"Ayo kita bicara." Ajakan yang diberikan oleh seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan model rambut undercut. Kedua iris matanya menatap lekat kepada Lily, dan lelaki itu adalah orang yang semalam ingin Lily temuin. Namun, tidak sempat terjadi. Karena ia yang tidak berada di tempat semalam.
"Emm... Nanti aja ya? Aku... Aku buru-buru. Ada tugas yang belum selesai." Dengan cepat Lily melepaskan diri dari cekalan tangan Russell. Lalu pergi masuk lebih dulu ke dalam kelas, yang berbeda dengan Russell.
Russell tidak terima begitu saja. Sejak kemarin ia mendiamkan Lily. Russell baru menyadari, bila dirinya terlalu cemburu buta. Apalagi, lelaki yang merangkulnya kemarin, adalah lelaki yang memang selalu bertingkah seperti itu, kepada setiap teman wanitanya.
"Babe!" panggil Russell yang langsung menyusul dan menghadang jalan bagi Lily masuk ke dalam kelasnya.
"Aku tahu. Kemarin itu cuma salah paham kan? Sam memang begitu kepada semua perempuan di sekolah. Sok akrab. Jadi, aku minta maaf ya? Udah salah paham ke kamu."
"Ya baguslah kalau kamu udah tahu. Ya udah. Aku masuk dulu ya?" ucap Lily yang kembali ingin menerobos, serta melewati Russell.
"Nanti dulu," pinta Russell sambil mencekal lengan Lily lagi.
"Ada apalagi?" tanya Lily dengan raut wajah yang datar. Dan Russell mengira, bila Lily sedang berbalik marah kepadanya.
"Nanti malam jalan yuk!" ajakan yang Russell cetuskan.
"Kemana??" tanya Lily dengan dahi yang dikerutkan.
"Ada. Aku ingin ajak kamu ke tempat yang bagus."
"Ya udah gimana nanti. Aku mau masuk dulu."
Russell benar-benar melepaskan cekalan tangannya pada lengan Lily, membiarkan Lily masuk lebih dulu ke dalam kelas. Setelah itu, barulah ia pergi ke dalam kelasnya sendiri.
Malam harinya.
Sebuah motor sport berwarna silver berhenti di depan sebuah rumah minimalis berlantai dua. Di pekarangan rumahnya nampak berbagai macam bunga yang cantik.
Lelaki tersebut pun turun dari atas motor miliknya dan pergi ke teras rumah. Mengetuk-ngetuk pintu dan menunggu siapapun itu, keluar dari dalam sana dan membukakan pintu untuknya.
"Selamat malam, Tante." Sapa seorang lelaki berjaket hitam dan kaus polos berwarna putih di dalamnya. Ia nampak tersenyum begitu lebar kepada Jasmine. Wanita yang sudah cukup ia kenal dekat. Meskipun, baru tiga kali pertemuan mereka dengan hari ini.
"Ly, Lily?? Russell sudah datang," teriakan yang Jasmine lakukan, untuk memanggil putrinya yang baru saja turun dari lantai atas kamarnya.
Seulas senyum tipis nampak di bibir Lily. Sejak kapan ibunya itu menjadi begitu dekat dan akrab, hingga menyebutkan nama lelaki yang baru beberapa kali ditemuinya.
"Ma, Lily pergi dulu ya? Nggak apa-apa kan?" tanya Lily untuk lebih meyakinkan lagi. Apakah dirinya diizinkan pergi ataupun tidak. Setelah sempat meminta izin sebelumnya.
"Iya tidak apa-apa. Tapi ingat, jangan pulang terlalu malam ya?" pesan yang ibunya sampaikan dan disanggupi oleh Lily.
"Iya, Ma. Nggak akan lama kok," balas Lily.
"Ya sudah sana berangkat. Hati-hati di jalan," pesan Jasmine lagi. Sebelum akhirnya Lily pergi bersama dengan Russell.
"Kamu kasih apa Mamaku?" tanya Lily seraya mengenakan helm di kepalanya.
"Nggak ada. Memangnya kenapa?" tanya Russell.
"Aneh. Bisa langsung setuju aja aku mau diajak pergi sama kamu."
Russell tersenyum tipis dan menaikkan kaca helm, yang sudah melekat di kepala Lily. "Ya mungkin. Aku udah masuk ke dalam kriteria menantu idaman."
Sebuah ujaran kalimat, yang membuat Lily ingin sekali tertawa dengan keras.
Calon menantu? Apa kamu mau punya calon istri yang udah nggak suci lagi? Dan itu semua karena perbuatan kakak kamu sendiri.
Batin Lily berkecamuk hebat. Ia tidak bisa membayangkan, bila Russell tahu apa yang telah terjadi kepadanya kemarin malam.
Namun kini, ada gejolak lain yang tengah Lily rasakan. Haruskah ia tetap melanjutkan hubungan ini. Bukankah akan sangat mengecewakan bagi Russell. Bila ia mengetahui semua kebenarannya.
