Kapal Yang Oleng

1040 Words
-8- Ivana terbangun saat sentuhan lembut menyentuh lengannya. Perempuan itu menoleh dan beradu pandang dengan sepasang mata tidak terlalu besar milik Zayan yang memancarkan keteduhan. "Salat bareng, yuk!" ajaknya. Ivana mengangguk pelan, kemudian bangun dan bertumpu pada siku. Menatap punggung sang suami yang jalan memasuki kamar mandi. Kemudian Ivana merapikan rambut dan mengikatnya asal dengan pita rambut ungu. Perempuan itu menguap beberapa kali sambil mengedarkan pandangan ke luar jendela. Di sana langit masih gelap. Lampu teras belakang pun belum padam. Saat Zayan keluar dengan wajah yang basah, Ivana bergerak menuju kamar mandi untuk menyelesaikan panggilan alam dan tak lupa untuk mengambil wudu. Beberapa menit kemudian, kedua pasangan pengantin baru itu sudah bersiap melakukan salat berjamaah dua rakaat. Seusai salat Zayan duduk bersila lebih lama. Ivana merasa sedikit penasaran dengan doa yang dipanjatkan sang suami, karena sepertinya hal tersebut berlangsung cukup lama. "Mas doa apa sih?" tanyanya dengan rasa penasaran tingkat tinggi, sembari mengemaskan perlengkapan salat dirinya dan Zayan. "Mau tau aja atau mau tau banget?" canda Zayan. Dia menyunggingkan senyuman saat melihat Ivana mengerucutkan bibir. "Mas berdoa supaya rumah tangga kita tenang dan damai. Serta segera diberikan anugerah terindah dari Tuhan," jelasnya sembari duduk di pinggir tempat tidur. "Aamiin." "Satu lagi, supaya kamu dan Dahayu bisa akur. Bekerja sama menstabilkan kapal milik mas yang sedikit oleng," lanjut Zayan yang membuat Ivana tertegun. Perempuan itu menghela napas berat. Kemudian menatap jendela yang gordennya terbuka sedikit. Di luar sana suasana mulai terang. Matahari muncul perlahan untuk menjalankan tugas menerangi bumi. "Aku ... nggak pernah mengira, akan menikahi seorang pria beristri," ucap Ivana dengan pelan. "Andai bisa mengubahnya, aku nggak mau seperti ini," lanjutnya yang membuat hati Zayan tercubit. Pria itu melingkarkan tangan di pinggang sang istri. Menggeser tubuh hingga menempel dan mengecup puncak kepala Ivana dengan lembut. "Maaf," bisiknya. "Mas awalnya juga merasa terpaksa harus melakukan ini. Tapi ini satu-satunya jalan agar keluarga kami punya penerus. Dan mas yakin, kamu adalah orang yang tepat sebagai ibu dari anak-anak mas." "Kalau misalnya aku juga mengalami hal yang sama dengannya, apakah Mas akan menikah kembali untuk yang ketiga kalinya?" Zayan terdiam sesaat, berpikir keras mencari jawaban terbaik untuk menjawab pertanyaan istrinya. "Kalau memang begitu kenyataannya, mas nggak mau nikah lagi." "Kenapa? Keluarga Mas kan pengen punya penerus?" "Cukup kita bertiga aja yang dilingkari kesulitan seperti ini. Jangan melibatkan orang lain lagi. Masalah penerus ... mas bisa mengadopsi anak Berliana aja, agar nama mas bisa tercantum sebagai ayahnya." Ivana menoleh dan memandangi pria di sebelah. Tangan kirinya terulur dan mengusap pipi Zayan dengan pelan. Pria itu memejamkan mata dan menikmati sentuhan sang istri. Merasa senang karena Ivana ternyata merupakan perempuan yang sangat pengertian. "Saat ini, siapa yang berada dalam pikiran Mas. Aku atau mbak?" tanya Ivana tanpa tedeng aling-aling. Zayan terkesiap, berusaha sedapat mungkin untuk bersikap tenang, walaupun sebetulnya hatinya langsung berdebar kencang. Dia sedikit takut kalau Ivana bisa merasakan kegundahan hatinya saat ini. "Tadi malam Mas memintaku untuk belajar mencintai Mas. Aku nggak akan bisa melakukan itu, bila hanya mendapatkan tubuh Mas di sini, tetapi jiwa Mas di sana," lanjut Ivana yang membuat Zayan terperangah. Dengan cepat dia merangkum wajah sang istri dan menggeleng pelan. Merasa terenyuh saat melihat sepasang mata sipit beriris cokelat itu berkaca-kaca. Seolah-olah siap untuk menumpahkan tangisan. "Apakah kamu merasa sikap mas begitu?" tanyanya. Merasa sedikit menyesal saat melihat perempuan itu mengangguk. Zayan menarik kepala Ivana dan merebahkannya di bagian tengah tubuh. Mengusap rambut dan punggung sang istri dengan pelan sambil berujar,"maaf, mas sama sekali nggak bermaksud begitu. Tolong beri mas waktu agar bisa memisahkan hati buat kalian berdua. Bisakah?" Ivana tidak menjawab. Batinnya pun merasa sedih dengan kondisi seperti ini. Air matanya menetes membasahi pipi. Sedikit terkejut saat jemari Zayan menyusut aliran air asin itu dengan pelan. "Jangan menangis, nanti orang lain yang lihat mata bengkak itu mikir kamu dipaksa nikah sama mas," candanya yang tak urung membuat Ivana tersenyum. "Tinggal pakai kacamata hitam buat nutupin," kilahnya. "Hmm ... sepertinya itu bukan ide yang buruk. Tapi mungkin lebih baik bila tidak ada mata panda di antara kita." Ivana tersenyum lebar menanggapi ucapan suaminya. Sifat humoris Zayan ini baru diketahuinya setelah menikah. Sebab saat masih menjadi karyawan di hotel milik Zayan, Ivana hanya beberapa kali bertemu langsung dengannya. Bahkan, mereka hanya saling menyapa dan tidak pernah mengobrol. "Kita joging, yuk!" ajak Zayan. "Nanti langsung sarapan, baru siap-siap buat jalan-jalan," sambungnya. "Aku lupa bawa sepatu olahraga," timpal Ivana sembari melepaskan pelukan. "Ya udah, jalan santai aja. Di luar udah terang." *** Kedua pasangan pengantin baru itu melangkah pelan sambil bergandengan tangan. Zayan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya dan menyimpannya di rongga d**a. Berandai-andai bisa memindahkan udara segar dan sejuk ini untuk menemaninya di Jakarta. Ivana jalan sambil mengedarkan pandangan. Sesekali dia mengomentari aneka bunga yang bermekaran di sepanjang sisi jalan resort. Binar matanya yang sangat hidup tak urung membuat Zayan terpukau. Pria itu sama sekali tidak menyangka bila dirinya bisa mengagumi perempuan lain selain Dahayu. "Ehm ... Na, Dahayu kemarin nanya, kamu suka furniture yang seperti apa," ujar Zayan. "Furniture? Aku suka yang simpel aja, Mas. Yang penting fungsinya, bukan penampilan," jawab Ivana. "Ehh, mbak Dahayu nanyain buat apa?" tanyanya dengan sorot mata bingung. "Buat rumahmu. Jadi pas kita datang nanti, rumah sudah siap ditempati." Ivana manggut-manggut. "Oh, kalau buat itu, mungkin untuk sementara aku minta disediakan tempat tidur aja dulu. Selebihnya nanti aku yang beli sendiri. Boleh kan?" Zayan berhenti sesaat, memandangi raut wajah sang istri yang tengah sibuk merapikan rambutnya yang beterbangan ditiup angin. "Boleh, tapi mas nggak bisa nganterin. Nggak apa-apa?" Ivana sontak menoleh. "Nggak apa-apa, aku tau Mas sibuk. Tapi ada yang bisa nganterin nggak? Aku kan nggak tau mau ke toko mana. Masih buta soal arah Kota Jakarta." "Iya, nanti mas minta tolong Berli buat nemenin kamu. Atau asisten mas." "Mas Adam?" "Bukan, tapi Laras. Kalau Adam lagi sibuk sama proyek baru bareng Ferdi." Keduanya kembali melanjutkan perjalanan hingga kaki terasa letih. Zayan mengajak Ivana untuk duduk-duduk di bangku taman, yang letaknya tidak terlalu jauh dari restoran hotel. "Na, pulang dari Bandung, kamu nanti ditemani mbok Sarni dan mang Dirman di rumah. Mereka sepasang suami istri yang sudah bekerja lama pada ibu," imbuh Zayan. "Oke, nggak apa-apa. Mas mau langsung ke rumah mbak, ya?" Zayan mengangguk mengiakan. Tanpa menyadari tindakannya itu membuat sudut hati Ivana terasa pedih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD