Nightmare - 2

2758 Words
BAB 2 Menyadari kesalahan lebih hebat daripada memalsukan kesempurnaan. ΔΔΔ Arion melangkah lebar menuruni satu persatu anak tangga. Laki-laki itu lupa kalau hari ini ada jam kuliah pagi, dan sialnya semalam lupa mengatur alarm miliknya. "Selamat pagi, Bunda, Ayah." Arion menciup pipi Anaya, kemudian meminum segelas s**u vanila yang selalu disediakan sang bunda di setiap pagi. Arion menarik kursi menggunakan kaki kirinya. Dia mengambil sepotong roti yang sudah diberi selai, memakannya dengan tergesa-gesa--hanya beberapa gigitan. "Aduh, Arion. Makannya pelan-pelan dong, masa makan kayak kambing gitu?" tegur Anaya ketika melihat cara makan putranya yang tak benar. Arion melebarkan matanya mendengar kalimat Anaya. "Uhuk ... uhuk. Bunda ngatain Arion kambing?" Arion memajukan bibirnya. Dimasukkannya secara paksa sisa potongan roti tadi hingga memenuhi mulut. "Gak usah sok imut begitu, Arion. Bukannya imut, malah amit-amit," sindir Andre yang sedari tadi diam, namun tetap mengamati putra sematawayangnya tersebut. "Ayah pinter banget ngatain anaknya. Marahin dong, Bunda." Sekarang, dia mencoba mencari pembelaan kepada Anaya. Arion tahu kalau sang bunda takkan mungkin membiarkan sang ayah mengatainya seperti itu. "Jangan mencari pembelaan, Arion. Apa yang Ayah bilang itu memang benar adanya. Kamu sudah dewasa masih manja begini, apa kata teman-teman kamu nanti." Arion memutar bola matanya malas. "Lagian mereka gak ada di sini, bebas mau ngapain aja." "Kapan kamu membawa pacar ke sini, Arion?" tanya Anaya membuat Arion hampir tersedak--untuk yang kedua kalinya. "Cinta dan sayang Arion cuman buat Bunda. Gak ada yang berani menempati hati Arion selain Bunda." "Sebegitu gak lakunya kamu, ya, Yon. Sudah berapa umur kamu, tapi Bunda gak pernah liat kamu deket sama cewek?" katanya keheranan, kemudian segera menatap Arion dengan memicing. "Kamu normal kan, Arion?" Arion hampir saja menyemburkan air mineral yang ada dalam mulutnya. Bagaimana bisa sang bunda meragukan kenormalan anaknya sendiri? "Bund--" Ucapan Arion terpotong ketika Andre ikut menyahut, menengahi pembicaraan mereka. "Sudah, jangan banyak omong kamu, Arion. Cepat habisi makanan kamu, berangkat ke kampus. Belajar yang bener, jadi kebanggaan Ayah sama Bunda." Itulah pesan yang selalu Andre ucapkan pada Arion 'Jadi kebanggaan Ayah sama Bunda'. Arion anak yang pintar seperti Andre dan Anaya. Tak jarang dia mendapatkan penghargaan atas prestasinya tersebut. Dan, Andre selalu memberikan apa saja yang Arion butuhkan--sebagai hadiah atas prestasinya. "Siap, Bos!" Arion sudah selesai dengan sarapannya. Dia melirik jam tangannya. Tiga puluh menit lagi masuk kelas. Mata Arion melebar ketika melihat sang ayah memberikan kecupan pada sang bunda. Di depan matanya. "Ayah, Bunda, jangan bermesraan di depan Arion dong!" kesal Arion yang tak pernah terima dengan apa yang baru saja dilihatnya--sialnya hampir setiap pagi dan malam dia melihat pemandangan itu. "Memangnya kenapa, Arion? Wajar kok Ayah nyium Bunda, yang gak wajar itu nyium istri orang!" Anaya melebarkan matanya. "Awas aja kalau berani!" ancamnya ada sang suami "Tapi jangan pas ada Arion juga dong, Ayah." Arion telah selesai mengingat tali sepatunya. "Nanti Arion penasaran sama rasanya," sambungnya pelan. Memang benar. Arion laki-laki normal, sedikit banyaknya dia juga pengin mencobanya. "Jangan berani ngelakuin itu sebelum kamu menikah, Arion. Masih ingatkan apa yang selalu Ayah katakan sama kamu?" Arion mengangguk. Ucapan sang ayah takkan pernah dia lupakan, sampai kapanpun--akan selalu dia ingat. "Arion. Ayah tahu kamu sudah dewasa, sudah mengerti yang namanya mencintai seorang perempuan. Bahkan, kamu tahu lebih dari itu. Tapi ingat satu hal, jangan pernah mempermainkan apalagi merusak perempuan hanya untuk kesenangan. Kamu sudah tahu dan paham betul membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Pikirkan terlebih dahulu apa yang akan kamu lakukan, jangan selalu mengutakan ego kamu. Nakal boleh, tapi jangan melewati batasan kamu." "Kalau kamu gak senang atau gak suka sama perempuan, cukup diam dan pendam saja. Gak perlu menunjukkannya, menyakiti, apalagi mempermalukannya. Perempuan itu lebih gampang sakit hati, dia selalu bermain dengan perasaannya. Contohnya seperti Bunda, kamu selalu marah ketika Ayah dan Bunda berkelahi. Kamu selalu melindungi Bunda ketika dia berada dalam bahaya. Kamu juga selalu memikirkan dan merawat Bunda ketika dia jatuh sakit." "Sama saja dengan perempuan di luaran sana. Ketika kamu menemukan perempuan yang kamu sukai, jaga dan sayangi dia seperti kamu menyayangi Bunda. Anggap saja semua hati perempuan itu seperti hati Bunda yang selalu kamu jaga dan gak berniat melukainya." "Ayah sudah memberikan apa yang kamu inginkan, jangan mengecewakan Ayah apalagi Bunda. Kamu adalah putra kebanggaan Ayah sama Bunda." Arion meringis, dia baru saja melanggar ucapan sang ayah setelah menyadari sikapnya kemarin pada Kaila. Entah kenapa, setiap menatap gadis itu bawaannya selalu ingin marah. Arion menggelengkan kepalanya cepat, menyadarkan diri sendiri dari lamunannya. Segera berangkat ke kampus. Waktunya tinggal sedikit lagi. "Yah, Bun, Arion berangkat ...," pamit Arion, namun tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan kembali menoleh ke belakang. "Oh iya, jangan berencana bikin adik lagi. Arion gak mau punya adik!" **** Berbeda halnya dengan Arion, di sisi lain ada seorang gadis yang kini tengah menyapu keringatnya akibat berlarian tadi. Jarak halte cukup jauh dari perumahannya. Gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, sembari melirik ke arah jarum jam yang berada dalam pergelangan tangannya. Waktunya tinggal lima belas menis lagi. "Duh, kenapa angkot gak ada yang lewat pagi ini?" Dia menggigit kukunya cemas. Senyumnya merekah ketika sebuah angkot berhenti di depannya setelah beberapa saat yang lalu dia melambaikan tangan. Segera Kaila naik dan mengambil tempat duduk tepat di depan pintu masuk. Waktu terus berjalan, hingga tertinggal sepuluh menit lagi. Gadis itu tak bisa diam di tempatnya, dia merasa cemas sekali akan keterlambatan masuk kelas di mata kuliah yang begitu penting ini. Suara ban pecah mengagetkannya dan beberapa penumpang lain. Angkot yang Kaila naiki menjadi sedikit oleng, tapi untung saja tak sampai terjadi hal yang membahayakan sopir, seluruh penumpang, dan pengguna jalan lainnya. Sopir angkot itu meminta maaf karena tak bisa mengantarkan para penumpang hingga sampai ke tujuan masing-masing.  Kaila mendesah, kesal. Kenapa hari ini dia sial sekali? Bangun terlambat, motor tidak berada di rumah, dan terpaksa jalan kaki menuju kampus. Dia melangkah meninggalkan tempat itu, sembari melihat ke arah belakangnya. Siapa tahu ada angkot lain yang lewat. Sekitar seratus meter dia berjalan, suara klakson mobil mengagetkannya. Kaila menghentikan langkah, mobil itu berhenti di sampingnya. Perlahan kaca mobil hitam itu menurun, menampilkan seseorang yang begitu Kaila kenali. "Kaila. Kenapa jalan kaki? Ayo bareng aku aja," tawarnya. "Gak usah repot-repot, Raka. Aku bisa menunggu angkot aja," tolak Kaila merasa tak enak kalau menumpang terus pada Raka. "Gak pa-pa. Itung-itung buat minta maaf karena kemarin aku terpaksa pulang duluan. Yuk!" Kaila diam beberapa saat. Sepertinya memang kali ini dia harus menerima tawaran dari Raka, daripada menunggu angkot yang belum pasti. "Kamu sampai jam berapa kemarin?" tanya Raka, dia sudah melajukan mobilnya menuju kampus mereka. "Sampai jam setengah enam." Raka sedikit terkejut. Dia sudah mengajak Kaila ikut dengannya kemarin, namun gadis itu bersikeras ingin tetap menunggu sampai hujan reda. "Maaf kemarin aku pulang duluan, nyokap tiba-tiba demam di rumah," ucap Raka begitu menyesal. Kemarin dia tak bisa menemani Kaila, karena sang asisten rumah tangganya mengatakan kalau sang ibu tiba-tiba demam. "Gak pa-pa. Gimana keadaan mama kamu, apa demamnya sudah turun?" Raka mengangguk. "Sudah." "Syukurlah kalo gitu." Mobil Raka memasuki parkiran kampus. Kaila mengucapkan terimakasih pada laki-laki itu, karena sudah mau memberinya tumpangan--untuk yang kesekian kalinya. Raka adalah laki-laki yang baik dan juga tampan. Dia memiliki sikap dan tutur bahasa yang baik serta sopan. Raka juga terkenal dengan prestasinya yang bagus. Itulah alasan yang membuat Kaila sering kagum kepada laki-laki itu. Hanya kagum, bukan berarti suka. Kaila menghentikan langkahnya, kelas sudah dimulai. Dia menyandarkan kepalanya pada dinding, menghela napasnya panjang. "Ini yang pertama dan terakhir," gumamnya pelan. "Terlambat lo?" tanya seseorang yang membuat Kaila terlonjak kaget. "Arion?! Kamu ngapain masih di sini, gak masuk kelas?" Bukannya menjawab, Kaila malah balik bertanya. Kemajuan yang cukup bagus. Biasanya Kaila hanya berkomunikasi dengan satu orang laki-laki, yaitu Raka. "Bukan urusan lo. Oh iya, masalah yang kemarin gue minta maaf." Kaila menautkan alisnya bingung. "Minta maaf buat masalah yang mana?" "Kalimat gue yang katanya bikin orang sakit hati." Arion menjawab dengan santai. Kaila menahan tawanya. Satu yang Kaila tahu dari Arion hari ini; Dia seorang yang tidak sulit untuk meminta maaf. "Gak pa-pa." Arion menatap Kaila beberapa saat, kemudian menarik tangan gadis itu untuk ikut bersamanya. "Kita mau ke mana, Arion?" tanya Kaila yang berusaha melepaskan cekalan Arion. "Ikut aja. Gak usah banyak tanya, dan jangan sok-sokan menolak gue terus! Gue bikin jatuh cinta baru tau rasa lu!" Kaila dipaksa masuk ke dalam mobil Arion. Laki-laki itu benar-benar bertindak semaunya--tanpa memikirkan perasaan orang lain. Tidak bisa apa bertanya dahulu, apakah Kaila setuju ikut atau tidak? "Kamu mau ngajakin aku bolos kelas?" tanya Kaila lagi. Arion mengangkat kedua bahunya. "Buat apa masuk kelas, kita sudah terlambat." Dia melajukan mobilnya meninggalkan area kampus. "Kita mau ke mana? Aku gak mau ikut sama kamu!" Kaila berniat ingin membuka pintu mobil Arion, namun laki-laki itu lebih dulu menguncinya. "Lo banyak omong juga, ya, ternyata!" Kaila memajukan bibirnya. Dia hanya memastikan kalau Arion tidak akan membawanya ke sembarang tempat. Kaila masih merasa takut dan tidak yakin dengan sikap Arion yang berubah-ubah seperti ini. "Sebaiknya kita balik ke kampus aja deh, Arion. Aku mau ke perpustakaan, ada beberapa tugas yang harus diselesein," jujur Kaila. Bukan hanya soal tugas, tapi dia juga merasa tak enak hati berlama-lama bersama dengan Arion. Apa kata orang nanti yang melihat mereka berada dalam satu mobil yang sama? "Gak usah memerintah gue. Cukup diam dan ikutin apa yang gue mau." "Kamu gak mau diperintah, tapi kamu sendiri memerintah orang lain. Gak sadar diri!" Kaila memberengut. "Suka-suka gue. Lo bacod banget daritadi!" "Kamu harus banyak-banyak belajar ngomong, Arion. Kalimat kamu itu pedas banget," komentar Kaila. "Siapa elo yang berhak ngatur-ngatur hidup gue? Emak gue biasa-biasa aja tuh." Kaila menghela napasnya. Percuma mengatakan hal yang baik pada Arion, laki-laki itu hanya melakukan apa yang dia mau, dan tentu saja semua kata halal baginya. Hening ... tak ada lagi yang membuka obrolan di antara keduanya. Kaila memilih untuk mengamati jalananan, dan Arion fokus mengemudikan mobilnya. Mata Kaila melebar ketika mobil Arion berhenti di pinggiran jalan. "Turun dan ikuti gue. Jangan menolak, gue lapar!" Arion membuka pintu mobilnya, kemudian melangkah meninggalkan Kaila. Pagi tadi Arion hanya sempat makan sedikit. Perutnya terbiasa menerima asupan makanan yang cukup banyak, tentu saja merasa kurang. Kali ini tak ada celah bagi Kaila untuk menolak, Arion tampak serius dengan ucapannya. Kaila khawatir laki-laki itu akan memakinya di tempat ramai ini kalau dia tak mengikuti keinginannya. Kaila memandang heran ke arah Arion yang sedang memesan bubur ayam untuk mereka. Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Kaila. Kenapa Arion menawarkan numpangan padanya kemarin sore? Kenapa Arion mengajaknya makan bersama pagi ini? Kenapa Arion bersikap semaunya seperti ini? Kenapa Arion seperti ingin mengajaknya berteman? Apa laki-laki itu sedang sakit, atau kerasukan setan? Kaila mengibaskan tangannya ke depan wajah. Membuat jauh-jauh pikiran negatif mengenai seorang Arion, bisa saja laki-laki itu bisa membaca pikiran orang kan? Kaila tak bermaksud menjelek-jelekkan Arion, dia hanya merasa bingung dengan sikap Arion yang tiba-tiba baik dan seperti berusaha mendekatinya. Kaila tahu betul laki-laki semacam Arion, tak mungkin berniat ingin berteman dengan orang biasa seperti Kaila--kalau tidak ada sesuatu yang sedang direncanakan sebelumnya. Kaila mengingat kembali seorang Arion yang beberapa hari yang lalu, cuek dan bahkan tak pernah menganggap Kaila ada. Berada dalam satu kelas yang sama, maupun bertemu ketika membeli buku di toko yang sama, tak pernah mengobrol satu sama lain. Lalu mengapa tiba-tiba laki-laki itu bersikap seolah-olah dirinya-lah yang paling mengenal Kaila? Arion menarik kursi di sebelah Kaila. Dia mengeluarkan ponselnya, dan jemarinya bergerak bebas pada layar benda persegi itu. "Kenapa kita ke sini, Arion?" tanya Kaila membuka obrolan. Dia merasa lebih tak enak jika harus berdiam-diaman seperti ini, apalagi dengan tatapan beberapa pengunjung lain yang menatap aneh ke arah mereka. Arion menyimpan ponselnya. Dia baru saja membalas pesan dari kedua temannya. Arion: Sorry gue cabut duluan, gue lagi makan bubur ayam Pak Toto sama Kaila. Liat aja, kali ini kalian kalah lagi taruhan sama gue. "Main bola!" Arion memutar bola matanya malas membalas pertanyaan Kaila. "Lo ini bodoh apa gimana, ke warung bubur memangnya mau ngapain, jual emas--?" Kaila refleks membekap mulut Arion dengan tangannya. Kalimat Arion begitu pedas dan keras, membuat pengunjung lain menoleh ke arah mereka. Arion menepis kasar tangan Kaila dari mulutnya. Menyapunya dengan tisu. "Gak sopan lo!" kesal Arion ingin memaki Kaila kembali. "Sstt! Diam, Arion. Kamu itu malu-maluin. Kalau ngomong disaring sedikit, jangan asal ngejeblak aja! Kalimat kamu itu kasar banget tau gak sih!" Arion membulatkan matanya. Baru pertama kali ada perempuan yang berani memarahinya seperti ini, selain Anaya--sang bunda. Tatapan Kaila begitu tajam ke arahnya, berusaha memperingatinya untuk tidak berbuat yang macam-macam. "Lo itu--" Ucapan Andre terpotong dengan kedatangan pak Toto, membawakan dua buah mangkuk bubur ayam dan dua gelas teh hangat. "Ck! Sudah gue bilang gak usah dikasih daun bawang!" Arion berniat beranjak dari tempatnya, namun segera ditahan oleh Kaila. "Biar aku yang sisihin daun bawangnya." Arion mengurungkan niatnya. "Jangan bersikap kasar sama orang lain sesuka kamu, Arion. Mungkin karena banyaknya pengunjung, Bapak itu gak sengaja naruh daun bawang ini ke dalam mangkuk bubur kamu." Arion duduk kembali di bangkunya. Dia hanya diam memperhatikan Kaila yang sedang membuang satu persatu irisan daun bawang dari buburnya. Melihat sikap Kaila yang seperti ini, mengingatkannya pada sang bunda, yang dulu juga pernah melakukan hal seperti ini kepadanya. Entah apa yang sedang dia rasakan, Arion cukup tertarik dengan sikap Kaila. "Terimakasih," ucap Arion tulus. Kaila menatap Arion beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. Dia menemukan hal baru lagi pada diri laki-laki itu; Tak sungkan untuk berterimakasih. Mereka berdua makan dalam diam, tak ada yang memulai obrolan. Hanya terdengar keramaian pengunjung dan pengguna jalan. "Hei, Kaila. Kamu di sini, bukannya ada kelas?" tanya seseorang yang tak sengaja melihat keberadaan Arion dan Kaila di sana. Arion maupun Kaila sama-sama mengangkat kepalanya, menatap orang itu. Arion melirik sekilas ke arah Kaila yang sedang menyunggingkan senyum, kemudian berucap; "Lho, Raka, bukannya kamu juga ada kelas pagi?" Bukannya menjawab, Kaila malah balik bertanya. Kebiasaan. Arion tersenyum miring. Rupanya taruhan kali ini, dia memiliki pesaing. Raka menyengir. "Aku izin pulang duluan, nyokap gak bisa ditinggal sama anaknya." Kaila ikut tertawa menanggapinya, sedangkan Arion hanya memutar matanya malas. Dia sama sekali tak berniat ikut dalam obrolan Kaila dan Raka. "Habisin makanan lo, Kaila. Jangan mengobrol terus, gue gak punya banyak waktu buat nungguin lo makan." Kaila menatap kesal ke arah Arion. Bukannya Arion tak mengerti atau tak memahami keadaan mereka saat ini, namun dia begitu jengah dengan obrolan Kaila dan Raka yang sama sekali tidak berfaedah. "Kaila, pulang bareng gue aja, Yon. Sekalian mau jenguk nyokap," ucap Raka pada Arion dengan begitu santai. Arion mengepalkan tangannya. Tatapannya sudah tak dapat diartikan. "Iya, Arion. Aku pulangnya sama Raka aja. Kamu bisa pulang duluan kalau sudah selesai makannya." Arion menatap Raka seperti seseorang yang sedang memendam sebuah kebencian yang teramat dalam. Tak ada tatapan persahabatan sama sekali. "Kaila pergi sama gue, begitu juga dengan pulangnya. Dia harus bareng gue!" putus Arion, lalu mencekal pergelangan Kaila, untuk tetap berada di sana bersamanya. "Gak apa-apa, Arion. Aku ikut sama Raka aja," balas Kaila berusaha melepaskan cekalan Arion. "Lo kenapa masih di sini, huh? Lo tuli, gue sudah bilang Kaila akan pulang bareng gue?! Daritadi dia sama gue. Gue yang akan mengantar dia pulang." Arion mengencangkan cegalannya pada pergelangan Kaila. Dia menatap marah kepada Kaila, kemudian beralih pada Raka. Kaila menutup matanya beberapa saat. Kalimat penuh emosi Arion membuat pengunjung yang sedang sarapan di sana menatap ke arah mereka--lagi dan lagi. Tidakkah Arion berpikir, kalau sikapnya yang keras itu membuat mereka menjadi tontonan gratis oleh para pengunjung? Kaila melepaskan cegalan Arion, dia merasa tak enak berada dalam situasi yang seperti ini. "Raka, kamu pulang duluan aja. Setelah mengambil motor di kampus, aku ke rumah kamu." Akhirnya, Kaila yang mengalah. Raka mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan Arion dengan Kaila. Seperginya Raka, Arion membawa Kaila pergi dari tempat itu. Dia sudah menurunkan harga dirinya demi seorang perempuan. Arion akan mengutuk dirinya sendiri akan hal itu. Demi taruhan, seorang Arion rela melakukan hal bodoh seperti ini. "Sialan!" umpat Arion. Kaila yang berada di samping Arion tampak terkejut, namun gadis itu hanya bisa meremas tasnya. "Aku minta maaf, sudah bikin kamu marah di tengah orang banyak tadi," ucap Kaila dengan perasaan bersalah. Arion melirik ke arah gadis itu yang sedang menundukkan kepalanya. "Jangan diulangi lagi! Kalau lo pergi sama gue, berarti pulangnya juga sama gue. Lo ngerti?" Kaila mengangguk pelan. "Lain kali, gak usah ngajakin aku pergi, atau nawarin tumpangan. Aku bisa sendiri." Beberapa saat dia menoleh ke arah Arion, sebelum kembali menatap jalanan. "Oh iya, terimakasih telaktirannya hari ini." Senyuman Kaila membuat perasaan Arion lebih baik dari sebelumnya. Ajaib, gadis itu dapat membuat seorang Arion penasaran dan ingin tahu lebih jauh mengenai kehidupannya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD