-2-
"Ayah tinggal dulu, kalian silakan ngobrol," ujar Pak Harja sambil berdiri dan jalan menjauh.
Bu Hanna menarik lengan Alisha, mengikuti langkah suaminya yang telah lebih dulu memasuki ruang tengah.
Ivana masih berdiri di tempatnya. Menenangkan hati yang mendadak berdenyut tak karuan. Merasa gugup ditinggal berduaan dengan bos-nya.
Zayan berdiri dan meminta Ivana untuk duduk di sebelah. Namun, gadis itu menggeleng dan memilih duduk di kursi seberang.
Suasana hening yang tercipta membuat debaran jantung Ivana menggila. Gadis itu berulang kali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap hal tersebut bisa membuatnya lebih tenang.
"Kamu mau ngomong apa, Na?" tanya Zayan dengan suara khasnya yang berat.
"Ehm, itu, Pak," jawab Ivana dengan pelan.
"Mas."
"Ha?"
"Panggil Mas, jangan Bapak."
"Oh, oke, Mas Zayan. Ehm, begini ... apa Mas benar-benar ingin menikahi saya?" tanya Ivana dengan hati-hati.
Sesaat Zayan tertegun, kemudian mengangguk membenarkan. "Iya, aku ... akan menikahimu," jawabnya.
"Demi mendapatkan keturunan," sambung Ivana.
"Dan demi menjaga kehormatan dan hubungan baik keluarga kita," timpal Zayan.
Ivana menunduk dan memainkan jemarinya dengan gugup. Nyaris terlonjak saat merasa sofa di sebelahnya tertekan oleh tubuh tinggi Zayan.
"Aku ... sangat mencintai Dahayu. Tapi kami tidak bisa punya keturunan. Hal ini yang membuat keluarga heboh dan memintaku menikah kembali," ujar Zayan.
"Lalu, kenapa memilihku?" tanya Ivana dengan suara pelan.
"Bukan aku yang milih, tapi Dahayu. Saat dihadapkan situasi pelik sejak ... rahimnya harus diangkat, keluargaku sudah mendesak agar aku menikah kembali," jelas Zayan.
"Satu tahun lebih kami mencoba meyakinkan keluarga bahwa aku akan memilih istri keduaku sendiri. Sudah beberapa perempuan yang kami perkenalkan pada orang tua dan nenek, tapi tidak ada satupun yang mereka setujui."
"Hingga akhirnya beberapa bulan lalu, Dahayu melihatmu di pesta pernikahan Alisha. Dia mengutarakan niat untuk memintamu menjadi istriku. Dan keluargaku langsung setuju," lanjut pria tersebut dengan tatapan menerawang.
Ivana memperhatikan pria berahang kokoh di sebelah kiri itu dengan lekat. Sedikit terenyuh dengan kegundahan yang tersirat dari paras tampan pria tersebut. Ternyata pria itu juga merasa terpaksa melakukan ini. Mereka dan tentu saja Dahayu, menjadi orang-orang yang terkungkung oleh satu kata yang bernama takdir.
"Aku tidak akan memaksa bila kamu menolak, Na," ucap Zayan sambil menoleh. "Katakan saja terus terang besok di depan keluargaku. Semoga mereka bisa menerima keputusanmu," sambungnya seraya menyunggingkan senyuman tipis yang membuat Ivana tertegun.
***
Keesokan harinya.
Langit biru yang indah menghiasi hari. Udara yang masih sejuk membuat suasana terasa nyaman. Gemericik air dari kolam ikan kecil di sudut halaman mewarnai hari yang cerah.
Di kediaman Pak Harja, tampak beberapa orang tengah membereskan ruang depan dan teras. Kain dan pita berwarna-warni dipasang, bunga-bunga yang harum memenuhi sudut ruangan.
Di car port, tampak beberapa orang perempuan yang tengah menyiapkan berbagai hidangan dan kursi untuk para tamu. Kesibukan terpusat di bagian dapur, dengan Mbok Ilah sebagai ketua juru masak yang sibuk mengatur semua asistennya.
Sementara di dalam kamar yang berada di seberang ruang tengah, Ivana tampak sedang didandani oleh Santi, sahabat Alisha yang berprofesi sebagai penata rias profesional.
Di sofa dekat jendela, Alisha tengah mendandani sang ibu. Dengan berbekal ilmu tata rias yang dipelajarinya dari Santi, Alisha sudah cukup mahir mendandani orang lain.
"Bu, tamunya sudah datang," ujar Raid setelah membuka pintu.
"Ayo, Lis, buruan." Bu Hanna mulai panik.
"Ini udah beres, Bu," sahut Alisha sambil menjauh dan memeriksa dandanannya sendiri melalui cermin besar di lemari.
Bu Hanna bergegas berdiri dan jalan ke luar. Menyempatkan untuk merapikan gaun panjang biru muda berpayet indah yang dikenakan. Tak lupa untuk mengecek jilbab biru kombinasi putih yang menghiasi kepala, di cermin dekat ruang tengah.
Pak Harja dan Dzaki, serta kedua adik Pak Harja telah berdiri di teras untuk menyambut kedatangan keluarga Firman Hatim.
Zayan berdiri di tengah barisan dengan menggandeng tangan Dahayu. Kedua pasangan itu sesekali beradu pandang dengan sorot mata sayu. Zayan mengulaskan senyuman untuk menenangkan sang istri.
Dahayu membalas dengan senyuman yang tampak dipaksakan. Perempuan berjilbab merah muda itu berusaha menampilkan wajah santai. Berharap hatinya yang sakit tidak terdeteksi oleh orang lain.
Tidak ada perempuan di dunia ini yang bersedia untuk dimadu. Namun, Dahayu harus menelan pil pahit ini. Dia tidak bisa bersikap egois, karena suaminya adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga Hatim. Bila Zayan tidak memiliki keturunan, maka bisa dipastikan bahwa garis keluarganya akan tamat.
Untuk itulah Dahayu mengorbankan kebahagiaannya demi kelangsungan keluarga sang suami. Walaupun sakit, tetapi hanya ini jalan satu-satunya yang bisa ditempuh.
Sebetulnya, Zayan dan Dahayu pernah berencana untuk mencari perempuan yang mau mengandung anak Zayan tanpa harus menikah. Namun, hal tersebut ditentang keras oleh keluarga Zayan.
"Dosa besar itu. Sama saja dengan zina!" Pak Firman Hatim jelas-jelas mengatakan itu, saat Zayan mengungkapkan rencananya beberapa tahun lalu.
"Ibu lebih setuju bila kamu menikah lagi, Mas. Tidak melanggar aturan agama, dan jelas lebih terjaga nantinya," timpal Bu Laksmi mendukung perkataan suaminya.
"Tapi, Bu, mas cintanya sama Dahayu." Zayan mencoba meyakinkan orang tuanya, tetapi hal tersebut malah semakin membuat sang ayah marah.
"Menikah kembali, atau menceraikan Dahayu. Itu saja pilihanmu saat ini!" tegas Pak Firman Hatim dengan mata berkilat menahan emosi.
Dahayu yang mendengar perdebatan itu dari balik pintu ruang kerja mertuanya, hanya bisa menutup mata dan mengusap bagian tengah tubuh. Bulir bening luruh dari sepasang mata beriris hitam tersebut. Mengalir deras membasahi pipinya.
Semenjak saat itu, Dahayu terus-menerus meyakinkan diri, bahwa keputusan keluarga suaminya itu merupakan hal terbaik untuk mereka. Meskipun itu artinya dia harus ikhlas dimadu, tetapi setidaknya dengan begitu dia bisa tetap menjadi istri Zayan, pria pemilik hatinya sejak dulu.
***
Ivana yang hadir dengan mengenakan gaun terusan biru muda dan riasan alami itu tampak sangat cantik. Dahayu menyambut kedatangan calon madunya itu dengan hati yang tak menentu. Antara sedih bercampur haru yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Acara lamaran dimulai dengan kata sambutan dari Pak Harja, yang dibalas dengan kata-kata mutiara dari Pak Firman Hatim. Selanjutnya, Zayan dipersilakan untuk memberikan hantaran lamaran pada Ivana.
"Bila kamu ingin menolak, sekaranglah saatnya," bisik Zayan saat mengulurkan kotak berhiaskan pita merah muda itu ke tangan Ivana.
Sesaat kedua insan itu saling beradu pandang. Ivana memutus pandangan dengan memejamkan mata dan mengembuskan napas berat. Membuka matanya dan kembali menatap seraut wajah tampan yang masih menunggu di hadapan.