"Hei ngelamun!" tegus Russell seraya menyentuh hidung Lily.
"Lagi mikir apa sih? Aku nggak usah dipikirin. Kan udah ada di depan mata kamu," seloroh Russell.
Lily menggeleng pelan dan tersenyum masam. "Kalau seandainya kita putus, gimana ya?"
Pertanyaan yang membuat mood Russell seketika menjadi buruk.
"Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh. Aku kan udah minta maaf karena udah salah paham ke kamu. Jadi jangan bahas masalah putus, Ok?" pinta Russell sungguh-sungguh.
"Tapi aku serius. Kalau seandainya kita putus aja gimana?"
Russell berdecak kesal dan langsung memutar tubuhnya. Ia naik ke atas motor sport miliknya dan meminta Lily untuk segera naik.
"Ayo naik. Nanti keburu malam, malah nggak jadi pergi!" cetus Russell jengkel.
Lily menghela napas. Mungkin, ia akan mencoba untuk membahasnya lagi nanti. Dan sekarang, ia memilih untuk menuruti Russell lebih dulu, sambil melihat ke mana sebenarnya Russell akan membawanya pergi.
Di sepanjang perjalanan mereka, tidak ada saling bicara. Karena Russell yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya. Tidak ingin sampai celaka. Apalagi, ia sedang membawa gadis yang ia cintai dan juga, sudah berjanji saat di rumahnya tadi kepada ibunya, untuk menjaga Lily dengan baik.
Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu ditempuh. Kerutan yang begitu banyak muncul di dahi Lily. Karena kini, motor yang sedang Russell kendarai, menuju tempat di mana orang yang telah memangsanya tanpa ampun kemarin malam.
"Russell! Kita mau ke mana!" pekik Lily yang terdengar samar-samar. Bahkan tidak terdengar.
Tubuh Lily mendadak lemas. Ia merasakan firasat yang begitu buruk. Dan satu hal yang menjadi tanda tanya besar di dalam kepalanya.
Kenapa harus ke sini?? Kenapa dibawa ke sini??
Lily semakin tidak keruan dibuatnya. Ia ingin sekali pergi. Ingin sekali menjauh dari tempat ini. Tapi Russell malah membawanya kemari.
"Nah sudah sampai ayo turun," perintah Russell dengan begitu enteng. Namun sulit Lily lakukan.
"Kamu becanda?? Kenapa kita ke sini?? Aku mau pulang sekarang!" ketus Lily dengan napas terengah.
Baru mencapai parkiran saja napasnya sudah terasa begitu sesak. Apalagi, bila harus bertemu lagi dengan lelaki yang tidak berperasaan itu.
"Don't be afraid, Babe. Aku nggak akan berbuat macam-macam. Aku cuma mau kamu bertemu dengan kakakku. Aku mau mengenalkan kamu kepada dia."
Rentetan kalimat yang membuat Lily semakin merasakan sesak di dalam dadanya. Ia berharap tidak lagi bertemu, serta mengingat mimpi buruknya semalam. Tapi, kenapa Russell malah menyeretnya kembali, dalam mimpi buruknya??
"Russell, please. Aku nggak mau ke sini. Aku mau pulang!!"
Lily memekik keras. Kedua bola matanya sudah berair dan Russell, yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa. Tetap bersikukuh untuk membawa Lily bersamanya.
"Nggak apa-apa. Kita cuma mampir sebentar. Aku sudah cukup kenal dengan Mama kamu. Sekarang, giliran aku yang kenalkan kamu ke keluarga aku."
Russell turun dari atas motornya dan menyentuh tangan Lily, untuk membuat Lily pergi bersamanya.
Lily menggeleng cepat. Ia tidak mau. Sekali tidak tetap tidak. Hingga sebuah mobil nampak memasuki parkiran dan membuat perhatian keduanya teralihkan.
Kini, seseorang nampak turun dari dalam mobil. Ia berjalan menghampiri sepasang muda-mudi yang menatapnya. Hingga orang tersebut berdiri tepat di hadapan Russell, Lily langsung memalingkan wajahnya dan enggan menatap orang tersebut.
"Kak, kakak dari mana? Bukannya tadi bilang nggak akan pergi kemanapun?" tanya Russell kepada orang yang tidak lain adalah kakaknya, Rainer.
Rainer melirik sekilas kepada wanita yang sedang menundukkan kepalanya di atas motor. Seringai di bibirnya muncul. Sebelum akhirnya, ia kembali menatap adiknya, Russell.
"Kakak membeli beberapa camilan. Ambillah! Ada di dalam, di kursi belakang," Perintah Rainer.
Russell menurut saja dan langsung berjalan, meninggalkan Lily bersama dengan sang kakak. Sementara Rainer sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Lily dan berbisik di sana.
"Kita bertemu lagi sayang," bisiknya.