Chapter 30

1512 Words
Satu bulan setelah hilangnya Amir. Putus sudah harapan Ben dan keluarga ketika melihat sudah tiga puluh hari hilangnya Amir di kalender. "Amiiirr!" Popy tak bisa menahan sakit hati kehilangan Amir. Satu bulan pencarian namun tak kunjung ditemukan. Hal ini membuat Popy putus asa terhadap pencarian sang cucu. "Satu bulan! Ben, ini sudah satu bulan Amir hilang! Amir hilang!" Popy terlihat meraung sedih. Dia menggoyang-goyangkan badan sang suami. "Mana Amir?! aaaa!" wanita itu hampir gila karena hilangnya sang cucu. Adam menciutkan dirinya, dia terlihat sangat depresi karena sang adik belum juga pulang ke rumah. Wajah bocah yang akan berusia lima tahun itu terlihat pucat pasi dan matanya memerah. Pada akhirnya Adam ikut menangis. "Amir … Amir …." Suara lirih Adam terdengar sangat sedih. Dia merindukan kehadiran sang adik, sebab, meskipun adiknya tukang jahil, sang adik tetap bermain dan menemani kesehariannya agar tak kesepian. Karena sifatnya yang penakut, dan jarang keluar rumah, Adam tidak begitu familiar di kalangan teman-teman sebayanya. Pulang sekolah dari taman kanak-kanak, Adam langsung tidur istirahat siang dan berdiam diri di rumah. Teman di taman kanak-kanak tidak mengajaknya untuk bermain, hanya adiknya seorang yang bermain bersamanya di rumah. Sering sekali sang adik menyeret dia dan bermain bersama teman-teman kompleks, berakhir dengan rusuhnya pertemanan dengan teman-teman kompleks karena ulah jahil dari sang adik. Adam menangis sedih. Dia sesenggukan. "Amir … Amir … ayo pulang ke rumah. Kakak Adam janji, Kakak Adam akan bermain setiap hari dengan kamu …." Tak tega mendengar tangisan Adam yang sedih, Ben memilih menggendong cucunya itu. "Kakek Ben, Amir akan pulang, kan?" tanya Adam sedih. Ben mengangguk meskipun hatinya sedih. "Pulang sayang, Amir pasti pulang." "Tapi kenapa sampai sekarang Amir belum juga pulang?" tanya Adam. Ben tidak tahu harus menjawab apa. Dia pun butuh jawaban, kapan cucunya Amir pulang? "Sudah lama Adam sendiri … Adam ingin main bersama Amir …." Bocah itu menangis lagi. Ben mengusap sayang punggung Adam. °°° Kediaman Basri di Bandung. Lilis menggigiti kuku jarinya. Dia melirik ke arah Dimas. "Kang Mas, ini teh sudah sebulan Amir hilang. Bagaimana ini?" Dimas memijat sakit pelipisnya. Sesungguhnya, Dimas bukan sakit fisik tapi sakit pikiran. Sakit pikiran bukan berarti *gila, namun stres. "Amir teh umur dua tahun lebih, anak umur segitu belum juga ditemukan, apalagi itu teh di Papua. Daerah sana adalah daerah konflik. Lilis teh takut, jangan-jangan Amir sudah ditembak-akh! tidak! tidak! jangan sampai itu terjadi!" Lilis terlihat panik dan menyangkal sendiri ucapannya. "Kang Mas, suruh orang lagi untuk cari Amir!" ujar Lilis. Dimas melihat ke arah sang istri. "Lis, bahkan hampir semua bodyguard milik Basri telah dikerahkan untuk mencari Amir, tapi sampai sekarang kita belum juga menemukan Amir," ujar Dimas. Wajah Lilis terlihat cemberut dan gelisah. Bahrun dan Abil hanya melirik dari sudut dinding ke arah orangtua mereka. Wajah mereka tidak senang sudah sebulan ini. Sang ayah sering bolak-balik Bandung-Jakarta untuk melihat kondisi kakek buyut mereka, sedangkan kakek mereka yang bernama Alan sedang ke Papua untuk mencari Amir. °°° "Aku tidak mau tahu! cari cucuku