Bagian 3

1770 Words
Hanya butuh beberapa hari - bahkan mungkin beberapa jam untuk membiasakan diri dengan kemewahan yang ditawarkan Jim. Kali pertama Jim membawanya ke dalam rumah itu, Rita benar-benar terpukau dengan kemewahannya. Tidak seperti apartemen lamanya, rumah itu menawarkan kenyamanan yang sebelumnya tidak ia dapatkan. Segalanya diatur dengan rapi di sana: mesin pemanas air, sebuah bathup, kaca-kaca besar di ruang ganti pakaian, sebuah sekat kecil di lantai atas dengan kursi yang mengarah ke jendela yang terbuka, pemandangan indah di balik kaca jendela. Bahkan, Jim memiliki perpustakaanya sendiri. Keluarga Foster telah memastikan rak-raknya terpenuhi oleh buku-buku. Karena Rita tidak menaruh ketertarikan besar pada kegiatan membaca, buku-buku itu akhirnya tak tersentuh, berdiri di tempatnya selama berbulan-bulan dan diselimuti debu. Perpustakaan itu hanya digunakan Jim sebagai tempat bekerja. Sisanya, ada begitu banyak ruangan kosong yang tak terpakai. Rumah itu dapat dikatakan terlalu besar untuk ditempati dua orang, namun Jim menolak untuk menjualnya dan membeli rumah yang lebih sederhana. Sama seperti barang-barang yang mengisi sebagian besar ruang di dalam bangunan itu, rumah itu merupakan aset keluarga Foster. Richard, ayah Jim, tidak kekurangan selera seni. Ia mencintai segala keindahan bentuk dan menganggapnya sebagai aset yang tak ternilai. Jim pernah mengatakan bahwa ayahnya benar-benar merangkak sendirian untuk membangun semua kekayaan yang dimilikinya saat ini. Laki-laki itu seorang pekerja keras dan tidak ingin siapapun menyia-nyiakan hasil kerjanya. Ia telah menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarganya dan menentang siapapun yang berniat melanggar. Tampaknya Jim dibesarkan dengan didikan keras. Kelembutannya adalah sesuatu yang dipertanyakan Rita. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu romantis dapat menyeretnya ke dalam lingkaran penuh aturan ini. Bagaimanapun, kebisuan telah menjawab segalanya. Dalam keheningan yang kosong di ruang duduknya, Rita menatap jam dinding, memerhatikan jarum jam bergilir memutar kemudian ia memeriksa ponselnya. Jim pergi beberapa menit yang lalu. Segera setelah ban rodanya melesat meninggalkan halaman rumah, Rita membenahi bekas peralatan makan Jim dan meletakkannya di bak pencuci piring. Ia menuang poci teh untuk dirinya kemudian duduk sembari memandangi ponselnya. Tiba ketika keheningan itu menyelimutinya, ia selalu merasa mendengar suara angin yang menderu-deru. Dari balik kaca jendela, ia menyaksikan belahan langit utara meninggalkan wilayah itu dan sebagai gantinya musim panas telah merangkul setiap sudut jalan. Langit-langit cerahnya tampak kosong, jendela-jendela rumah di seberang taman tertutup rapat. Rita dapat mencium aroma mangnolia yang khas dari kebunnya, aroma yang mengingatkannya tentang perkebunan di alaska tempat dimana ia lahir dan di besarkan. Sepanjang musim kemarau, Rita menghabiskan waktunya untuk melatih kemampuan baletnya. Dapat dikatakan ia telah mendikasikan hidupnya di teater. Kemampuannya mengungguli seluruh balerina yang ada, dan panggung adalah hidupnya. Bertahun-tahun ia merasakan cahaya lampu menyorot wajahnya sementara tubuhnya bergerak dengan leluasa di atas panggung. Rita menyukai permainan musik dalam setiap tariannya, mempelajari gerakan-gerakan rumit dan ketegangan yang dialaminya setiap gladi bersih. Pelatihnya pernah mengundang Rita makan siang pada musim panas tahun lalu. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir ketika Rita menemui seseorang tanpa sepengetahuan Jim. Tapi ia dan Harold sudah seperti keluarga. Harold mengatakan maksudnya dan membujuk Rita untuk kembali bermain di panggung teater. Rita tidak pernah mengakuinya, tapi ia adalah aset besar Harold. Penampilan pertamanya dalam teater yang membawakan kisah klasik ‘putri angsa’ berhasil membawa keuntungan besar. Sejak saat itu, Harold sering menampilkannya sebagai peran utama pada proyek besarnya. Rita mendapat bayaran yang layak, ia diberi tempat tinggal dan biaya kehidupannya ditanggung oleh Harold – setidaknya sampai Rita bertemu Jim. “Sayang sekali suamimu memiliki terlalu banyak uang untuk diamburkan,” kata Harold dalam pertemuan mereka siang itu. Rita baru saja memesan burger cheese ukuran sedang untuk dirinya, sedangkan Harold hanya memesan kopi karamel. Mereka duduk dan mengobrol selama beberapa jam dan dalam setiap kesempatan yang ada Harold selalu membujuknya untuk kembali. Namun, seiring berjalannya waktu laki-laki itu menyadari bahwa Rita tidak akan mengubah keputusannya hingga Harold menyerah dan memutuskan untuk sekadar melewati obrolan santai untuk melepas kerinduan semasa mereka masih bekerja di belakang panggung yang sama. “Bagaimana Nina?” Seorang balerina lainnya yang dinikahi Harold pada akhir musim semi dua tahun yang lalu, selalu tampil mengesankan di atas panggung. Nina baru benar-benar berhenti dari panggung ketika mengetahui dirinya tengah mengandung anak Harold. Samar-samar Rita masih mengingat bayi laki-laki yang sehat itu. Warna matanya persis seperti Harold, namun kulitnya sepucat Nina. “Semuanya baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apa kau tidak merindukan panggung?” Rita menyeka sisa saus di sudut bibirnya. Ketika seorang pelayan baru saja membawakannya segelas air lemon dingin, Rita langsung menenguknya dengan bersemangat. Nafsu makannya tidak pernah sebesar itu ketika berada di rumah. Harus ia akui, Rita merindukan hidangan-hidangan di kedai-kedai kecil favoritnya. Jim, entah bagaimana, menaruh ketertarikan besar pada makanan cina. Laki-laki itu memenuhi kulkas mereka dengan makanan cina dan Rita nyaris kehilangan selera. “Aku akan terbiasa.” “Kau kelihatan berbeda,” komentar Harold. “Apa?” Laki-laki itu menunjuk rambut Rita. “Sejak kapan kau menyukai potongan rambut pendek dan.. pirang?” Secara impulsif, Rita menyentuh rambutnya. Potongan rendah di atas bahu adalah ide Jim dan seolah itu belum cukup buruk, laki-laki itu meminta Rita untuk mengubah warna rambutnya menjadi pirang sempurna. Rita menyukai rambut gelap, Jim tidak menyukainya, jadi Rita harus mengubahnya. “Ini ide Jim.” “Suamimu memiliki selera yang tinggi. Kau seharusnya melihat dirimu.” Kemudian situasi canggung itu terjadi begitu saja ketika Harold mencondongkan tubuhnya ke arah Rita, dengan sengaja memojokkan Rita di tempatnya. Laki-laki itu, yang penuh dengan guyonan konyol, tiba-tiba menjadi begitu serius dan Harold benar-benar menjadi seseorang yang berbeda. Mungkin, karena mereka sudah tidak bekerjasama lagi untuk waktu yang cukup lama. “Maaf jika aku bertanya, tapi Rita.. apa kau bahagia dengan pernikahanmu?” Rita terpaku di kusinya, bingung untuk memberi jawaban. Pendekatan Harold tidak pernah berubah. Laki-laki itu tidak akan kesulitan untuk mengungkapkan kata-katanya dan cara terbaiknya adalah menyentuh inti dari topik itu secara langsung. Tapi pertanyaan itu masih menyisakan celah hingga sekarang. Rita memikirkannya nyaris setiap malam, hingga tanpa sadar tahun telah berganti dan semakin ia memikirkannya, semakin ia larut. Ponselnya kemudian berdering, dan panggilan yang ia nanti-nantikan akhirnya muncul. David Kovacs muncul dalam panggilan-panggilan di ponselnya dalam beberapa hari terakhir. Kedekatan mereka tak terhindarkan. Laki-laki itu, yang hanya berusia satu tahun lebih muda darinya, adalah penari balet andalan Harold di panggung yang sama sebagai aktor. Rita, David dan Harold dapat dikatakan menciptakan sebuah keajaiban di atas panggung. Ketertarikannya pada David bukanlah sesuatu yang dirasakannya dulu ketika mereka masih berada di panggung yang sama. David tidak lain seperti penari balet lainnya, rekan kerja yang tidak akan dipikirkan Rita ketika ia hendak pergi tidur. Segalanya berubah persis sejak satu bulan yang lalu ketika mereka secara tidak sejanga bertemu di jalan. Hari itu, tepat di kamis pagi, Rita baru saja menghadiri kelasnya ketika David melihatnya berkeliaran di sekitar halte. Awalnya, laki-laki itu mengatakan nyaris tidak mengenali Rita dengan tampilan barunya, namun satu hal yang diketahui Rita bahwa tidak ada yang benar-benar berubah dari David. Pria pendiam itu dikenal memukau. Mereka jarang mengobrol kecuali karena pekerjaan. Dan siapa sangka David benar-benar mengikutinya, diam-diam menghubungi Rita melalui telepon dan mengatakan keinginannya untuk bertemu secara gamblang. Awalnya Rita menolak. Gagasan untuk meninggalkan rumah dan menemui laki-laki lain adalah hal konyol yang akan memicu amarah Jim. Kemudian pemikiran itu berubah beberapa minggu yang lalu. Dengan alasan konyol ia berpikir bahwa (mungkin) dirinya membutuhkan suasana baru. Rita dapat menunda kesenangannya selama satu pekan untuk menemui David. David mengusulkan pertemuan di restoran berbintang, namun Rita menolaknya dan mengatakan bahwa tempat itu terlalu mencolok mengingat seseorang di dalam restoran itu bisa saja mengenali wajahnya. Jadi mereka pergi ke sebuah restoran kecil, sangat jauh dari keramaian kota dan hanya menyajikan makanan yang bisa mereka dapatkan dengan harga murah. Setiap kali pulang terlambat, Rita memberi alasan pada Jim bahwa jadwal kelasnya tertunda sehingga ia harus pulang lebih lambat. Menghadiri sebuah perkumpulan selalu menjadi alasan yang tepat untuk menghindari kecurigaan Jim. Lagipula, Rita tidak memiliki tujuan lain selain mengobrol dengan teman lamanya – setidaknya untuk saat itu sebelum segalanya berubah. “Apa yang kau katakan pada suamimu?” tanya David pada pertemuan pertama mereka. Rita merasa takut, disisi lain merasa tergugah. Perselingkuhan tidak pernah terbesit dalam benaknya. Ia mencintai Jim, menganggumi laki-laki itu segenap hatinya. Pernikahan mereka begitu sempurna dan Jim sangat berhati-hati dalam memperlakukannya. Rita juga memercayai Jim: cara laki-laki itu menjaganya, memastikan kebutuhannya terpenuhi, menyenangkannya di atas ranjang. Jim adalah pasangan yang sempurna – tipikal laki-laki yang diharapkan wanita manapun. Untuk satu alasan konyol, Rita kesulitan membayangkan Jim berhubungan dengan wanita lain selama pernikahan mereka. Gairah laki-laki itu tidak pernah surut, caranya memandangi Rita masih sama seperti perjumpaan mereka dan Jim tidak akan berpikir duakali untuk memberinya kesenangan. Tapi Jim memiliki aturan, sebuah kesepakatan mutlak yang tidak harus dipatuhinya jika ia hidup bersama David. Setelah mengobrol cukup banyak, sikap David terkesan konyol dan terbuka. Jauh dari kesan pertama ketika mereka masih menjadi rekan kerja, laki-laki berdarah prancis itu sama sekali bukan pendiam. David memiliki selera humor yang tinggi, tampang yang menarik, keterbukaannya yang membuat Rita nyaman dan yang selalu dirindukannya adalah aksen prancis-nya yang kental. David memberitahunya bahwa laki-laki itu lahir dan dibesarkan di Prancis selama belasan tahun. Ia menempuh studi di sana sebelum memutuskan untuk pindah ke Denver dan memulai perjalanan kariernya sebagai penari balet. Hubungan David dan Harold sudah cukup dekat. Harold adalah pembimbingnya, dan David telah menjadi penari favoritnya selama bertahun-tahun. Laki-laki itu memiliki pengalaman menari di atas panggung selama belasan tahun dan kemampuannya sudah tidak lagi dipertanyakan. Kemudian Harold menemukan Rita, namun posisi David tidak berubah. Ia tetap menjadi penari panggung yang dipercayainya. Bahkan setelah Rita hengkang bertahun-tahun lalu, hubungan David dan Harold masih berlangsung mulus. “Semuanya berubah sejak kau meninggalkan teater,” aku David terang-terangan. Rita merasakan wajahnya memerah, hawa panas menjalar naik ke punggungnya ketika laki-laki itu meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Rita. Sikapnya berubah konyol. Ia telah melakukan sebuah kesalahan dengan memikirkan David ketika bercinta dengan Jim semalam. Namun, Rita tidak pernah mencapai batas pikiran liarnya yang seperti itu dan ada sebuah kepuasan tersendiri, hasrat yang mendorongnya untuk masuk lebih jauh. Bermandikan cahaya lampu-lampu redup di restoran itu, Rita dapat menyaksikan David mencondongkan tubuhnya, berdeham ketika mereka dilanda keheningan untuk waktu yang lama. “Sebaiknya kita bertemu lagi.” “Apa?” Rita nyaris menertawai dirinya. Ia merasa semakin tua namun bertingkah seperti remaja konyol yang sedang kasmaran. “Aku selalu menerima usulanmu untuk bertemu di tempat ini, aku juga ingin mengusulkan sebuah tempat yang bagus.” “Tempat bagus apa?” “Kau tahu Sloan Lake? Itu tempat yang indah.” Sebelah mata David berkedip dan Rita tidak bisa menahan seringainya. “Ya, itu tempat yang indah.” “Kita bertemu di sana besok.” “Tidak bisa besok. Minggu depan.” “Oke.”  - PUNISHMENT
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD