,” celetuk Stefan membuat mereka semua tertawa.
Hari itu tidak ada pertengkaran diantara mereka, mereka seperti hendak bernostalgia atas apa maksud tujuan dari game ini membawa mereka ke dalamnya. Mereka sadar bahwa kesibukan dunia nyata terkadang membuat orang menjadi masa bodo dengan hal yang seharusnya mereka bicarakan. Mereka saling menunggu, namun tak pernah mendapatkan titik temu yang pas untuk membicarakan semua unek-unek mereka, lalu berakhir menjadi salah paham begitu seterusnya sampai sapi bertelur.
Hari itu misi selesai dengan ketidakjelasan mereka, Andrew tersenyum melihat monitor tersebut dan melihat ke arah jendela. Di luar sana zombie telah berkeliaran sesuai waktunya, malam ini zombie keluar seperti biasanya dan membuat Andrew harus berdiam diri di dalam rumah mewah yang terlindungi dengan pagar listrik.
“Kata orang memiliki teman adalah suatu kebanggaan tersendiri karena itu artinya masih ada yang menerima dirimu di dunia ini, namun rasanya itu terlalu naif. Aku tidak membutuhkan teman di dunia ini, dunia game ini adalah duniaku yang sebenarnya di mana orang tak bisa melihatku,” ucap Andrew yang sedang membohongi dirinya sendiri.
Jauh dilubuk hati Andrew ia ingin sekali memiliki seorang sahabat yang bisa menerimanya dalam keadaan apapun, namun selama hidupnya ia tidak menemukan seorang pun yang ingin bersahabat dengannya.
Keadaan finansial membuat dirinya diinjak oleh yang berkecukupan secara finansial, otaknya yang cerdas sering kali diperas untuk menjadi relawan tugas tanpa sepeser pun uang yang diberikan padanya.
Rasa sakit itu sangat membekas diingatan Andrew, ia tak mampu menghapusnya begitu saja. Sejak saat itu Andrew terpikirkan untuk membuat sebuah dunia di mana hanya ia yang berkuasa, di mana uang tak berlaku dan yang kaya pun bisa ia injak olehnya.
“Semua akan tergantikan, gue akan berkuasa atas orang-orang kaya yang sombong. Pasti kalian sedang panik karena anak-anak kalian tak bisa ditemukan,” ucap Andrew dengan senyuman licik di sudut bibirnya. Kepuasan batinnya terbalas sudah dengan 365 misi yang akan 7 pemuda itu jalankan.