Tim Gila

1049 Words
Hari ini mereka mengadakan pertemuan lagi di perpustakaan dengan maksud jika di perpustakaan pastilah bisa menenangkan Darren dan Gilang yang sedang slek. Alefukka memandangi kertas oret-oretan yang diberikan oleh Sean, itu adalah sebuah konsep yang akan timnya rancang untuk pembuatan game survival yang direncanakan Sena. Darren merebut kertas yang berada ditangan Alefukka kemudian membacanya baik-baik, di sana juga ada konsep yang ditulis Sean dengan detail dan mudah dipahami oleh orang awam. “Tahun 2035 lo masih aja bikin konsep game kayak gini, ini mah dari tahun berapa juga udah ada kali kayak begini mah. Bu Marni suruh kita bikin yang wow Sean! Gue dari kemarin udah ngalah ya, tapi kali ini gue gak bisa ngalah lagi kalau sampai...” ucapan Darren terpotong oleh Gilang yang merampas kertas tersebut. “Waktu tinggal beberapa bulan lagi, sekarang kalau lo ngoceh terus mending lo yang pimpin dan gue mau tahu sampai mana lo becus!” ucap Gilang yang masih tampak emosi dengan kejadian kemarin Alefukka dan Sean hanya bisa melihat perdebatan antaran kedua sahabatnya itu dengan bingung, sebenarnya Sean ingin sekali menghajar mereka berdua atau mencoretnya dari tim. Namun, hal tersebut akan membuang waktu tentunya sedangkan mereka tak punya waktu lagi untuk hal-hal semacam itu. “Lo orang mending diem deh, tema yang gue angkat emang udah pasaran gue sadar, tapi gue berjanji walaupun ini terlihat pasaran tapi permainannya akan sangat mengasikkan,” kata Sean untuk kesekian kalinya. Sebenarnya Sean sudah lelah dengan perdebatan dua benalu yang hanya bisa bertengkar tanpa memikirkan cara buatnya. “Heh! Kalian ini mau belajar atau mau bertengkar sih? Kalau mau bertengkar jangan di perpustakaan! Ini perpustakaan bukan punya nenek moyang kalian,” ujar Bu Anit yang merupakan penjaga perpustakaan, wanita berusia 35 tahun ini sering kali dijuluki raksasa buntal karena tubuhnya yang besar dan wajahnya yang galak membuat mahasiswa kampus tersebut ogah untuk membaca di perpustakaan jika tidak kepepet. Sean menghela napasnya kemudian memilih untuk keluar dari perpustakaan tersebut, ia kesal dengan dirinya sendiri yang tak bisa membuat game yang unik. Bagaimana pun ia mencoba berpikir tentang game wow, yang ia pikirkan yang terbesit hanyalah sebuah game survival yang pasaran dan pastinya akan membuat dirinya diejek oleh Bu Marni. Alefukka tampak kasihan dengan Sean yang sudah berusaha keras untuk memikirkan ini semua, namun kedua sahabatnya tak pernah memikirkan itu. Menjadi Sean tidaklah mudah, ia harus memimpin ketiga temannya dan mengusahakan agar game yang ia rancang tidak membuat IPK mereka merosot dan membuat ketiga temannya harus mengulang masa kuliah mereka. Fyuh! “Gue udah bingung mau gimana lagi? Sebenarnya yang gue butuh hanya sebuah kepercayaan, percaya kalau gue bisa. Namun, gue susah untuk dapat pengakuan itu dari dulu bahkan ibu gue sendiri gak pernah ngaku kalau bakat gue ada,” kata Sean yang terlihat melamun di gedung belakang kampus tersebut, namun saat ia sedang melamun ia melihat sebuah PC yang terbuang begitu saja tanpa pemilik. Sean mendekati PC tersebut sambil teringat PC-nya yang dihibahkan ke Pak Tomo pemulung di komplek perumahannya, sampai sekarang ia merasa tidak tega jika ada yang hendak membuang sebuah PC hanya karena sudah rusak atau pun merasa sudah bosan. “Gue pungut aja deh, kayaknya masih bagus body juga masih mulus bisalah kalau gue rakit lagi nih,” gumam Sean sambil membersihkan perangkat tersebut dari tanah dan daun yang menimpanya. Namun, saat ia ingin mengangkat PC tersebut, Alefukka berlarian ke arahnya dan mengajaknya untuk melihat sesuatu yang sepertinya sangat penting.  “Sean! Lo ke mana aja sih gue cariin? Urgent woi urgent!” teriak Alefukka yang tampak heboh menarik tangan Sean. Pemuda itu tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, namun ia hanya mengikuti langkah Alefukka yang sudah seperti orang kesurupan. Namun, saat Sean menghentikan langkahnya ia melihat pemandangan yang tak biasa diantara kedua sahabatnya itu. Tentu saja Darren dan Gilang sudah lebam diseluruh wajahnya karena bertengkar, Sena menghela napasnya berat melihat kedua sahabatnya itu. “Belajar menghargai orang lain itu sangat penting, Bro! Kalau lo merasa tidak cocok dengan pendapat orang lain, cukup ngoceh dalem hati ga usah adu argumen. Lo semua bodoh dicerita orang lain, gak usah sok pinter mending kita diskusi sama-sama berhubung ini juga tugas kelompok gue gak mau ada benalu di dalam tim kita,” ucap Sean dengan santai sambil mengelus punggung kedua sahabatnya itu, menyindir kedua sahabatnya yang super duper egois itu. “Terserah lo lah, tapi usahain banget tim kita ini dapet nilai bagus, lo tahu kan bagaimana bapak gue yang terlalu jauh berekspetasi tentang gue? Gue gak mau kecewain beliau, gue Cuma punya satu orang tua dan lo semua tahu keadaan gue sedang tidak baik-baik aja secara finansial. Nilai gue mempengaruhi saat gue berjuang nanti di dunia kerja,” kata Gilang yang merasa frustasi, Sean tahu bahwa Gilang pasti punya alasan saat dia mengamuk. “Gue tahu, makanya gue juga mau berjuang bukan Cuma buat lo tapi buat kita juga. Tolong kerja samanya agar mempermudah gue buat ini game,” ucap Sean dengan sangat memohon. Sean sudah tidak ingin berdebat lagi dengan mereka karena hari semakin dekat dengan penilaian sementara mereka belum juga mendapatkan sebuah ilham untuk buat game. Darren melihat sebuah PC yang Sean letakkan di meja yang berada di sampingnya, PC tersebut memang tampak lusuh dan terlihat seperti model jadul. “Itu PC siapa? Kok udah rada jelek ya?” tanya Darren yang merasa penasaran dengan PC tersebut membuat Gilang dan Alefukka melihat ke arah barang rongsok tersebut. “Gue ketemu PC itu di gedung belakang, kayaknya kampus udah gak butuh lagi makanya di buang, terus gue bawa ke sini aja kali gue bisa merakit ulang,” kata Sean melihat PC ngenes itu dengan tatapan sayang. Mereka bertiga heran juga melihat Sean yang notabenenya adalah seorang anak konglomerat malah memilih PC bekas yang udah dibuang orang dan modal lama pula padahal jika Sean mau saja pasti bisa membeli peralatan game yang baru dengan kualitas tinggi. “PC kayak gitu murahan, An. Mending lo beli baru dan kembaliin itu PC siapa tahu Pak Iwan butuh,” celetuk Gilang yang merasa Sean membuang-buang waktu jika hanya merakit PC bekas yang tak ada harganya itu. “Gak bisa, gue ngerasa sayang aja sama ini PC jadi ngingetin gue sama PC gue yang dulu dibuang mama gue pas SMA. Gue gak bisa biarin PC-PC bekas dibuang gitu aja kayak gak ada harganya,” ucap Sean dengan serius.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD