Bagian 12
“Kaivan!”
Aku menepuk-nepuk pipi Kaivan pelan, mencoba memanggil kesadarannya kembali. Saat tanganku menyentuh keningnya, bisa kurasakan panas membakar di sana. Aku menggigit bibir mulai panik. Sepertinya Kaivan sedang demam.
“Hey, bangun. Jangan bikin aku jadi orang jahat gini.” aku mengambil napas saat Kaivan mengerang dan mulai menggerakkan tubuhnya perlahan. Dua detik kemudian, manik biru terhalang kacamata itu menatapku sayu.
“Dean...” Kaivan berujar serak. Aku segera memberi isyarat tutup mulut agar dia tidak usah banyak bicara.
“Kamu bisa berdiri gak? Ayo masuk.” aku meraih lengannya ke pundakku dan membawanya perlahan ke dalam rumah. Yah, walaupun sedikit kesusahan dengan tubuhnya yang seberat beton.
Setelah mendudukkan Kaivan ke atas sofa, aku melangkah ke dapur untuk mengambil sapu tangan dan air hangat untuk mengompres dahinya. Dalam hati aku sedikit merasa bersalah karena telah menyebabkan Kaivan jadi seperti ini. Dia pasti kedinginan dan lelah karena menungguku di luar seharian.
Aku mengambil kacamata tebal yang menghiasi wajah Kaivan dan menaruhnya ke atas meja. Ia hanya bergumam dan masih memejamkan mata saat aku menaruh kompres ke dahinya.
Aku menatap wajah lelaki di depanku sambil mengusap pipinya perlahan. Bisa kulihat jari manisku masih mengenakan cincin pemberiannya yang belum sempat aku lepas.
Jujur, aku tidak tega melihat Kaivan yang tampak menderita seperti ini. Tapi mengingat perbuatannya semalam kembali mengeraskan hatiku. Lagipula, siapa suruh dia terlalu polos dan segudang sikap naif lainnya?
“Dean, tolong beritahu apa salahku. Kamu tidak suka dengan lamaranku semalam ya?” aku mengerjab saat melihat mata indah Kaivan perlahan terbuka. Sorot ketidaktahuan sekaligus rasa bersalah bisa aku lihat jelas di sana.
Aku menghentikan usapan tanganku di wajahnya. Memalingkan wajah ke arah tv plasma di depanku. Tiba-tiba saja aku merasa bimbang, antara ingin memukulinya atau langsung mengusirnya pergi sekarang juga. Tapi rasa penasaran akan jawaban Kaivan membuatku bertanya,
“Kenapa kamu mencium sepupumu sendiri?” ada rasa tercubit setelah perkataan itu terlontar. Rasanya aku tidak berani mendengar jawaban pria itu atau bahkan hanya sekadar menatap matanya.
Oke. Aku akui kalau aku cemburu melihat Kaivan sedekat itu dengan perempuan lain. Rasanya hanya... tidak rela. Kenapa juga Kaivan bisa membuatku merasa seperti aktris yang terlalu mendalami peran?
“Kenapa?” aku mengerutkan kening saat mendengar suara serak Kaivan. Ingin menatap wajahnya tapi dia sudah kembali melanjutkan, “kenapa kalau aku mencium Andhita? Kamu juga melakukan hal sama padaku kan? Menciumku?”
Aku merasa ada palu yang menghantam dadaku keras, rasanya aku ingin memaki betapa konyolnya perkataan Kaivan. Jadi dia menganggap jika ciuman dengan sepupunya sendiri adalah hal wajar? Saat aku hendak menoleh dan memakinya sekuat tenaga, senyuman dan tatapan hangat miliknya membuatku terpaku.
Dan, aku tidak bisa berbuat apa-apa saat tangan besar Kaivan menyentuh tengkukku, sedang ia sendiri memajukan wajahnya padaku. Sedetik, Kaivan menempelkan bibir pucatnya ke atas bibirku pelan. Dingin. Hanya menempel, tapi itu saja mampu membuat jantungku berdetak kencang memukul rongga.
Harusnya aku mendorongnya menjauh, harusnya aku memaki dan mengusirnya pergi sekarang juga. Harusnya aku marah dengan kelakuannya yang tidak sopan dan seenaknya. Tapi, aku tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang menahanku untuk melakukan itu.
“Kenapa nangis?” aku merasakan tangan Kaivan menyentuh pipiku yang basah. Dengan wajah sedekat ini, aku bisa merasakan hangat napas lelaki itu dan manik biru gelap miliknya tanpa halangan.
“Apa yang udah lo lakuin ke gue, Kaivan? Apa?” aku memukul dadanya meluapkan amarah yang menumpuk seharian ini. Melihat sikapnya yang terlalu tenang membuatku ingin membunuhnya.
“Sssst... kamu boleh pukul aku sepuasnya kalau itu bikin kamu tenang.” aku merasakan Kaivan memelukku erat, sedang aku sendiri menenggelamkan wajahku pada d**a bidangnya.
Ya Tuhan, aku benci perasaan ini. Aku benci kenyataan jika aku takut melihat Kaivan meninggalkanku untuk bersama Ditha. Kebersamaan kami memang masih bisa dihitung dengan jari, tapi sikap lugu dan tenangnya membuatku benar-benar hanyut hingga tidak tahu caranya kembali ke permukaan.
Saat tangisku mulai mereda, aku bisa merasakan napas hangat Kaivan dikepalaku ketika bibirnya kembali berucap, “Sebenarnya aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan, Dean. Tapi jika kamu menganggapuku ciuman dengan Ditha, itu terserah kamu...”
Hening, ucapan Kaivan seperti mengambang di udara. Tapi kemudian, aku merasakan pelukannya di tubuhku mengerat.
“Walau yang aku tahu, aku hanya pernah berciuman dengan ibuku dan juga... kamu.”
Dan, kalian boleh menganggap jika aku bodoh. Karena, entah kenapa, aku bisa mempercayai ucapannya.
***
“Ciyeee, Mbak Dean lagi seneng ya? Tumben senyum-senyum terus.”
Lagi-lagi aku merasakan pipiku memanas. Sejak kejadian beberapa jam yang lalu bersama Kaivan, entah kenapa aku tidak bisa menahan bibirku untuk behenti mengukir senyuman hingga sekarang. Rasanya... ada perasaan bahagia yang tidak bisa kudeskripsikan.
Kaivan... laki-laki itu benar-benar sialan. Kenapa dia bisa mengubahku jadi seperti remaja yang baru saja jatuh cinta? Ini konyol.
Aku mendelik ke arah Ita yang masih menahan geli di balik meja kasir. Kemudian melanjutkan langkahku yang tertunda ke dalam ruanganku.
Tapi, perkataan Ita selanjutnya menghentikan langkah.
“Mbak Dean, aku lupa ngasih tau. Mas Akash udah nunggu di tempat biasa.”
Aku berbalik dan menatap Ita tajam. Sepertinya kemarin aku sudah bilang ke Ita bahwa jangan sampai ia membiarkan Akash masuk bagaimanapun caranya. Kulihat ia menatapku bersalah dan menundukkan wajah.
Aku menghela napas, walau dengan langkah berat, aku tetap berjalan ke arah sofa maroon milikku. Biar bagaimana pun, aku tidak bisa menghindar dari Akash selamanya. Karena aku tahu benar apa yang ada di dalam otak laki-laki itu. Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya jika itu sudah berhubungan denganku, mengingat betapa keras perjuangannya saat menjadikaku pacarnya dulu. Ah,tidak. Itu Cuma masa lalu, Deandra! Enggak perlu diingat lagi!
“Kenapa kamu bisa berada di sini? Bukannya kamu harusnya bersama pohon-pohon di hutan sana ya?” dan aku tidak bisa menyembunyikan nada sinis dalam ucapanku.
“Eh?” Akash menggaruk tengkuk. “Aku masih berangkat satu bulan lagi.”
Dan, rasanya, aku ingin segera menendangnya ke planet Mars! Kenapa dia menemuiku kalau masih tetap ingin pergi?
Aku mendesah. Mengalihkan pembicaraan. “Ada apa?”
Akash mendongakkan wajah, kemudian tersenyum ke arahku dan berdiri. Aku menaikkan alis saat melihat penampilan Akash hari ini; celana denim yang masih tampak baru dan kemeja gelap yang digulung hingga siku. Aku heran, tidak biasanya ia berpakaian serapih ini.
“Kita perlu bicara Dean, kamu gak keberatan kan ikut aku sebentar?”
Aku mundur selangkah saat dia bergerak maju. Melihat Akash yang tidak seperti biasanya membuatku sedikit merasa aneh.
“Kayaknya udah gak ada yang perlu dibicarain deh. Hubungan kita udah selesai kan?” bisa kulihat raut kekecewaan tergambar jelas di sana. Aku menggigit bibir, nyatanya aku tidak pernah bisa melihat wajah penuh luka itu.
“Cuma sebentar, De. Seminggu lagi pernikahanmu kan?”
Aku tertegun. Oke, darimana Akash tahu mengenai tanggal pernikahanku? Aku yakin sekali jika aku belum memberi undangan padanya.
“Ghea yang ngasih tahu,” ujarnya seolah membaca isi kepalaku. Dan, rasanya aku ingin menyumpal mulut Ghea dengan p****t sapi sekarang.
“Kenapa kamu gak bilang langsung ke aku?”
“Ak... Aku...” sejenak aku kehilangan kata-kata. Melihat sorot mata hitamnya yang terluka membuatku sakit. Itu sebabnya aku tidak siap untuk memberitahunya tentang pernikahanku.
“Itu semua gak penting lagi. Sekarang... kamu mau kan ikut aku?”
****