sampai ketemu!" Atika meraung histeris di depan kepala keamanan Nabhan. Dia dengan marah menunjuk ke arah beberapa bodyguard yang ada di sekitarnya. "Itu karena kalian tidak becus menjaga rumah! jika saja hari itu mata kalian dipakai dengan baik, maka Amir tidak akan naik ke mobil itu dan pergi meninggalkan Jakarta seorang diri!" Kepala keamanan Nabhan terlihat menunduk menyesal. Baru kali ini dia melihat kemarahan dari nyonya besar Nabhan. Atika tidak pernah marah dan sekasar itu menunjuk bodyguard. Dia berhati baik, mungkin karena sudah sebulan Amir hilang dan belum juga ditemukan, puncak stres dan frustrasi Atika membuatnya meluapkan kekesalannya. "Tidak setiap hari dia datang kesini. Sangat jarang Amir bermain di rumah ini, tapi hanya karena kalian tidak becus menjaga rumah dan tidak memperhatikan dia, Amir cucuku tidak ada lagi di rumah ini! aaaa!" Atika berteriak histeris. "Atika, sudah." Nibras cepat-cepat menenangkan istrinya. Jangan sampai serangan jantung kembali menyerang istrinya, itu tidak baik. Semenjak Ariella tinggal dengan mereka, Nibras dan Atika telah menganggap Ariella adalah anak perempuan mereka sendiri. Jadi, Amir sangat berarti bagi mereka. "Kita akan terus mencari Amir. Aku yakin Amir pasti baik-baik saja. Darah Nabhan pemberani mengalir di aliran darahnya," ujar Nibras. "Ibas, bagaimana jika ada orang jahat yang membawa Amir?" tanya Atika. "Itu tidak mungkin!" bantah Nibras tegas. "Mungkin saja! Amir belum ditemukan sudah satu bulan! dan dia katanya ada di Papua! di sana selain terjadi kerusuhan, juga ada pembangunan jalan, jembatan dan sebagainya, aku dengar mereka membutuhkan tumbal untuk membangun jembatan besar! aakh! atau Amir diperdagangkan!" Atika bertambah histeris. "Astagfirullahaladzim! Atika, jauhkan pikiran buruk itu dari kepalamu!" Nibras menahan marah. "Apa yang buruk?! anak lucu dan manis seperti Amir banyak disukai orang! bisa saja dia dijual oleh orang! aaaaa!" Atika histeris. "Tenang! Atika! suster Mudi!" Nibras tak bisa tenang-tenang saja melihat sang istri di luar kendali. Seorang suster buru-buru berlari cepat ke arah Atika sambil membawa tas kesehatan. °°° "Pace, hali ini kita tidak pelgi cali ikan dan udang, kah?" tanya Amil. "Pergi, Anak. Tunggu Bapa bikin jaring dulu supaya kita tangkap ikan dan udang banyak-banyak, supaya kita cepat pulang," jawab Pace yang sedang membuat jaring ikan berukuran sedang. Amir mengangguk mengerti. Dia duduk di depan Pace dan melihat Pace membuat jaring ikan. "Hali ini panas Pace. Kila-kila ikan dan udang sembunyi di dalam lubang kah tidak e?" tanya Amir. Sebulan bergaul dengan Pace dan yang lainnya, membuat Amir sudah mulai mahir bicara logat sehari-hari Papua. "Tergantung toh Anak. Kalau ikan bosan di dalam lubang, nanti akan keluar toh berenang-berenang di sekitar lubang rumah," jawab Pace yang serius menjahit pinggiran jaring. Amir manggut-manggut mengerti. "Pace, kita tangkap ikan di sungai yang biasa, kah?" tanya Amir lagi. Anak ini tidak akan pernah bosan untuk berhenti bertanya walaupun sudah habis jawaban. Dia akan terus bertanya selama mulutnya masih bisa bicara dan dia masih bisa bernafas. Itulah Amir. "Kali ini kita akan tangkap ikan di kepala air, Anak," jawab Pace. "Kepala ail itu di mana Pace?" tanya Amir penasaran. "Kepala