Chapter 26

1463 Words
Amir duduk melihat Mace memotong sidat raksasa itu menjadi beberapa bagian. Dia telah diberi kain agar tubuhnya tidak kedinginan setelah pulang selesai mencari ikan di sungai. Sementara itu, tungku tradisional kecil sedang membakar kayu bakar, bara api itu nantinya akan digunakan untuk mengasapkan sidat raksasa yang ditangkap oleh Pace. "Mace, ini mau bakal kah?" tanya Amir. "Tidak anak, ikan ini mau Mace asar," jawab Mace. (Asar=asap) Kening Amir mengeriting. "Asal?" Mace tersenyum ke arah Amir. "Mau Mace asap di atas api, Anak." "Oh begitu …," sahut sambil manggut-manggut. Pace mengorek-ngorek bara api agar merata. Sementara Mace selesai mencuci sidat yang ditangkap. "Mama, ini anak setiap kita pergi tangkap apa begitu, selalu saja beruntung e. Tidak pernah tidak dapat sesuatu. Waktu itu saja kita buru babi, eh belum keluar lama dari sini lagi sudah dapat dua babi," ujar Pace. Mace melirik ke arah Amir. "Hehehe." Amir hanya terkekeh sambil tersenyum lebar. "Mungkin Tuhan kasih dia untuk kita sebagai berkat, Bapa," balas Mace. Pace berpikir sejenak lalu mengangguk setuju. Pace berjalan dan duduk di samping Amir lalu mengusap kepala Amir. "Jangan sakit-sakit Anak. Di sini ko tetap Bapa punya anak. Bapa tetap janji untuk ko, Bapa akan bawa ko ke kota untuk cari ko punya keluarga." Amir mengangguk. Kryuukk kryuuuk kryuukk! Bunyi misterius yang berasal dari perut Amir. "Oh … Mace, cepat asap itu ikan, Amil sudah lapal ini," ujar Amir dengan tatapan memelas. "Siap, siap." Mace manggut-manggut dan mulai mengatur kayu-kayu kecil di atas tunggu dan mulai meletakan potongan daging sidat raksasa itu di atas kayu-kayu kecil di atas bara api. "Huuuuum! haluuuuum!" Amir mencium bau sidat asap sambil menutup kedua matanya. Kryuuuk kryuukk kryuuukk! Bunyi perutnya semakin menggila. "Aoh … tambah lapal, kan," ujar Amir. "Hahahaha!" Mace tertawa sambil mengipas bara api. Alhasil aroma sidat asap itu bertambah banyak menyerang hidup Amir. "Lapal, lapal, lapal … Amil lapal …." Amir bernyanyi. "Tunggu sebentar lagi Anak e, sebentar lagi masak," ujar Mace. "Hum, ok Maceku!" Amir menaikkan jempol kanannya. …. Beberapa saat kemudian, Amir terlihat lahap masukan sidat asap ke dalam mulutnya. "Huumm! enakkk!" ujar Amir sambil menggigit sidat asap. Mulutnya penuh minyak alami dari sidat. Tidak perlu garam atau penyedap rasa, hanya diasap atau dibakar saja sudah sangat enak untuk dimakan. Jingjing dan Cingcing juga mendapat jatah dari Amir. Mereka makan dengan sangat lahap tak mau kalah dengan Amir. Makan sore yang enak. Keluarga Pace menikmati sidat raksasa asap yang gurih. Amir mendapat jatah lebih banyak potongan sidat asap. Sebab, dia yang lebih dulu melihat keberadaan sidat raksasa itu. "Amil, udang ini mau makan atau tidak?" tanya Liben sambil memperlihatkan tiga udang bakar. Amir yang sedang memasukkan sepotong besar daging sidat asap ke dalam mulut melirik ke arah Liben. "Malham sajha Kakha Libhen." (Malam saja Kaka Liben.) "Ok, Kaka Liben simpan ko punya udang. Ada tiga ini," ujar Liben. "Manthap!" balas Amir. °°° Malam telah tiba. Amir terlihat sudah terlelap tidur. Wajahnya terlihat damai dalam tidur malamnya. Sementara itu Liben menutup pintu kamar geser yang terbuat dari daun sagu dan ikut tidur di samping Amir. Hari ini mereka sangat senang, makan enak dan tentu saja kenyang. Tak cukup tiga menit, Liben telah berada di alam mimpi. Sementara itu di tenda Naufal. "Karena hujan deras, longsor dan jalan terputus. Jadi besok akan kita lanjutkan pencarian," ujar Ben. Naufal mengangguk pelan. Dia naik ke tempat tidur lipat dan tidur. Sementara itu Askan masih terlihat duduk di luar tenda memandangi gelapnya malam di hutan pedalaman. Ben mengambil posisi untuk beristirahat malam. "Hachiiuw!" Bersin. Hachiw! Hachiw! Hachiw! Naufal membuka kelopak matanya dan melirik ke arah sang ayah. "Besok Papa harus kembali ke kota dan istirahat," ujar Naufal. "Hanya bersin biasa," balas Ben. "Jangan membantah, nanti Papa sakit," ujar Naufal. "Amir belum ditemukan. Papa harus segera menemukan Amir dan membawanya kembali ke rumah agar Kakek dan Mama kamu tidak lagi sakit," balas Ben. Naufal terdiam. Dia terlihat berpikir selama beberapa saat lalu berkata, "Keras kepala." Ben hanya tersenyum tipis. Sementara itu Askan melirik ke arah Ben. Di penglihatan Askan, suami dari sang Tante ini sepertinya terserang flu. °°° "Bro, bangun. Om Ben demam." Askan membangunkan kakak sepupunya. Naufal terlihat membuka mata. Warna matanya terlihat merah, dia kurang tidur. Askan menunjuk ke arah tempat tidur lipat yang ditiduri oleh Ben. "Om Ben demam, kita harus segera bawa ke rumah sakit." Naufal tersadar dan langsung bangkit dari posisi tidur. Dia cepat-cepat mendekat ke sang ayah. Benar saja, ayahnya sedang menggigil di balik jaket besar. Naufal menempelkan punggung tangan ke dahi sang ayah. "Sangat panas," gumam Naufal. Mata Ben tertutup. Dia tidak lagi tersadar. Naufal melirik ke arah bodyguard Basri dan Ruiz yang sedang berjaga. "Bagi tugas, temani saya untuk membawa ayah saya ke rumah sakit kota sekarang." "Baik, Tuan." Bodyguard Basri mengangguk. Ariella yang mendengar suara dari luar tenda, dia membuka mata. Dia memutuskan untuk keluar dari tenda. Yang dia lihat adalah Naufal sedang menambahkan selimut untuk menutupi badan Ben. Wajah Lia terlihat khawatir. Naufal melirik ke arah Lia. "Papa demam, aku akan ke kota membawa Papa ke rumah sakit dan kamu di sini. Setelah mengantarkan Papa ke rumah sakit, aku akan kembali lagi ke sini." Lia mengangguk mengerti. Ekspresi wajahnya terlihat rumit. Banyak anggota keluarganya yang sakit. Dari kakek mertua hingga dua mertuanya yang sakit. Ibunya juga tidak dalam kesehatan yang begitu baik. "Tuan Naufal, perjalanan dari sini ke kota memakan waktu hampir tiga jam karena malam dan longsor," ujar bodyguard a Basri. "Berikan kabar ke ayah mertua saya yang sekarang berada di kota Sentani mengenai kabar ini," instruksi Naufal. "Baik, Tuan." Bodyguard a Basri menyahut. °°° Eric duduk di samping bed rumah sakit. Ben terlihat berbaring di bed itu. Tangan kanan Ben dimasukan infus. "Tiga puluh sembilan koma lima derajat Celcius. Kamu membuat semua orang panik," ujar Eric. Wajah Ben terlihat bersalah. Dia terlihat agak pucat. "Mungkin karena umurku yang sudah tua jadi tidak lagi berguna," balas Ben. "Istirahat yang cukup. Setelah sembuh, kamu jangan lagi kembali ke hutan," ujar Eric. "Cucuku belum ditemukan!" balas Ben keukeuh. "Kamu bisa mencari di dalam kota, meskipun kita telah menyisir seluruh kota dan tidak menemukan keberadaan cucu kita, namun kita tetap harus mencari. Siapa tahu saja sebelumnya kita tidak melihat keberadaannya," ujar Eric. Ben terdiam. Matanya memerah lalu butiran air mata tumpah. "Aku selalu memarahi Amir …." "Selalu mengutuknya … ingin sekali memberinya pelajaran … ingin sekali membalaskan apa yang telah cucu itu perbuat untukku … tapi tidak bisa! itu mustahil sekarang!" Ben menangis keras. "Aku yang salah! semua perkataanku adalah kutukan untukku! semua ucapanku membuatku sadar! aku Kakek yang jahat!" Ben menangis keras saat mengakui semua ucapannya. "Di saat Amir menjahiliku, aku ingin sekali membalasnya dan menjewer kupingnya. Di saat Amir mengejekku, aku ingin sekali mencubit bibirnya. Tapi apa?! sekarang aku malah merindukan semua yang dilakukan oleh Amir sebelumnya padaku lagi! aku ingin Amir di sini! mengejek, menjahili aku bahkan memfitnahku di depan Ayah!" "Aku merindukan cucu yang nakal itu! aku merindukan Amir!" "Amir! Amir! Amir! ayo kembali, Nak! Kakek Ben tidak marah lagi sama kamu! Kakek Ben tidak akan marah lagi!" Eric berdiri dari kursi lalu memenangkan besannya. Ben keluar kontrol. Dia tak mampu lagi mengontrol emosi di dalam dadanya. Tekanan karena hilangnya sang cucu membuat Ben stres dan menangis keras. Kata-kata penyesalan untuk sang cucu kini terdengar keras. Sementara itu kata-kata makian dan kutukan sangat disesali oleh Ben. Ben bukan hanya sakit fisik, dia juga sakit hati. Cucunya menghilang. Cucu yang sangat nakal menghilang entah kemana dan belum ditemukan, Ben menyesal pernah memarahi sang cucu itu. Dokter dan perawat masuk ke ruang rawat Ben dan berusaha untuk membuat Ben tetap tenang. Namun, semakin mereka mengutarakan kata-kata baik untuk menghibur Ben, semakin Ben menangis nyaring. "Amir! Kakek Ben di sini! kamu di mana?!" "Amir! pulang, Nak! Kakek Ben di sini!" "Amir! Kakek Ben yang bodoh!" "Amir! datang dan main bersama Kakek Ben!" "Amir jadi tentaranya dan Kakek jadi penjahatnya!" Naufal berlari cepat memasuki ruang rawat sang ayah lalu memeluk erat ayahnya. "Papa, tanang. Jangan menangis lagi," ujar Naufal. "Naufal, Papa salah, Nak! Papa sering marah-marah Amir! Papa sering maki Amir, Papa sering kutuk Amir! Papa juga benci Amir jail!" Ben menangis tak tenang, dia memukul dadanya yang terasa panas. Sakit sekali di d**a Ben. Hilangnya sang cucu merupakan luka yang mendalam bagi Ben. Bahu Naufal bergetar, dia ikut menahan tangis. Sementara itu, Eric merasa sangat sedih, dia melap air mata yang turun. Orang-orang yang melihat Ben menangis hanya ikut merasa sedih. Ternyata, yang paling mencintai Amir adalah kakeknya yang bernama Ben. "Amir, datang Nak! kita main!" "Main dengan Kakek Ben!" "Kita main!" "Amir!" "Amir, pulang sayang! pulang ke sini! Kakek Ben di sini!" "Sudah Papa, jangan menangis lagi. Opal akan cari Amir lagi," ujar Naufal menahan tangis. "Amir! Amir! Aaamiiiir!" Ben histeris, dia menggila dalam tangisannya. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD