"Saya dari tadi bolak-balik, Bu, gak ada orang selain kita berdua. Pak Arif `kan keluar bareng teman-temannya," jawab Bi Inem.
"Mungkin kucing." Aku hanya menebak, tak mau memusingkan hal sepele ini.
Bi Inem pun mengambil sekop dan sapu, kemudian membersihkan pecahan kaca itu. Sedangkan aku mengambil kain lap dan membersihkan noda darah yang tidak terlalu banyak.
Setelahnya, berbagai kejadian aneh pun mulai meneror seisi rumah. Air keran yang menyala sendiri, tirai yang tersibak padahal tidak ada angin, juga beberapa benda yang berpindah tempat. Boneka anak kecil yang selalu tersimpan rapi di etalase, tiba-tiba bergeser dari posisi semula.
Bi Inem mengaku, kadangkala mata boneka itu bergerak menatapnya.
Sebenarnya aku tidak terlalu memercayai hal mistis. Namun, kali ini seakan-akan mereka memaksaku untuk percaya. Mereka ingin menunjukkan eksistensinya.
Tok, tok, tok!
"Coba buka, Bi, mungkin Mas Arif," ucapku.
"Baik, Bu."
Tebakanku salah, ternyata itu teman-teman alumni SMA dulu. Mereka datang sambil membawa beberapa makanan ringan. Ah, tidak berubah meski jarang sekali bertemu.
"Kayaknya kita salah waktu deh. Suami kamu pasti di luar, `kan?" tanya Tania yang wajahnya berubah masam.
"Iya, izin keluar main sama temennya. Biasa, cowok hehe," jawabku cengengesan.
"Padahal kami pengen ketemu juga ama suami kamu, Ris. Cuma sekali pas kalian nikah, abis itu gak pernah," ucapnya lagi yang hanya kubalas senyuman tipis.
Mereka pun duduk dan berbincang, sesekali melihat-lihat perabotan rumah. Sebagian lagi menyantap hidangan yang Bi Inem sajikan.
Tania, Rafa, Rasya, dan Farah.
Sedangkan lelakinya, hanya Aris dan Bagas.
Dulu kami adalah sahabat dekat dan selalu membuat onar. Hanya Rafa yang kalem dan ikut-ikutan Selebihnya, biang kerok semua.
"By the way, gue masih sedikit aneh sama kematian Kana. Kayak tiba-tiba banget gitu gak, sih? Gue gak yakin kalau dia bunuh diri," ucap Farah yang dibalas anggukan oleh Tania.
"Lo bener juga. Dari kemarin gue gak tenang mikirin dia terus. Kasihan banget sama anaknya, masih bayi," ucap Tania.
"Kalian gak sendiri, aku juga bertanya-tanya. Apalagi setelah kejadian itu, suaminya kabur entah ke mana. Awalnya aku mikir si suami yang bunuh dan membuat seakan-akan Kana bunuh diri. Cuma, motifnya gak tau, sebabnya kenapa, dan aku gak mau suuzon juga," jelasku turut mengungkapkan pendapat.
"Nah! Gue juga mikir begini. Kana itu ceria dan rasanya gak mungkin tiba-tiba bunuh diri. Bukan dia banget."
Berbagai asumsi mereka utarakan, sebagian besar curiga dengan suami almarhumah Kana. Ya, aku juga begitu, tapi lebih baik diselidiki lebih lanjut.
"Keluarganya pasrah, ya kayak nerima aja gitu Kana udah nggak ada," ucap Aris.
"Lah, kan emang dari kecil Kana itu diasingkan sama orang tuanya. Dia tinggal sama nenek, sampai bersuami pun memilih hidup sendiri," timpal Tania.
"Ortu dia jahat, sih menuru gue. Anak sendiri meninggal tapi cuek gitu. Setidaknya membiarkan polisi nyari tau."
Di tengah perbincangan, aku malah tak tenang menunggu balasan dari Mas Arif. Lebih dari lima jam ia pergi, tak memberi kabar sekalipun. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya.
Akhirnya, aku izin untuk meneleponnya terlebih dahulu, meninggalkan mereka di ruang tamu dan masih berbincang-bincang. Perasaanku makin tak keruan ketika panggilan tak ia angkat.
"Kenapa, Bu?" tanya Bi Inem yang cukup mengejutkanku.
"Ini, Mas Arif gak angkat teleponnya, gak ngasih kabar. Kira-kira dia ke mana coba?"
"Mungkin lagi asik ama temennya, Bu. Jangan diganggu, nanti dia marah."
Aku mengacak rambut karena kesal. Tak ingin diganggu, ya setidaknya memberi kabar.
Ketika aku kembali ke ruang tamu, seseorang mengetuk pintu sangat kuat. Karena hanya aku yang berdiri di situ dan belum duduk, gegas aku menghampiri pintu.
Rasanya tubuh ini terbelah dua. Air mata jatuh perlahan tanpa diminta sebelumnya. Apa lagi ini, Tuhan?
"Mas?! Apa-apaan ini?!" bentakku tak percaya. Sontak aku mendorong tubuh wanita itu hingga ia hampir terjatuh. Namun, dengan sigap Mas Arif menangkapnya.
"Mas?! Jawab aku, apa maksudnya ini?" Ia tak mejawab, malah masuk sambil menggenggam erat tangan wanita itu. Wanita yang kembali datang untuk menghancurkan bahtera rumah tangga. Mengapa ia kembali lagi setelah sekian lama?
"Nah, itu suami kamu, Ris? Kok bawa cewe lain?" tanya Tania dengan wajah heran. Ia mendekati wanita itu dan membuka penutup kepalanya.
Sejal tadi, Sarah memang selalu menunduk.
"Oh ... ini rupanya wajah orang yang menggoda suami saya?" ucapku setelah tahu wajahnya tak begitu cantik. Namun, Mas Arif dibuat tergila-gila olehnya, sangat menakjubkan.
"Besok aku mau nikahi Sarah," ucap Mas Arif begitu lantang, di hadapan teman-temanku.
"Apa, Mas? Aku gak salah denger, `kan?" tanyaku memastikan, hampir merasa ini semua adalah mimpi.
"Gak, kamu gak salah dengar. Biar aku perjelas lagi. Besok aku mau nikah sama Sarah. Tolong kamu siapkan semua keperluannya," katanya lagi dengan senyum tipis yang jahat. Aku terduduk di sofa dan menangis sesenggukan. Tega sekali Mas Arif memperlakukanku seperti ini.
Tania berdiri dan langsung menampar lelaki itu. Mereka sekarang saling beradu tatap. Aku dan yang lain cukup terkejut. Tania memang berani dan tak takut pada siapapun.
"Lo pikir lo keren? Apa kurangnya Risti, hah? Dia ikhlas nerima lo yang miskin dulu, dia yang cinta ama lo sepenuh hati! Dan ini balasannya? Sumpah, lo gak jantan jadi cowok!" bentaknya penuh emosi. Aris yang melihat itu pun berusaha melerai.
"Gak usah cegat gue, Ar! Cowok modelan kayak gini emang harus diberi pemahaman sekali-kali. Kalau mata lo belum bisa diem, lo di rumah aja, biar Risti yang kerja. Biar sekalian lo yang pake daster, masak, nyuci, hamil, melahirkan!" lanjutnya lagi.
Mas Arif yang tak terima direndahkan pun hendak memukul Tania, tapi tangannya dipegang erat oleh Sarah. Wanita sialan itu menggeleng pelan, kemudian Mas Arif pun tersenyum manis.
"Kali ini saya maafkan kamu karena Sarah. Kalau gak ada dia, mungkin sekarang kamu udah babak belur," ucap Mas Arif sombong. Tania meledek dengan ekspresi menjijikkan.
"Lo pikir gue takut? Gak, lo mau hajar gue? Silakan, gue balas. Jangan ngerasa kuat hanya karena lo cowok! Bajing*n!"
"Apapun itu, saya gak akan mengubah keputusan. Saya akan tetap menikahi Sarah."
Rasanya aku tak ingin berada di sini lagi. Auranya tak enak, aku ingin pulang ke rumah Ibu!
"Apa, sih yang bikin lo tergila-gila sama cewek ini? Cantik? Masih cantikan Risti. Pintar? Masih pinteran Risti. Beda kualitas!" tanya Tania sambil berkacak pinggang.
"Karena Sarah hamil anak saya."
Aku mendongak, menatap keduanya dengan ekspresi sedih. Ternyata sudah sejauh ini hubungan mereka. Ternyata dugaanku benar. Sekarang bagaimana?
Semua terdiam, bahkan Tania pun geleng-geleng dan bungkam.
"Kalian juga bisa bantu Risti untuk mempersipkan pernikahan saya. Sederhana aja, saya gak mau terlalu mewah."
***
Dengan berat hati, aku melaksanakan perintahnya. Tak berani protes apalagi menghindar karena tahu, ia sedang dibawah pengaruh jin. Ia tak sadar sedang diperbudak oleh Sarah. Sekarang, aku hanya bisa mengikuti alurnya. Pasti diberikan jalan.
"Kamu aja yang dandanin Sarah, gak usah pake MUA."
"Gak bisa, Mas, tetep harus pakai MUA sama WO. Aku gak punya gaun pengantin dan alat make-up juga sedikit," jawabku.
Ia pergi begitu saja, benar-benar berubah.
Selesai mendandani pengantin, aku bergegas mengganti baju dan bersiap-siap juga. Di sini posisiku sebagai istri pertama yang tak rela dimadu. Namun, karena tak ingin melawan suami, aku terpaksa menerima dengan berat hati.
Ketika para saksi serentak berucap 'sah', aku menghela napas panjang dan memejamkan mata. Jangan menangis, tahanlah sebentar lagi hingga acaranya selesai.
Kedua orang tua Sarah sangat aneh menurutku. Sepanjang acara, mereka hanya diam mematung. Tatapan kosong dan penampilan sederhana. Mentang-mentang pernikahan tak diadakan meriah, mereka pun seenaknya.
Hatiku hancur begitu melihat Mas Arif menyuapi Sarah. Mereka terlihat sangat bahagia.
"Risti, sumpah demi apa gue gak nyangka lo bakal begini. Lo gak papa, `kan?" kata Tania sambil memelukku erat, "gue tau lo sakit, nangis aja gak papa," lanjutnya.
"Maaf, kita gak bisa bantu apa-apa karena Sarah hamil, mau gak mau dinikahkan. Ini juga demi menjaga nama baik kalian," lanjut Aris.
"Gak papa, aku yakin bisa menerima. Ini yang diinginkan Mas Arif sejak lama, tapi aku selalu menghalanginya."
Air mata terus menetes, berbanding terbalik dengan pengantin baru itu. Mereka tertawa, sangat bahagia. Aku hanya minta dikuatkan, diberi keikhlasan. Bahkan keluargaku tak tahu tentang ini. Jika mereka tahu, habislah Mas Arif.
***
Suara peraduan cinta mereka membuatku tak bisa tidur. Sakit, hati ini begitu hancur. Aku merasa tak akan bisa rela sampai kapan pun. Sarah sanga licik. Tak bisa mendapatkan dengan cara halus, ia memakai cara yang menjijikkan.
Aku duduk melamun di balik jendela, menatap ratusan bintang yang bersinar cukup terang. Rindu ketika dulu merajuk, pasti dibujuk lembut dan mengajakku melihat langit malam. Sekarang? Aku hanya disuguhkan pemandangan yang menyakitkan setiap hari. Menelan pahitnya kenyataan.
"Bu, udah malem. Ayo tidur, nanti masuk angin kalau jendelanya terbuka terus," tegur Bi Inem yang datang sambil membawa segelas air hangat.
"Ibu harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit," lanjutnya lagi.
"Mas Arif di mana?" tanyaku tanpa menatapnya.
"Em ... Pak Arif baru selesai makan sama Nyonya Sarah. Tadi mereka langsung masuk kamar lagi," jawab beliau.
Nyonya Sarah ... julukan yang bagus.
"Oke, makasih airnya. Nanti saya tidur, bentar lagi."
Ia pergi tanpa kata, aku juga enggan mengobrol dengan siapapun saat ini. Butuh waktu sendiri.
***
"Mas, mau makan apa?" tanyaku dengan senyum paksa.
"Gak usah masak, aku mau makan di luar sama Sarah. Dia ngidam bakso," jawabnya.
Aku tak menjawab apa-apa lagi, ia pun langsung pergi dan wanita itu tersenyum licik ke arahku. Sungguh, rasanya tak tahan ingin membunuhnya. Wanita tak tahu malu.
"Bu, ini ada yang nelpon dari tadi bunyi terus."
Aku langsung meraih ponsel itu dan melihat nama penelepon. Ibu, ini dari Ibu. Ia menghubungi di saat yang tidak tepat. Aku sedang malas berbicara.
"Halo, waalaikumsalam."
"Apa kabar, Nak? Tumben gak nelpon duluan. Ibu kangen banget, lho," ucap beliau.
Aku memejamkan mata, tiba-tiba benci Ibu berbasa-basi seperti ini.
"Bu, nanti aja ngobrolnya, lagi sibuk. Assalamualaikum."
Aku langsung mematikan sambungan, kemudian memijit kening karena pusing. Tak terbayang betapa sakitnya hati Ibu jika tahu aku telah dimadu.
"Tetep harus diberi tahu, Bu. Ini saran saya, karena masalah begini cepat lambat bakal ketahuan," ucap Bi Inem.
"Saya takut menambah beban pikiran Ibu, Bi. Beliau sudah tua, banyak penyakitnya."
"Insya Allah baik-baik aja, Bu. Jangan lupakan Allah."