Bab 12. Sengaja Menggoda?

1198 Words
"Rani, maafkan Amelia, ya. Tolong dimengerti. Seumur dia, pikirannya masih labil," ucap Tuan Kusuma kepadaku. Suaranya terdengar berat, seakan ada beban disana. Mungkin dia menyadari, seberapa kesepiannya Amelia selama ini. Aku juga merasakan hal yang sama. Merasa iba hati ini. Amelia sudah mengurung diri di kamar. Kami tidak diperbolehkan masuk. Kata Tuan Kusuma, biasanya, dia akan keluar sendiri setelah kekesalannya reda. "Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Amelia hanya membutuhkan sosok teman. Mungkin dia melihat teman-temannya yang mempunyai saudara, dan itu terlihat menyenangkan," jelasku. Aku sodorkan teh chamomile hangat, teh ini untuk merelaxkan pikiran. Tuan Kusuma menghelakan napas dengan keras, seakan berusaha mengurai beban yang dia rasakan. "Menghadapi Amelia, sering kali saya tidak mengerti. Susah sekali. Dia mempunyai saudara sepupu yang seumur. Tetapi, mereka di luar negeri. Hanya, saya, eyangnya yang diajak bicara. Itupun, jarang," jelas Tuan Kusuma lirih. "Rani, tolong jaga dan sayangi dia, ya", tambahnya sambil menatapku sedih. "Pasti, Pak. Amelia anak yang baik dan manis. Saya sayang sekali ke dia. Sudah saya anggap anak sendiri," jelasku sambil merapikan sisa makanan tadi. "Rani, tolong kau duduk sebentar. Saya mau bicara denganmu," perintahnya. Aku segera duduk di depannya dan memperhatikannya dengan seksama. "Wisnu anakmu, di mana sekarang? Apa dia tinggal dengan suamimu?" tanyanya serius. "Anak saya kuliah di Malang, baru semester pertama. Kami berpisah dengan mantan suami saya," jelasku. "Jadi, kamu sudah berpisah dengan suamimu? Kenapa?" katanya menyelidik. Dia menatapku tajam. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menjelaskan masalah pribadi," tegasku, dia menatapku tersenyum dan kepalanya mengangguk-angguk tanda dia memaklumi. "Mungkin masalah ini dikarenakan saya cerita tentang anak saya ke Non Amel, maafkan saya," tambahku dengan lirih. "Tidak, bukan karena itu. Kamu tidak usah merasa bersalah. Oya, bolehkan, kalau ada waktu anakmu ke sini? Toh, kamu juga kangen dia, kan!" tegasnya, dia beranjak berdiri. Seperti biasa, dengan kedua tangan dimasukkan kekedua sakunya. Mendengar itu, girang hati ini. Bertemu dangan anak, kebahagiaannya melebihi mendapat lotre. Aku sudah merindukannya. "Dia boleh main ke sini, Pak! Saya senang sekali. Terimakasih." Senyumku mengembang membayangkan bertemu anak semata wayangku. Aku tidak sabar lagi mendengar cerita-ceritanya. "Eiit tunggu .... Dengan syarat, kamu harus bujuk Amel untuk keluar kamar. Dan, tolong kasih pengertian ke dia!" tegasnya. Dia bergegas meninggalkanku ketika ponselnya bergetar. Di hari liburpun, dia masih bekerja. ** "Amelia sayang, buka pintunya." "Sayang, Tante mau bicara," panggilku di depan pintu yang masih tertutup rapat. Kepala Amel tersembul sedikit, wajahnya kelihatan sembab. "Tante boleh masuk, ya?" tanyaku pelan. Dia menjawab dengan anggukan saja. Aku peluk dia. Kepalanya menyelusup di dadaku. Dia menangis terisak pelan. Aku belai rambutnya dan kutepuk-tepuk punggungnya mencoba menenangkannya. Aku biarkan dia sampai suara isakannya hilang. "Amelia, Sayang. Nangisnya sudah, ya." Aku tengadahkan wajahnya yang sembab, anak rambutnya menutupi matanya yang merah. "Papi jahat! Amel tidak didengar, malah diketawain. Sebel!" keluhnya. Mukanya masih cemberut dan kelihatan menahan kesal. "Sini, tante bilangin. Tante sangat sayang Amel walaupun Tante bukan mami Amel. Amel sudah Tante anggap anak sendiri. Jadi, kalau ada apa-apa, kasih tahu Tante," kataku lirih, dia mengangguk dan senyuman mulai berbayang di wajahnya. "Dan, Amel bisa berteman dengan kak Wisnu. Anggap saja dia kakak Amel. Dia juga pasti senang. Karena, Kak Wisnu dari dulu ingin punya adik. Nah, sekarang jangan cemberut, ya. Jelek! Tuh, ngaca jelek sekali!" Aku menggodanya sambil mengarahkan wajahnya ke cermin. Senyuman lebar mulai terbias di sana, di dalam wajah sembabnya. "Ada satu lagi, Papi bilang, kalau liburan Kak Wisnu boleh main ke sini!" jelasku senang. Seketika wajahnya cerah, senyumannya semakin lebar. ** "Rani!" teriak Tuan Kusuma. Aku dan Bik Inah yang lagi berada di dapur, serentak menoleh kearahnya. Ada apa lagi ini. Wajah Tuan Kusuma kelihatan tegang. Dia tergopoh menghampiri kami. Seperti ada yang gawat terjadi. "Amelia, marah lagi! Tadi malam dia menagih janji saya untuk liburan ke Malang, hari ini! Saya lupa, sore ini saya ada janji! Kalau ke Malang, mana cukup waktunya. Dia mengancam mau pergi ke rumah Eyangnya. Tolong saya sekali lagi!" katanya panik. Amelia ... Amelia .... Dia lagi bad mood, apa-apa ngambek. Kasihan Tuan Kusuma, dia tidak mengerti harus bagaimana. Dia sibuk sekali, sampai-sampai hari libur tidak bisa istirahat. Tidak bisa menyalahkan Amelia juga, dia ingin bersama Papinya ketika libur. Permintaaan sederhana yang terlihat susah dipenuhi. Kasihan. "Saya ada ide! Bagaimana kalau kita buat liburan di rumah?" teriakku. Ada ide yang berkelebat diotakku. Semoga Pak Bos setuju. "Apa itu?!" tanya Tuan Kusuma penasaran. Bergegas dia melangkah mendekat ke arahku. Dekat. 'Pak, kalau bicara jangan terlalu dekat, dong', batinku, tetapi tidak bisa menahan langkah kakinya. Dia menatapku tajam, seolah minta penjelasan dengan tidak sabar. Dari dekat, aku bisa melihat wajahnya yang maskulin. Apalagi dengan rambut yang berantakan sedikit basah. Tidak seperti biasanya yang tersisir rapi. "Se-sebenarnya, Amelia hanya ingin bersama Bapak. Mungkin, dia merindukan suasana itu," jawabku tergagap. Aku alihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak tahu, apakah dia sengaja mau menggodaku. Yang aku tahu, aromanya membuyarkan keangkuhanku. Lemari pendingin aku buka, sengaja untuk menghindar menjauh darinya, tetapi tertahan dengan meja dapur. Aku mengalihkan pandangannya dariku dengan bersembunyi dari pintu lemari pendingin. "Ada stok ikan segar. Kemarin, saya baru beli. Bagaimana kalau kita bakar ikan di rooftop. Toh, Bapak ada waktu sampai sore hari. Biar rame, Bik Inah dan Pak Maman ikutan juga. Bagaimana?" tanyaku minta persetujuannya. Bik Inah yang mencuci piring mengangguk-angguk tanda dukungannya. Tuan Kusuma diam dan menatapku dengan tatapan aneh, setelah itu dia tertawa. "Hebat sekali kau, Rani! Aku tidak terpikirkan hal itu! Terima kasih, ya!" Tiba-tiba dia mendekatiku dan memelukku sambil berbisik, "Saya tidak tahu, bagaimana kalau kamu tidak di sini. Tolong siapkan yang terbaik, ya." Dia tersenyum dan meninggalkanku yang masih kaku terdiam. Bik Inah yang disana pun juga kaget. Dia terbatuk-batuk menyadarkanku. Duh! ** Rencana kami berhasil! Amelia sangat senang, kelihatan sekali dia manja pada Papinya. Mereka asik main ular tangga. Sesekali terdengar mereka tertawa senang. Terlihat kerinduan pada mereka yang tertahan karena kesibukan yang tidak pernah usai. Amelia tidak henti-hentinya bercerita, dari tentang sekolah sampai gosip-gosip intertainment. Senang sekali melihat mereka bercengkrama. Beberapa kali Tuan Kusuma menatapku tajam dengan tersenyum. Seperti dia sengaja menggodaku. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku berusaha menyibukkan diri dan menghindar dari mereka. Kami tata meja makan di teras atas menghadap pemandangan kota. Seperti tersia-siakan, ada tempat bagus tetapi tidak pernah digunakan. Kata Pak Maman, areal roftop ini selalu dia bersihkan, tetapi selama dia bekerja disini tidak pernah sekalipun digunakan. Pak Maman dan Bik Inah bertugas membakar ikan. Asapnya membawa aroma sedap. Sengaja aku membuat bumbu yang tidak terlalu pedas, tetapi gurih. Toh, nanti ada sambal sebagai pelengkap. Aku siapkan, es buah selasih dan beberapa camilan. Ikan bakar, Ikan goreng tepung saus tiram, plecing kangkung dan lalapan segar sudah siap di meja. Sebagai pelengkap sambal jeruk limau dan sambal dabu-dabu. Menggugah selera! "Ayoo ... makan!" teriak Amel ketika melihat makanan sudah siap. Dia menggelendot manja disampingku. Tuan Kusuma duduk tepat di depanku. Tinggal kami bertiga di meja makan ini. Pak Maman dan Bik Inah tidak mau makan bersama kami, katanya malu. Dia membawa beberapa ekor ikan bakar yang akan dibagi dengan satpam. Dengan rakus Amelia menyantap hidangan di depannya. Hati yang bahagia membuatnya lapar. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan. Begitu juga Tuan Kusuma. Dia menatapku sembari mengucapkan lafal tanpa bersuara, "Terima kasih." Seraya mengejapkan matanya dan tersenyum manis ke arahku. Eh! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD