Chapter 28

1509 Words
Tiga minggu setelah hilangnya Amir. "Pace, kita pelgi tangkap ikan dan udang hali ini, kan?" tanya Amir. Pace melirik ke arah Amir. "Tidak, Anak. Hari ini Bapa mau bersihkan kebun dulu, sudah banyak rumput yang tumbuh, nanti kalau banyak rumput kebun kita tidak ada hasil." "Kebun?" kening Amir mengeriting. "Iya, Anak." Pace mengangguk. Pace mengambil parang panjang lalu disarungkan di pinggang kanan. "Amil boleh ikut e, Pace?" tanya Amir. "Aduh Anak, di sana banyak semak-semak e. Baru itu dia punya jalan tinggi-tinggi, nanti ko dapa gores dari semak-semak lagi," jawab Pace. Mata Amir terlihat memelas. "Yah … padahal Amil juga mau ikut, Pace." "Anak, ko di sini saja, nanti Bapa pulang baru Bapa ajak ko tangkap ikan besok, e?" tawar Pace. Wajah Amir masih terlihat memelas. "Lalu apa gunanya golok yang Om Yoke bikin untuk Amil? kan Amil bisa potong lumput pake golok Amil." Amir menunjuk ke arah golok atau parang mini yang Yoke buatkan untuknya. Wajah Pace terlihat menimang-nimang. "Sudah Bapa, bawa saja itu Anak dan Liben. Nanti Liben yang lihat Amil saat Bapa potong rumput," ujar Mace mengambil jalan tengah. Pace berpikir bahwa masih berbahaya jika mereka pergi membawa Amir ke kebun, jika ada anggota kelompok pemberontak maka akan sulit untuk membawa Amir, namun di sisi lain, Pace tidak tega melihat mata Amir yang memelas. Mace berpikir, jika sang suami pergi ke kebun, maka anak Amir pasti akan sedih melihat kepergian suaminya. "Bapa tra ingat kah, setiap hari Bapa pergi bawa Anak ini ke mana-mana, masa pergi ke kebun saja tidak bisa bawa dia bagaimana?" ujar Mace. Pace menarik napas dan menghembuskan napasnya. "Yo sudah, Anak." Akhirnya Pace mengangguk setuju. "Yes!" Amil mengepalkan tangannya senang. Dia buru-buru mengambil golok mini yang disisipkan di dinding rumah lalu menyarungkannya di pinggang kanan. "Kaka Liben, ayo pelgi ke kebun!" seru Amir berjalan masuk ke dalam kamar. Liben mengangguk, rupanya dia sedang bersiap-siap untuk ke kebun setelah Pace mengiyakan ucapan Mace. "Mama, kasih pake ini anak pakaian pajang kah, cari kain apa kah untuk dia pakai supaya jangan itu semak-semak gores dia punya badan," ujar Pace. "Yo, tunggu sa cari dulu," balas Mace. Mace bergegas ke kamar untuk mencari kain atau baju tangan panjang. Yang Mace temukan adalah baju Amir yang dipakai oleh Amir ke Papua. Mace mengambil baju itu lalu memperlihatkannya ke arah Pace. "Ada Amil punya baju ini, pakai ini saja, celana juga panjang." Amir melirik ke arah baju kaos merah dan celana hitam miliknya. "Mace, pake saja itu!" seru Amir setuju. "Ok, Anak." Mace mengangguk. "Eh, ada topi lagi itu. Kebetulan hari ini panas e, sekalian ko pake saja topi," ujar Mace. "Ok, Mace-ku!" Amir menaikkan jempol kanannya ke arah Mace. Inilah yang paling disenangi Mace pada Amir. Amir tidak pernah bilang tidak apa kata Mace. Selalu saja mengiyakan. Di dalam pikiran Mace, Amir ini di keluarga aslinya pastilah anak yang penurut dan baik, anak dengar-dengaran orang tua. Namun, sayangnya jika Mace tahu kebenaran Amir yang suka jahil untuk seisi rumah, mungkin Mace akan menarik kembali kata-katanya. Mace mulai memakaikan Amir pakaian pada Amir dan membuka koteka. Setelah selesai berpakaian, Mace memakaikan topi piknik pink yang Amir ambil secara sembarangan di bandara. "Biar jangan ko punya kaki sakit, pakai lagi sepatu ini e?" tanya Mace sambil memperlihatkan sepatu sport milik Amir. "Ok," sahut Amir. Mace memakaikan sepatu Amir. Beberapa saat kemudian Amir berdiri sambil tersenyum ke arah Pace dan Liben. "Hehehe, Amil siap ke kebun!" Pace dan Liben manggut-manggut menilai pakaian Amir. "Ayo," ujar Pace. Tiga laki-laki itu berjalan keluar rumah kecil milik Pace. Beberapa langkah dari rumah, Mamade Yona bertanya,"Bapa, itu mau bawa Amil ke kota kah?" Ekspresi Mamade Yona terbelalak kaget. Dia tidak menyangka bahwa Amir akan pulang ke kota secepat ini, sebab mereka telah terbiasa dengan kehadiran Amir yang sudah tiga minggu. Wajah Balo terlihat akan menangis setelah mendengar ucapan sang ibu bahwa Amir akan pulang ke kota. Balo juga salah sangka. Dia cepat-cepat berlari untuk memberitahu teman-temannya bahwa Amir akan pulang ke kota. "Mamade Yona, Amil, Pace dan Kaka Liben mau ke kebun," ujar Amir dengan nada riang. Mamade Yone melirik ke arah Pace. "Betulkah Bapa? tapi itu anak seperti mau pulang ke kota, sa pikir Bapa mau bawa pulang Amir." "Tidak Yona, Anak ini mau ikut ke kebun, sa sudah larang tapi dia yah begitu jua, mau saja ikut," balas Pace. "Oh begitu, sa pikir Bapa mau bawa pulang dia. Eh, Bapa, itu kebun jauh, cuma kam tiga saja kah yang pergi?" tanya Mamade Yona. (Kam=kalian) "Iya ini Yona, torang tiga saja," jawab Pace. (Torang=kita) "Oh begitu." Mamade Yona manggut-manggut. Terdengar langkah kaki beramai-ramai ke arah Pace dan Amir. Beberapa anak terlihat hendak menangis. Beberapa wajah orang tua terlihat agak gelisah. "Bapa mau bawa pulang Amil ke kota baru tra bilang-bilang kita semua e? stalalu lai Bapa!" Wajah Ona terlihat sedih. (Stalalu=sudah terlalu/keterlaluan) "Bapa yoo, tra bilang-bilang kita e," ujar Balo, suaranya terdengar serak hendak menangis. "Bapa jang begini kah, masa mau bawa pulang Amil ke kota tra bilang tu!" Hans terlihat agak tidak setuju. Yoke berlari kencang ke arah Pace dan Amir. "Sa dengar Bapa mau bawa pulang Amil kah?" Napas Yoke ngos-ngosan. Yoke pergi mencari beberapa hewan yang bisa dimakan, namun beredar kabar bahwa Amir akan dibawa pulang oleh Pace ke kota, alhasil Yoke berlari sekencang mungkin ke tempat tinggal. Pace,"...." Sa su bilang, sa tra bawa Anak ini ke kota, batin Pace pusing kepala. (Saya sudah bilang, tidak bawa anak ini ke kota) Banyak orang yang mengelilingi Amir. Beberapa saat kemudian. Pace hanya bisa geleng-geleng kepala sambil melihat banyaknya orang yang ingin ikut ke kebun bersama mereka. Pada akhirnya banyak orang yang ingin pergi ke kebun bersama Amir. Perjalanan mulai dilakukan, bekal yang dibuat oleh Mace dipegang oleh Pace, sementara itu Liben menggendong Amir dari belakangnya. Ini dilakukan agar perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu tidak lama sebab langkah kaki Amir yang kecil. Dari atas punggung Liben, Amir menikmati perjalanan ke kebun. Jarak dari tempat tinggal Pace ke kebun sekitar satu jam jalan kaki. Kebun Pace terletak jauh dari tempat tinggal. Setelah menempuh perjalanan, Liben menurunkan Amir. "Pace, mana kebun?" tanya Amir. Pace menunjuk ke arah semak-semak belukar yang rimbun. "Itu, Anak!" jawab Pace. Amir melirik ke arah semak-semak belukar plus rimbun, "...." Baru tahu dia kalau ada kebun yang bentuknya seperti ini. Perasaan seingat Amir, kebun di Bandung yang dia datangi tidak seperti ini. Kebun milik keluarga Basri di Bandung terlihat rapi dan bersih. Wajah Amir terheran-heran. "Pace, lalu mau ambil sayul bagaimana ini? apa itu semua sayul yang bisa dimakan?" tanya Amir menunjuk ke arah alang-alang dan semak. "Pfftthahahaha!" Liben dan beberapa orang terbahak. "Kita bersihkan dulu Anak, baru setelah itu bisa ambil sayur dan ubi," jawab Pace. "Oh begitu, ok ok, Amil ngelti. Di belakang lumah Nenek Poko juga seling cabut lumput kebun," ujar Amir. "Ok. Mari kita kerja!" pinta Pace. Semua orang mengangguk. Orang-orang mulai bekerja memotong rumput. "Jangan potong semua rumput, nanti ada yang tahu kita tanam ubi di sini, sembunyikan bibit ubi di dalam semak-semak di sana!" ujar Pace. "Baik, Bapa." Yang lain menyahut. Amir mengeluarkan golok mini dari saku golok lalu mulai memotong rumput kecil yang bisa dia potong. Liben mencabut alang-alang. Akar alang-alang itu cukup segar untuk dimakan. Sementara itu, Amir melihat bagaimana Liben mengumpulkan alang-alang, dia juga ikut untuk mencabut alang-alang. Setelah dirasa alang-alang yang dia cabut sendiri lebih dari cukup, yaitu hanya lima akar alang-alang, Amir pergi berjalan ke arah Pace yang sedang memotong rumput dan menggali sebuah umbi. Itu adalah gembolo, umbi yang besar. "Waah! Pace, besal sekali e. Bisa kita makan banyak ini!" ujar Amir. "Iya Anak, besar. Makanya Pace datang ke sini untuk gali ini ubi," balas Pace. Amir manggut-manggut. Dia melihat Pace menggali umbi gembolo itu. Amir belajar banyak tentang umbi-umbian yang bisa dimakan. Ada sayur liar yang bisa juga dimakan oleh orang namun tidak dimakan di keluarganya. Seperti pakis dan beberapa sayur lainnya. Ada sayur yang terasa agak pahit ketika dimakan, namun menurut Pace dan Mace, sayur itu enak dan bagus untuk menyembuhkan penyakit. Setelah dua jam membersihkan sebagian kebun, waktunya makan siang. Amir, Pace dan Liben makan bersama satu tempat bekal, sementara yang lainnya pun demikian. Mereka makan apa yang yang dibawa dari rumah. Setelah selesai makan siang, Amir mengikuti Pace untuk mengambil sayur lain. "Pace, itu jagung kah?" tanya Amir. "Bukan, Anak. Ini sayur lilin," jawab Pace. "Sayul lilin?" Amir mengerutkan keningnya, dia tidak pernah mendengar nama sayur lilin. "Biasa di kota sebut tebu batang. Enak kalau dibakar," ujar Pace. "Oh begitu." Amir manggut-manggut mengerti. Beberapa saat kemudian waktunya pulang. Bakul masing-masing orang telah penuh dengan sayur dan umbi. Mereka mulai berjalan meninggalkan kebun di tengah hutan itu. Di pertengahan jalan pulang, mereka melihat ada rumpun bambu. Cukup jarang rumpun bambu. Pace berjalan mendekat ke arah pohon bambu dan melihat-lihat di sekitar akar. Ada tunas bambu atau rebung. Pace mengeluarkan parang lalu memotong rebung itu, namun yang tidak disadari Pace adalah, di samping Pace ada sesuatu hewan yang membuka matanya, hewan itu sedang membuat lingkaran dirinya. Mata Amir melotot, dia menunjuk dari punggung Liben. "Pace, awas ulal itu!" °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD