Suasana kampus akhir-akhir ini sangat tidak kondusif, ada saja wartawan yang datang ke kampus Sean. Beberapa hari sekali juga orang tua mahasiswa yang hilang mendatangi kampus untuk menagih janji manis Bu Marni yang akan mencari mahasiswa tersebut.
“Kami ke sini sudah 10 kali lebih loh, Bu. Kami para orang tua bukanlah pengangguran yang kerjanya menagih janji dosen terus. Kami akan kasih keringanan pada pihak kampus untuk menemukan anak kami 2 hari lagi, tapi jika dalam 2 hari tidak ada kabar baik kami akan membuat kampus ini tersegel karena tidak becus mengurus mahasiswanya!” ancam Bu Anjani yang paling kaya diantara ketujuh orang tua yang hadir hari ini.
Bu Marni mengangguk paham, namun ia juga merasa serba salah jika ia membongkar keberadaan keenam mahasiswa itu pastilah Anjani akan sangat marah padanya karena tak becus menemukan anaknya. Namun, kalau ia tidak membongkar keberadaan mereka sudah pasti Anjani akan menguburnya hidup-hidup dan membiarkannya mendekam di penjara.
Bu Marni cepat-cepat menggelengkan kepalanya pelan, ia tidak akan tersudutkan meski ada 7 macan yang siap menerkamnya saat ini juga.
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin, dua hari lagi dipastikan kalian akan mendapatkan anak kalian. Namun, mungkin tidak semuanya saya temukan karena menemukan orang hilang bukanlah seperti menemukan feses. Jadi, mohon untuk dipahami bahwa kami juga sedang bekerja keras untuk melacak keberadaan anak-anak itu bukan hanya sekadar berbicara. Kalau memang diantara ibu-ibu tidak sabar bisa langsung bertindak ke kantor polisi atau ‘orang pintar’ agar mendapatkan jawaban lengkapnya,” kata Bu Marni dengan ketus sambil menatap Anjani tajam.
Bu Marni adalah orang batak yang tak akan mundur walaupun didesak siapa pun, pantang menyerah walaupun ada banyak orang yang menghadangnya. Selama ia dijalan yang benar, memberontak bukanlah sesuatu hal yang perlu ditakutkan.
Anjani menarik napasnya dalam-dalam sambil memelototi Bu Marni kemudian keluar dari ruangan dosen tersebut sementara ibu-ibu lainnya hanya bisa mengikutinya saja seperti dayang-dayang.
“Orang kaya sekarang memang benar-benar tak mempunyai adab sama sekali pada guru atau dosen, untunglah anak-anaknya tidak seperti itu,” kata Bu Marni yang menggeleng pelan, ia keheranan mengapa akhir-akhir ini ia seperti guru bimbingan konseling yang banyak didatangi oleh orang tua.
Sementara itu Sean yang berada di dunia game tampak melamun memikirkan bagaimana kehidupannya ke depan. Klara sudah menjadi salah satu bagian dari dunia game tersebut, sedangkan teman-temannya sudah terbebas hanya ia dan Andrew yang menjadi manusia di dunia game ini.
“Gue pengen bebas, gue pengen mulai dari nol lagi tentang apa yang seharusnya gue lakukan. Gue ingin melupakan Klara, ada banyak hal yang gue pengen hapus dari memori otak gue, tapi malah terkurung di sini,” kata Sean dengan helaan napas kasar sambil mengutak-atik komputer yang berada di rumah pohon tersebut.
Matanya berhenti disatu titik di layar yang berada di depannya, wajahnya membaca dengan serius setiap kata yang tertulis di layar tersebut.
“Mungkin jalanku tidak sebaik teman-temanku yang lain, aku harus merasakan mengandung di usiaku yang masih belia dan melahirkan tanpa sesosok suami. Ya, itu benar-benar sangat menyakitkan dan memalukan sampai akhirnya aku memutuskan untuk bunuh diri karena tidak sanggup melihat anak yang mencerminkan masa-masa kelamku. Akan tetapi, sebagaimana sosok ibu lainnya aku tidak bisa membunuh anakku sendiri. Dan disaat itulah Andrew muncul entah dari mana dan dia mengajakku untuk tinggal di dunia di mana tidak seorang pun yang dapat melihat aibku. Aku sudah mati, tapi dibangkitkan dengan teknologi dan aku menjadi seperti robot bagi Andrew. Kadang aku berpikir...”
Sean langsung mematikan layar tersebut, rasanya benar-benar menyakitkan membaca itu semua.
“Ternyata benar kata Alefukka kalau Klara sudah meninggal dan Andrew membangkitkannya lagi dengan teknologi supaya Klara menjadi b***k di dunia game ini? Astaga!” gumam Sean sambil menengadahkan kepalanya ke langit-langit rumah pohon.
Sean memutuskan untuk keluar dari rumah pohon tersebut, sepertinya ia lebih baik menghadapi zombie atau pun kanibal dari pada menghadapi kenyataan yang perlahan juga membunuhnya dengan fakta-fakta yang tidak pernah terpikirkan.
Pemuda itu melihat sekeliling dengan matanya yang terbilang sipit kemudian berjalan ke arah di mana rumah besar yang mengurung Klara berada. Sean harus memilih alternatif berjalan kaki karena mobil satu-satunya yang berada di dekat sana sudah dibawa kabur oleh Klara.
“Huft, mengorbankan diri ternyata tidak semenyenangkan itu, tapi gue gak boleh ngeluh karena ini adalah kesalahann gue udah memungut PC sesat itu. Seandainya gue gak tergiur sama PC itu udah pasti hidup gue gak sengsara kayak gini,” kata Sean yang sedikit merasa down karena mengingat betapa ceroboh dirinya itu.
Langkah demi langkah ia jalani lumayan jauh juga letak pusat kontrol dari rumah pohon tersebut, sepertinya Klara sengaja membawanya ke sini agar Andrew tak bisa menemukan dirinya. Sean tahu walaupun Klara sudah menjadi bagian dari dunia game, namun hatinya masih sama seperti Andrew hanya saja ia tak bisa mengontrol otaknya sepenuhnya karena sebagian pikirannya sudah dikontrol oleh Andrew.
Dor!
Suara tembakan bergemuruh di tanah lapang yang tak ada pohon sedikit pun di tempat itu, rumah atau supermarket juga benar-benar sangat jarang sehingga membuat situasi semakin mencekam dan menakutkan.
“Benar-benar deh di sini gak bisa ngelamun dikit langsung ada aja zombie yang nyerang gue, gak dikasih makan kali ya zombienya!” ketus Sean sambil melihat lagi sekelilingnya yang tampak sepi dan menyeramkan.
Mata Sean harus was-was karena perjalanan masih sangat jauh sekali dan membuat dirinya harus memegang s*****a terus-terusan karena sekali ia memasukkan s*****a itu ke dalam saku bisa saja dirinya tidak akan sempat mengambil jika ada zombie yang menerkamnya.
Bagaimana pun caranya ia benar-benar berusaha untuk tetap hidup meskipun sebenarnya tidak ada harapan untuk dirinya hidup karena pasti sahabat-sahabatnya tidak bisa menemukan orang yang bisa membawanya keluar dari dunia game.
“Tetaplah hidup walaupun tidak berguna. Ayo semangat Sean!” ucap Sean dengan wajah yang sudah benar-benar lelah, namun untuk beristirahat pun rasanya sulit karena banyak sekali beban pikiran yang menumpuk di otaknya.
Wajah Sean tersenyum sumringah ketika melihat rumah megah itu yang sudah terlihat oleh matanya dan itu artinya sedikit lagi dirinya sampai di sana dan mengawasi Klara maupun Andrew secara dekat.
Langkah Sean cepat-cepat memasuki semak-semak yang berada di dekat rumah tersebut dan memantau Klara dari kejauhan. Terlihat di rumah yang terang-menderang di malam hari itu tampak sangat elegan seperti rumah Sean yang berada di kalimantan.
Namun, dibalik megahnya rumah yang sangat enak dipandang mata ternyata Andrew menyimpan segudang misteri yang ia sedang rancang. Benar-benar mengerikan, kalau saja Klara masih manusia sama sepertinya pasti ia tidak akan mau menjadi b***k Andrew di dunia game karena sangat mengerikan.
“Mari kita lihat si pria nakal itu sedang apa di dalam rumah? Gue akan memberikan lo pelajaran saat semuanya sudah selesai,” kata Sean sambil menerbangkan drone mini untuk memasuki rumah Andrew melalui cerobong asap yang sepertinya sedang tidak digunakan karena saat ini bukanlah musim dingin.
Namun, matanya tampak tak percaya ketika ada beberapa mahasiswa kampusnya yang Sean kenal berada di dalam rumah tersebut bersama Andrew dan Klara.