air yah di kepala air toh," jawab Pace. "Jadi sebenalnya ail punya kepala ini di mana, kah?" tanya Amir. "Yah ada di kepala air toh," jawab Pace. "Kepala ail ini ada di sebelah mana kah, Pace?" tanya Amir. Pace berhenti menjahit pinggiran jaring dan kini fokus melihat ke arah Amir yang sedang memandangi wajahnya dengan tatapan ingin tahu tanpa rasa bersalah. "Pfftthhaha!" Liben menutup mulutnya karena menahan tawa. Pace menarik napas dan menghembuskan napasnya. "Nanti pas sampe di kepala air, baru Bapa kasih lihat di mana itu kepala air berada." "Ok," sahut Amir manggut-manggut. Pace mengangguk puas, dia berpikir bahwa anak angkatnya itu sudah mengerti dan sekarang diam. Namun, pertanyaan Amir selanjutnya membuat Pace ingin sekali makan jaring yang ada. "Lalu lehel ail di mana?" tanya Amir. (Leher air di mana?) "Hahahahahahahaha!" Liben tak kuat menahan tawa, pada akhirnya dia menyemburkan tawanya. Pace yang tadi hendak melanjutkan menjahit pinggiran jaring, kini menatap penuh bengong ke arah Amir. Amir tersenyum tanpa dosa, dia terkekeh. "Hehehe." "Kan kalau ada kepala halus ada lehel toh Pace. Masa ail-nya tidak ada lehel, jadi kepala buntung dong, eh lehel buntung dong." "Hahahahahaha!" Liben terbahak. Pace geleng-geleng kepala setelah mendengar ucapan Amir. "Bapa bikin ini cepat supaya bawa ko ke kepala air itu. Nanti Bapa kasih lihat mana kepala air, mana leher air, mana bahu air, mana tangan air, mana jari air, mana semua bagian dari air itu, dari kepala air sampe ke kaki air," ujar Pace. "Ok, Pace-ku. Siap!" Amir mengangguk sambil memperlihatkan jempol kanannya ke arah Pace. "Hahahaha! Anak e, ko ini lucu-lucu saja!" Pace tertawa. Mace yang sedang memotong sayur di dapur tertawa. "Makanya Bapa, jawab itu pertanyaan Amil dengan serius. Bapa su tau dia toh, kalau Bapa tra jawab serius, anak ini akan tanya trus." Pace hanya mengangguk sambil tertawa geli. …. Beberapa saat kemudian, tibalah Amir dan keluarga angkatnya di tempat yang dikatakan oleh Pace. Yaitu kepala air. Air melirik ke arah sekeliling, keningnya mengeriting layaknya mie kuah rasa soto ayam. "Pace, mana kepala ail? tidak ada kepala ail oh," ujar Amir. Pace menggendong Amir mendekat ke arah aliran air yang keluar dari bawah tanah. Air segar dan terasa dingin. Jari telunjuk Pace menunjuk ke arah tanah yang keluar air. "Itu Anak. Ini namanya kepala air." Amir, "...." diam beberapa detik melihat air keluar dari tanah. Dia melirik ke arah Pace dan berkata, "Oh … ini namanya mata ail." Pace, "...." diam beberapa detik. "Anak, mata air sama saja dengan kepala air," ujar Pace. Amir menggelengkan kepalanya. "Tidak sama Pace. Kalau ini namanya mata ail. Disebut mata ail kalena kelual ail. Itu ada kelual ail macam mata kita yang mata manusia ini, ada ail yang bisa kelual, namanya ail mata." Pace, "...." "Pfftth!' Liben menahan tawa. "Anak, ini kepala air, sama saja dengan mata air kah," ujar Pace. Amir menggeleng. "Lalu kalau ini mata ail, lambut ail-nya di mana Pace?" (Lalu kalau ini mata air, rambut airnya di mana?" Pace, "...." "Mari kita cebur diri dalam air sudah!" Pace ingin melompat ke dalam air. "Hahahaha!" Liben terbahak. Amir! Amir! Kamu membuat Pace ingin sekali menenggelamkan dirinya ke dalam air. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD