“Menikahlah denganku, Ran.” Suara bariton yang lembut itu mengalun di udara dan berembus ke telinga Ran. Kalau dia tidak salah dengar, pria asing yang tengah duduk di hadapannya ini baru saja menyatakan sebuah lamaran.
Ran langsung hilang dalam pikirannya.
Hidup Ran tidak pernah baik-baik saja
Setiap hari, dia selalu merasa seolah-olah berlari dengan rantai di lehernya.
Semenjak kematian orang tua angkatnya, Ran hidup sederhana di rumah kontrakan kecil bersama seorang adik yang baru memasuki usia remaja. Semenjak masih di sekolah, Ran bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Lalu kemudian Ran lulus dan tidak berniat melanjutkan pendidikannya dikarenakan biaya dan tanggung jawab besar yang dia emban.
Ran akan melakukan apa pun untuk masa depan adiknya, Evan Danar.
Tapi ‘apa pun’ itu, bukan berarti dia akan menjatuhkan harga dirinya sendiri. Sekalipun di mata masyarakat dia adalah Ran Sidra si penggoda lelaki orang, tapi nyatanya dia adalah perempuan yang menjunjung tinggi harga diri dan kehormatannya.
Itulah kenapa, saat ini, dia merasa begitu marah ketika pria asing yang duduk dengan ekspresi datar dan sikap arogan di hadapannya menyatakan sebuah ajakan pernikahan, seenteng seolah mereka tengah berbicara tentang cuaca saja.
Dan kebetulan, cuaca di luar sedang mendung, sebentar lagi hujan lebat diiringi petir pasti akan turun, persis seperti suasana hati Ran.
Ran tidak mengenal pria itu.
Walau sepertinya, si pria begitu mengenal Ran.
Semenjak kejadian malam di mana Ran dilecehkan di tempat kerjanya dan bertemu dengan pria ini, dia tidak pernah meninggalkan Ran dan selalu datang serta mencoba untuk berbicara dengannya. Kata pria itu, pertemuan mereka adalah sebuah kebetulan yang ajaib.
Walau Ran lebih suka menganggapnya sebagai sebuah kebetulan yang sangat disengaja.
Karena pria di hadapannya saat ini ... telah menguntitnya secara terang-terangan.
Setiap kali Ran bertanya apa tujuannya, dia selalu memiliki jawaban yang sama; “Aku tertarik padamu, Ran.”
Lalu Ran akan balik bertanya apa yang membuat dia tertarik padanya.
Maka tidak ada jawaban apa pun lagi yang akan Ran terima. Pria itu mendadak bungkam.
Lantas, bagaimana dia bisa berpikir bahwa Ran akan memercayainya?
“Apa kamu mendengarku, Ran?”
Ran tersentak dari lamunan, lalu menatap pria di hadapannya yang tengah mengerutkan dahi.
“Kalau aku tidak mau?” kata Ran.
Pria itu menampilkan senyum. Senyum yang begitu memikat yang hampir membuat Ran berpikir bahwa dia adalah pria tertampan yang pernah Ran lihat.
Dia bangkit dari sofa tua di rumah Ran ini, lalu merapikan jas mahalnya seolah ada debu menjijikkan di sana yang menempel.
“Baiklah, sepertinya lamaran ini terlalu cepat. Aku akan membiarkanmu berpikir.”
Ran menatapnya marah. “Aku tidak perlu waktu berpikir! Tentu saja aku akan—”
Ucapan Ran terpotong ketika tiba-tiba saja pria itu menunduk dan memperpendek jarak di antara mereka.
Tapi Ran sama sekali tidak tampak gentar, dia membalas tatapan si pria dengan datar.
“Apa?” katanya.
“Berapa usia kamu?”
Ran yakin pria itu sudah tahu, tapi Ran tetap menjawab, “Sembilan belas.”
“Hm, kamu ternyata semuda itu.”
Ran mengernyit. Memang berapa usia pria ini? Dia tidak tampak terlalu tua, mungkin usianya masih di awal dua puluhan, mengatai Ran muda seolah dia pria berumur saja.
Pria itu menjauhkan wajahnya dan tersenyum lagi pada Ran. “Sayang sekali hari ini jadwalku sangat padat. Aku akan datang dua hari lagi dan mengajakmu jalan-jalan,” katanya.
Ran menghela napas lelah. Ini sudah pukul dua pagi.
Orang mana yang cukup gila datang ke rumah seorang gadis dan mengajaknya menikah pada pukul dua pagi?
Ran sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi para tetangganya di keesokan hari. Gosip tidak mengenakkan pasti akan tersebar. Ran berdoa semoga tidak ada seorang pun yang masih bangun pada jam segini dan melihat si pria keluar dari rumahnya.
“Aku menolak!” kata Ran, lalu bangkit berdiri dan pergi ke pintu.
Pria di hadapannya menatapnya geli seraya melangkah menghampiri. “Aku tidak bertanya,” sahut pria itu.
“Tuan—”
“Theo.”
“Apa?”
“Namaku Theo.”
“....”
“Kalau kamu lupa, aku sudah memberitahumu sebanyak tujuh belas kali.”
Ekspresi di wajah Ran tidak berubah. Tentu saja dia tidak lupa nama pria itu. Theo Bhirend Rahandika. Ran juga tahu nama itu diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti seorang pemimpin yang setia.
Tapi apakah dia begitu; sikapnya?
Ran tidak yakin.
Ini bukanlah pertama kalinya Ran mendapat ajakan pernikahan dari seseorang. Terlahir dengan paras cantik di atas rata-rata membuat Ran cukup populer di kalangan pria, tidak hanya di sekolah, tapi juga di lingkungannya. Tidak hanya pria lajang, tapi juga pria-pria yang sudah beristri.
Entah Ran harus bersyukur atau sebaliknya. Tapi Ran sering kali membayangkan kalau seandainya dia memiliki wajah yang biasa saja, pasti orang-orang tidak akan terlalu memperhatikannya dan pelecehan yang terjadi padanya seminggu lalu tidak akan terjadi.
“Kenapa Tuan diam?” kata Ran dengan alis terangkat sebelah, menatap ke arah Theo yang seolah hilang dalam pikirannya.
Theo tidak menjawab pertanyaan itu. “Aku akan datang lagi, Ran,” katanya seraya tersenyum, lalu setelah itu dia keluar dari rumah Ran. Pergi dengan mengendarai mobil hitam mengilap mahal yang terparkir di depan.
Setelah suara deru mobil itu tidak lagi terdengar, Ran menghela napas, lalu menutup pintu dan menguncinya. Sejenak, Ran bersandar di sana.
Hari ini, rasanya lebih panjang dari kemarin, dan kemarin juga terasa lebih berat dari hari sebelumnya.
Intinya, semenjak pria aneh itu datang, hidup Ran amat terusik. Bukan hanya datang bertandang ke rumah tanpa tahu waktu, pria itu juga mengunjungi Ran ke tempat kerja.
Ran kini bekerja di rumah makan, dia dipecat dari café tempatnya bekerja sebelumnya sejak insiden pelecehan saat itu. Dan Ran yakin, bahwa pemecatannya ini ada hubungannya dengan Theo. Padahal Ran tidak berniat untuk undur diri dari café itu. Karena ingat bahwa sangat susah mencari pekerjaan di kota besar seperti ini. Dia hendak menahan diri dan menganggap kejadian malam itu sebagai resiko pekerjaan.
Dan sekarang, setelah Ran sudah tidak lagi bekerja di sana, Theo kerap kali datang ke rumah makan tempat kerja baru Ran. Pria itu akan duduk di kursi paling ujung dan memesan menu makan siang yang sama setiap hari, sembari terus-terusan mengawasi Ran.
Ran tidak pernah mengerti bagaimana kerja otak orang-orang kaya seperti Theo. Apa dia pikir bisa mendapatkan segala yang dia mau hanya karena dia memiliki uang sehingga dunia terasa lebih mudah dalam genggamannya?
Awalnya Theo bertanya tentang dua wanita dan seorang pria yang sama sekali tidak Ran kenal. Dan Ran tidak ingin memusingkan diri untuk memikirkannya. Lalu berlanjut keesokan harinya Theo datang dan mengajak Ran makan ke sebuah rumah makan, yang entah kebetulan atau disengaja, membuka sebuah lowongan pekerjaan. Ran tentu saja langsung melamar, karena dia butuh. Namun setelah tiga hari dia bekerja, Ran baru tahu bahwa restoran itu adalah milik Theo. Pantas saja ketika Ran datang orang-orang menyambutnya dengan ramah dan Ran diberi upah tinggi untuk seseorang yang hanya lulusan SMA sepertinya.
Tidak hanya sampai di sana, Theo datang ke rumah Ran beberapa kali pada jam-jam yang tidak masuk akal. Persis seperti tadi.
Pertanyaannya adalah ... kenapa? Kenapa Theo melakukan semua ini? Kenapa dia mengincar Ran dengan begitu gigih?
Satu dua tiga penolakan sudah cukup membuat ego seorang pria terluka sehingga dia akan mundur dan tidak lagi mengejar. Tapi Theo tidak.
Lihat saja tadi ketika Ran menolak lamarannya, pria itu masih mampu berdiri dengan tenang dan tersenyum hangat seolah penolakan Ran sama sekali tidak berarti baginya.
Itulah yang membuat Ran menolaknya.
Dia tahu, bahwa orang seperti Theo Bhirend Rahandika adalah orang yang harus dia hindari. Namanya saja yang berarti Seorang Pemimpin Yang Setia, tapi Ran sangat yakin ada banyak yang pria munafik itu sembunyikan di belakang. Dan itu adalah sesuatu yang sangat jauh dari kesetiaan.
Bagaimana hidup Ran kalau dia sampai menerima lamaran pria itu?
Hidup Ran sudah cukup menderita sekarang, dan dia tidak butuh campur tangan orang lain lagi untuk semakin membuat hidupnya tragis.
Dia dibuang oleh kedua orang tuanya, ditinggalkan di panti asuhan dan tidak pernah diinginkan. Sampai sepasang suami istri datang dan mengadopsinya. Ibu angkat Ran belum juga hamil saat itu, tapi setelah dua tahun Ran diadopsi mereka, wanita itu hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki, yang kini menjadi adik angkat Ran, dan sekarang tengah tertidur pulas di dalam kamarnya.
Awalnya Ran berpikir bahwa hidupnya akan baik-baik saja di bawah perlindungan dan kasing sayang yang orang tua angkatnya berikan. Sampai kemudian kecelakaan naas itu terjadi, merenggut nyawa mereka.
Saat itu, Ran bahkan tidak diizinkan menangis. Atau diberi waktu untuk bersedih dan meratapi nasib. Rumah mereka disita oleh bank karena ayahnya belum sempat melunasi utang-utangnya. Lalu dengan sisa uang yang tidak seberapa, Ran mencari kontrakan kecil untuk dia dan adiknya tinggali.
Demi menghidupi kehidupan sehari-harinya, Ran bekerja banting tulang. Evan Danar, adiknya, kini sudah kelas tiga SMP, sebentar lagi dia akan memasuki jenjang SMA, dan Ran butuh uang banyak untuk menyekolahkan adiknya. Itulah kenapa dia sedikitpun tidak tertarik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setelah lulus dari SMA, karena ada banyak hal dan tanggung jawab yang lebih penting yang harus Ran emban.
Belum lagi dengan cobaan sosial yang harus Ran terima. Pembulian di sekolah dan di lingkungan tempatnya tinggal.
Karena paras cantiknya itulah biang utamanya. Padahal Ran tidak melakukan apa pun, tapi para lelaki di sekolahnya selalu memperhatikannya, begitupun juga dengan pria-pria di lingkungannya, baik yang masih lajang bahkan yang sudah menikah. Paras ini juga terkadang yang menjadi alasan Ran dipecat dari pekerjaan.
Ran tidak bisa melakukan apa pun untuk itu. Bukan salahnya terlahir dengan paras cantik ‘kan? Padahal Ran sudah menolak pria-pria itu, mempertegas bahwa Ran Sidra ... bukanlah sosok perempuan gampangan seperti yang mereka pikirkan, yang hanya akan luluh dengan bunga dan coklat serta beberapa kalimat janji penuh kepalsuan.
Karena hal itu juga, Ran tidak memiliki teman. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi kala Ran berteman dengan seseorang, temannya itu menginginkan sesuatu dari Ran, temannya itu insecure lebih dulu karena kecantikan dan perhatian berlebih yang Ran terima dari pria. Ujung-ujungnya akan sama, mereka pergi meninggalkan Ran.
Terkadang, dalam malam-malam sepi saat kesepian membuat tubuhnya semakin letih, Ran berharap dia terlahir biasa-biasa saja dan menjalani hidup yang juga biasa-biasa saja.
Kemudian Ran akan memikirkan orang tua kandungnya. Bagaimana rupa mereka? Apakah mereka masih hidup sekarang? Apakah mereka bahagia? Dan kenapa mereka membuang Ran? Apa alasannya?
Kedatangan Theo malam ini membuat Ran lagi-lagi memikirkan semua itu. Dia tidak bisa tidur lagi setelahnya. Bahkan sampai matahari menyingsing naik di ufuk timur.
***
Pagi-pagi sekali, Ran sudah mulai disibukkan dengan rutinitas kesehariannya. Dia memasak nasi dan menu sarapan seadanya, bersih-bersih, mencuci baju dan menjemur, serta mambangunkan adiknya untuk pergi sekolah.
“Evan! Ayo bangun! Ini hari Senin. Jangan sampai kamu terlambat ujian,” kata Ran, sembari mengetuk pelan pintu kamar Evan.
“Iya, Kak Ran,” gumam sebuah suara di dalam sana.
Setelah memastikan adiknya bangun dan pergi ke kamar mandi, Ran keluar rumah dengan segelas air di tangannya, lalu berjongkok di teras.
Senyum cantik Ran terbit kala melihat bunga seruni putih yang dia tanam di pot kecil kini telah mengeluarkan kuncup bunga yang sangat cantik. Dalam beberapa hari Ran yakin bunga ini pasti akan mekar dengan indah.
Ran menumpahkan sedikit air minum dari gelasnya ke pot tersebut, lalu memercikkan sedikit air ke daunnya agar tampak segar.
“Aduuuh yang habis diapelin semalem. Pagi-pagi mukanya berseri-seri.”
Tubuh Ran langsung membeku kala mendengar suara melengking itu masuk ke telinganya. Dia langsung menoleh ke depan rumah. Ada tiga orang ibu-ibu sedang belanja di seorang pedagang sayur keliling.
“Eh, Bu Sari. Pagi, Bu.” Ran menyapa dengan ramah.
“Udahlah, Ran, gak usah basa-basi. Kapan akad nikahnya? Keburu besar lho itu nanti.”
Ran tersenyum, memaklumi sikap judes tetangga depan rumahnya itu. Suami Bu Sari, dulu pernah main mata dengan Ran dan tampak sangat jelas tertarik pada Ran. Tapi sudah tidak lagi, karena Ran juga sudah jarang ada di rumah semenjak dia lulus sekolah. Namun semenjak itu, Bu Sari dan tetangga-tetangganya yang lain seolah memusuhi Ran, menuduhnya sebagai pelakor.
Ran sudah terlalu sering menerima sindiran-sindiran semacam itu, jadi dia hanya diam saja dan membalas ucapan Bu Sari dengan senyuman.
Dalam sekejap, gosip mengenai kedatangan seorang pria ke rumah Ran pada dini hari tadi pasti akan menyebar. Apalagi Ran masih dikatakan remaja, belum dewasa benar, dia baru sembilan belas tahun, dia juga hanya tinggal dengan seorang adik, lalu dikunjungi oleh lelaki pada dini hari—dalam pandangan orang lain, wajar kalau mereka berpikir yang macam-macam.
Ran hanya berharap bahwa masalah ini tidak akan bertambah besar atau dibesar-besarkan, seperti disidang oleh para pemuka di lingkungan ini misalnya.
Membayangkannya saja membuat Ran pusing. Dia lantas masuk kembali ke dalam rumah sembari merutuki nama pria yang menjadi biang kerok dari masalahnya akhir-akhir ini, mengabaikan ibu-ibu di depan rumah yang sudah pasti tengah bergosip tentangnya.
“Apa pria itu datang lagi ke sini semalam?” tanya Evan saat Ran masuk ke dapur dan menaruh gelas air minumnya di meja.
“Hm,” jawab Ran singkat, lalu ikut duduk di samping Evan, di meja makan mereka yang kecil dengan kayu yang sudah usang serta rapuh.
“Kakak, seharusnya Kakak menolak dia dengan lebih tegas.”
Ran menoleh, menatap adiknya itu dengan pandangan rumit.
“Menurutmu ... usaha Kakak nggak cukup?”
Evan terkejut. Dia lantas menyadari apa yang baru saja diucapkannya, seolah menuduh Ran sebagai wanita yang mau dirayu oleh pria kaya itu. Padahal seharusnya, Evan lah yang paling tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semalam dia tidur dengan pulas dan sama sekali tidak menyadari kedatangan pria itu, tapi tanpa sengaja tadi Evan mendengar ucapan Bu Sari yang menyinggung Ran.
“Maafin aku, Kak,” kata Evan cepat, dengan penuh penyesalan.
Ran tersenyum menenangkan, lalu mengusap kepala adiknya itu penuh sayang. “Jangan dipikirkan! Ayo, habisin sarapan kamu, biar ada tenaga buat ujian hari ini.”
Evan mengangguk lemah, lalu mulai menyantap makanannya.
Benar, dia harus semangat menempuh ujian hari ini. Supaya dia bisa mendapat nilai bagus dan mengejar beasiswa dari sekolah tujuannya, dengan itu maka dia tidak perlu lagi menyusahkan sang kakak.
***
[to be continued]