Pernah nggak kalian punya cowok sableng, koplak, cerewet, posesif pakai banget, suka ribet, suka melarang ini-itu, tapi, posisinya udah jadi mantan. Nah, gimana rasanya punya mantan yang masih sok kuasa gitu? Begitulah yang dirasakan Vena saat ini, ya sebel, ya bosen, ya gregetan. Meski sudah putus Vena masih saja suka chattingan dengan Fajar, mantannya, masih suka diajak jalan bareng, masih suka tanya ini-itu, kalau udah kayak gitu, gimana Vena bisa move on? Status aja yang mantan, sikapnya udah kayak posesif husband gitu.
"Besok lagi jangan pake baju kayak gini lagi," peringat Fajar pagi-pagi banget begitu melihat Vena turun dari mobil.
Vena langsung melihat style bajunya pagi ini, tidak ada yang terbuka, bajunya selalu tertutup.
"Baju kamu ketat Ven, aku gak suka kalo nanti ada yang pikiran buruk pas liat kamu pake baju ini, ayo sekarang kamu ganti, aku anter ya." Fajar langsung menggamit tangan Vena menuju mobil cowok itu.
Vena kaget begitu Fajar memaksanya berjalan dengan cepat. "Aduuuh, kamu jadi cowok kenapa kasar banget gini sih!" seru Vena kalap. Ya kalap dong, Nggak liat apa tangan Vena udah perih gitu saking kuatnya cengkeraman Fajar.
Cowok itu seperti baru tersadar atas perbuatannya, dia mengangkat tangan kecil di genggamannya kemudian mengecupnya. "Sorry banget Ven, tapi aku panik banget liat kamu pake setelan kerja kayak gini. Bisa kasih alasan kenapa kamu pake baju ini?"
Vena meringis. "Makanyaaa, lo kalo nggak tau asal-usulnya jangan langsung nyablak gini dong," gerutunya masih kesal, ia melirik Fajar, "baju gue abis. Belom gue cuci, tinggal ini doang sama baju putih di rumah yang tipiiiiiiiss banget." Kontan mata Fajar melotot, Vena tersenyum tipis, umpannya berhasil.
Fajar menoleh dan mengusap kepala Vena dengan sayang. "Ya udah, kamu boleh pake baju ini, nanti aku anter beli baju ya." Vena kembali meringis, bajunya di rumah masih banyak, cuma tadi ia bangun telat, Vena asal aja pilih bajunya.
Fajar itu cuma mantan, tapi perannya multifungsi, bisa jadi ibu, ayah, tempat curhat Vena, dan ... bodyguard.
"Baju kamu ketat Ta, aku gak suka kalo kamu pake baju ini!" hardik Danil pada Ita.
"Iya sayaaaang, aku nggak bakal pake baju ini lagi kok. Yang lainnya belum dicuci," jawab Ita dengan ekspresi yang nggak banget. Kemudian mereka tertawa keras. Vena melengos begitu mereka selesai memparodikan adegan pagi tadi bersama Fajar.
Danil menepuk bahu Vena turut berbelasungkawa. "Harusnya lo nggak perlu susah-susah mutusin Fajar, meskipun perannya udah hangus, dia tetep aja ngelarang lo ini-itu," ujar Danil pelan.
Vena memutar badannya menghadap Danil, kemudian tersenyum. "Itu yang namanya cinta g****k. Tapi, gue bersyukur punya cowok kayak dia, gue bisa kenyang di resto Jepang, daripada elo ngedate jauh-jauhnya beli jagung bakar lagi, jagung bakar lagi."
"Oiii, mulut lo apa nggak bisa difilter sih," teriak Danil kalap. Semua yang mendengarnya kontan tertawa, wajah Danil makin memerah saat dilihatnya Ita terpana dengan omongan Vena.
Merasa tak terima, Danil harus membalas dendam untuk memperolok Vena di depan banyak teman kerja mereka.
"Gue kasian banget sama Pak Fajar nih, ya, tau kenapa? Karena, mata Pak Fajar udah lamur sampe dia bisa...." Vena melotot ke arah Danil yang masih bicara dengan semangatnya, dia nggak tau aja, orang yang dibincangkan ada di belakang cowok itu.
"Tau apa kamu soal mata saya, sampe berani bilang mata saya lamur?" sela Fajar datar. Danil melotot, kaget banget pas dia mutar badannya, Fajar sudah berdiri dengan tatapan jutek.
Mampus!
Semua orang kembali bekerja dengan serius. Fajar menghela napas pendek, kemudian menatap cewek di balik kabin paling ujung, pojok, yang udah keliatan angker karena pemiliknya berantakin semua kertas di sana. "Vena."
Vena melongokkan kepalanya menatap Fajar yang tiba-tiba memanggilnya pas dia kerja. Bukan baru kali ini dia manggil Vena pas waktu kerja, cuma tetap saja dia enggan dilirik oleh semua tim.
"Ya, Pak."
"Masuk ke ruangan saya sekarang." Fajar melenggang cuek, diiringi helaan napas dari para tim. Gantian Vena yang harus nahan napas, dipanggil Fajar bukannya asyik karena dia bisa bebas pekerjaan, justru, berhadapan dengan Fajar dia kudu sabar dan siapkan telinga penuh. Kalau tidak siap mendengar penuh, Vena tidak akan bisa menjawab pertanyaan Fajar yang rincinya sampe hutang bulanan Vena pada siapa saja dia tanyakan.
Vena membuka ruang kerja Fajar dan menemukan pria itu duduk tenang, menatapnya dengan senyum kecil.
"Kenapa, Pak?"
Senyum Fajar menguap. Dia jadi jutek begitu mendengar panggilan Vena. "Biasa aja kali, kita ada di ruangan berdua doang, panggil aja Fajar, sayang, atau apa gitu, nggak usah formal aku bilang dari kapan tau," cebiknya.
Tuh kan, Vena memutar bola matanya dengan lagak bosan. "Yakan gue mau belajar profesional di depan lo, sampai kapan gue harus kayak gini, mentang-mentang lo atasan gue, jadi bisa seenaknya ya. Ini jam kerja, Fajaaarr."
Fajar mengusap wajahnya kemudian mengibaskan tangannya seperti memberi perintah kepada Vena, namun gadis itu masih bergeming. Fajar menatap Vena. "Saya bilang duduk, katanya mau profesional, mulai sejak sekarang panggil saya, Pak!"
Vena meringis, bahagia sekali wajahnya.
"Siap, Pak."
Fajar cengo.
"Jadi, apa tugas saya, Pak?" tersadar hal apa yang membuatnya memanggil Vena tadi, Fajar melirik paper bag berisi baju dan celana di almari membuat Fajar urung memberikannya sekarang. Ia tahu Vena sangat tidak ingin mereka lupa dengan tata cara bekerja, beginilah kalau terlalu bucin, dia sampai tidak peduli dengan keadaan di mana mereka berada, bagi Fajar melindungi Vena adalah prioritas.
"Pak," panggil Vena. Fajar menoleh. "Hm? Nggak. Nggak ada apa-apa, sudah kembali bekerja."
Meskipun rada bingung tapi akhirnya Vena bangkit dan memutar badannya, begitu sampai di depan pintu langkahnya terhenti saat Fajar berkata, "Pulang nanti tunggu di mobil saya, Ven."
Vena mengangguk lagi, kemudian menutup pintu ruang kerja Fajar. Pria itu menghela napas panjang, kenapa bisa dia tergila-gila sampai sedalam ini. Bucin yang mendarah daging.
Menyesalnya lagi ia sudah menjadi seorang mantan, yang nggak bisa berbuat banyak untuk melarang dan melindungi Vena, kenangan dengan Vena malam itu kembali menghempasnya, memberikan satu luka yang belum mengering dan tidak akan pernah bisa dilupakan olehnya.
Apakah sikap posesifnya ini membuat Vena menjadi tertekan? Tapi, dadar Fajar, justru dia mengedikkan bahu dengan pemikirannya. "Siapa bilang tertekan? Vena tuh gue jaga, nggak mungkin dia tertekan, gue kan jaga dia udah kayak bodyguard tanpa bayaran."
Pandangan Fajar terlempar keluar, menatap gadis itu dalam sorot rindu dan penuh penyesalan, karena setelah mereka putus, Vena jadi lebih aktif sama teman cowoknya, gandengan tangan, say hello, atau sekadar bercanda dengan Danil. Itu benar-benar bikin Fajar nyaris murka!
Vena sendiri tidak ingin ambil pusing dengan sikap Fajar, ia harus bisa melarikan diri dari Fajar sejauh-jauhnya, sampai tidak tergapai, karena dekat dengan Fajar itu persis kayak presentasi buat proyek besar, mikirnya bikin tertekan. Hanya saja, kali ini ia belum menemukan cara yang tepat untuk mengusir Fajar, mendepaknya jauh-jauh sekalian jangan sampai muncul di hadapannya lagi.
Cara yang paling tepat untuk mengusir Fajar adalah dengan bersikap egois, berontak, dan keras kepala, atau sekalian saja bikin Fajar membencinya. Dengan begitu Vena tak perlu lagi meminta Fajar untuk jauh-jauh darinya.
Melihat Fajar menatapnya dengan sorot ingin, Vena gantian duduk di samping Alex, merangkul leher pria itu dan mendekatkan tubuhnya pada Alex. "Heh! Lo ngapain, Ven?"
Alex itu takut kalap, badannya suka gemetar kalau di dekati Vena, alasannya cuma satu, pawangnya Vena itu bukan cuma preman, tapi kepala mafia Rusia. Sekali nyentuh Vena bakal disenggol bacok.
Vena mendesis, "Lo nggak usah takut deh. Gue cuma mau liat apa yang lo kerjain."
Alex mendesah panjang. Ngomong kok sama Vena, susah! Bebal dia tuh, bandel. Suka bikin emosi.
"Gue mau nyiapin surat resign dari sini deh, sebelum Pak Fajar berniat mecat gue," keluh Alex yang kemudian disambut tawa satu ruangan.
Vena nyengir begitu melihat Fajar memalingkan mukanya. Vena kok dilawan!
Tanpa Vena sadari, pria di dalam ruangan itu menekan kembali rasa sakitnya, masih segar dalam ingatannya bagaimana upaya keras Vena menjauh darinya.
***
"Ven jangan lupa makan, jangan lupa abis isya' sholat terus tidur, cuci muka, bersihin badan, terus baru tidur ya," pesannya setiap malam, on time setiap pukul tujuh malam.
Vena merengut. "Aku mau keluar bentar, mau cari angin di luar, pengen refreshing bentarlah," lirihnya.
Fajar yang lagi lembur langsung kaget mendengar ucapan Vena. Tidak biasanya Vena minta keluar, anak polos yang cerewetnya cuma sama Fajar, tapi, kalau dengan anak lain suka ngomong pedes ini mengutarakan kebosanannya di rumah.
"Sayaaang, bukannya aku ngelarang kamu, tapi aku lagi kerja, lembur nih, jangan keluar sekarang ya," pintanya halus, "atau gini aja, besok aku ajak jalan semau kamu ke mana aja. Asal jangan malem, waktu malem buat istirahat."
Vena memonyongkan bibirnya dengan kesal. Ya kesal lah, dia bukan lagi anak SMA yang bisa kapan saja hilang karena terlalu imut. Bukan juga anak sekolah yang harus disuruh tidur cepat besok sekolah. "Jaaarr, aku perginya barengan Ita loohh, kamu nggak mau aku bisa jalan sama temen?" rayunya lagi.
"Hm."
Vena melirik Fajar di layar ponselnya, cowok itu masih saja diam menatap berlembar-lembar kertas kerja. "Pokoknya aku mau pergi bareng Ita sama Danil, titik."
Vena memutus komunikasi sepihak, Fajar kelabakan begitu mendengar ada nama Danil di sana. Kenapa harus ada pria lain yang bersama Vena? Tidak bisa dibiarkan.
Fajar bergegas mengambil kunci mobilnya langsung ngebut begitu dia mengingat kata terakhir Vena. Gadis ini tidak boleh dekat dengan pria lain. Meskipun statusnya pacar Ita, Danil ini cukup bahaya buat sekadar teman jalan Vena. Danil humoris, supel, apalagi mereka sudah lama dekat, yang namanya cowok, punya satu pacar itu sudah nggak zaman lagi. Jadi, kekhawatiran Fajar sudah beralasan jelas, kan?
Bagaimana kalau Danil suka dengan Vena?
***