"Sejak kemarin rumahnya tutupan, Mbah. Suami saya juga nggak pulang-pulang," ucapku sesampainya di rumah wanita itu.
"Nggak papa," ujarnya singkat.
Aku pun penasaran, mengapa tiba-tiba Mbah Parto mengalami mati suri? Memang kematiannya kemarin sangat mendadak dan tak terduga. Kupikir masih bisa diselamatkan.
"Em, Mbah, rasanya mati suri itu gimana?" tanyaku penuh selidik. Mbah tertawa, terlihat jelas garis-garis di bawah mata dan sudut bibirnya. Pertanda usianya tak lagi muda.
"Rasanya ya seperti sakaratul maut beneran. Sakitnya bukan main, tapi setelah itu Mbah bertemu sama dua orang berpakaian putih. Mbah dituntun ke dua tempat, yaitu surga dan neraka. Di situlah Mbah menangis dan ingin bertaubat," jelasnya yang membuatku merinding.
Tak terbayang bagaimana paniknya ia ketika sudah berada di alam lain. Ia dan dua orang itu.
"Setelahnya, ada yang bilang belum waktunya Mbah di sini. Jadi Mbah hidup lagi. Mbah langsung memeluk keluarga dan mencari makan karena laper," lanjutnya sambil terkekeh pelan.
"Alhamdulillah, Mbah. Memang kalau belum waktunya, ya belum. Saya selalu merinding kalau ada yang meninggal."
Ternyata ibu-ibu yang pergi melihat orang hidup lagi itu adalah Mbah Parto. Namun, anehnya Mbah Parto tak melihat ibu-ibu dari kompleks Sarah. Hanya beberapa tetangga dan keluarga dekatnya yang datang menjenguk.
"Beneran, Mbah? Saya ngomong sama mereka soalnya," tanyaku lagi.
"Bener, Nak. Bisa jadi itu orang halus, bukan manusia. Tujuan mereka bukan ke rumah Mbah, tapi ke suatu tempat. Untung kamu nggak jadi ikut."
Huh, untung saja!
"Iya, Mbah."
"Jadi gimana ceritanya suamimu itu dipelet Sarah?"
Aku pun bercerita perihal ilmu sihir yang digunakan Sarah untuk Mas Arif. Mulai dari kejadian aneh, dirasuki jin-jin jahat, hingga gumpalan darah yang beberapa kali ditemukan. Ia sangat terkejut dan berkata hal ini tak boleh dibiarkan lama-lama. Harus segera diselesaikan. Jin itu akan semakin betah di tubuh suamiku dan sulit diusir nantinya.
Akhirnya, kami pun beranjak ke rumah Pak Burhan yang ternyata sudah kembali sejak dua hari yang lalu. Namun, perangainya sedikit berubah. Ia seperti orang yang terkena penyakit mental. Diam, lalu tertawa, kemudian mengamuk dan menghancurkan barang-barang. Itu sebabnya sejak pindah, bagian ruang tamu dan kamarnya kosong, tidak diisi barang apapun.
Istrinya keluar dan menyapa, tapi senyumnya singkat dan tak seramah dulu. Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi kepada keluarga ini?
Fani keluar, ia menyalamiku dan Mbah Parto. Kurasa hanya gadis ini yang waras dan sehat.
"Gimana kabarnya, Pak?" tanyaku berbasa-basi. Yang ditanya hanya diam dan menatap kosong ke istrinya. Seakan bingung ingin menjawab apa.
"Dek, bapakmu kenapa tah? Ibukmu juga kenapa?" Fani menggigit bibir bawahnya dan tertunduk lesu. Ia berbalik badan dan pergi entah ke mana. Tak lama kemudian, ia datang membawakan sesuatu. Sebuah kain merah yang digulung rapi.
"Apa ini?" tanyaku langsung.
"Buka aja, Mbak."
Pelan-pelan aku membukanya, jaga-jaga siapa tahu ada barang berharga.
Nyatanya tidak, hanya foto Pak Burhan, istrinya, dan anak bungsunya yang dicoret dengan tinta merah. Pun ada tiga jarum kecil menancap di tiga foto tersebut. Ada gambar rantai yang mengikat keduanya.
Kutatapi kain itu lama-lama, sampai akhirnya menyadari sesuatu.
"Astaga!" ucapku yang membuat Mbah heran.
"Kenapa, Nak? Tau siapa yang ngirim?"
"Kalau yang kirim, saya gak tau, Mbah. Cuma ya saya heran aja, kain dan isinya mirip sama kain yang saya temukan di TKP kematian Tania."
"Jadi Tania itu mati disantet juga?"
"Mungkin."
Fani duduk di sampingku dan menangis terisak. Ia bercerita segalanya. Tentang sesuatu yang mengikutinya malam itu, juga tentang sihir yang menyerang keluarganya. Ia bingung harus berbuat apa.
"Makanya kami pindah ke situ kemarin, Mbak, karena tetangga ngomel mulu. Kalau malem bapak sama ibu emang berisik, teriak-teriak gitu. Ditegur makin jadi," jelasnya sambil terisak, "lama-lama adek terakhirku kena juga. Badannya sering panas, lama-lama menyusut kecil begitu."
Aku tak tega mendengar semua ini. Pak Burhan dan istrinya adalah orang baik. Mengapa mereka juga menjadi sasaran ilmu hitam itu? Sarah sudah keterlaluan.
"Mbah, saya baru menduga. Mungkin ini perbuatan Sarah juga karena Pak Burhan pernah membantu saya mengobati Mas Arif. Mungkin dari situ dia gak terima dan akhirnya memelet Pak Burhan juga," jelasku.
"Bisa jadi." Ia mengangguk paham.
"Mbah, Sarah ini udah keterlaluan. Harusnya dia dibunuh biar nggak makan korban lagi. Lama-lama warga desa ini habis dibuatnya," saranku.
Fani pun mengiyakan, ia memiliki dendam pribadi tampaknya.
"Di mana sih dia tinggal? Pengen bakar rumahnya biar mampus!" ucapnya kesal.
"Jangan ceroboh, Dek. Jangan asal bakar atau bunuh. Kita harus menelisik lebih jauh. Hal beginian memang sulit diteliti. Jangan sampai berbalik ke kita sendiri," ucapku memberi nasihat.
"Kita sama, sama-sama bencinya. Sarah itu hampir merenggut semua kebahagiaan saya. Cuma saya belum berani ambil langkah, takut dia semakin menggila dan mencelakai keluarga saya yang lain," ungkapku.
***
Setelah hari itu, aku lebih sering mengawasi Mas Arif. Ia sudah sadar dan kembali seperti biasa. Aku sengaja mengambil izin cuti selama dua bulan untuknya agar ia bisa istirahat dulu dan tidak ke mana-mana. Rumah kukunci rapat, pintu dan jendela. Tidak boleh keluar kecuali atas izinku dan harus ada yang menemani. Jika aku tak bisa, maka temannya, Ahmad, yang kusuruh mengawasi.
Namun, sudah tiga hari ini, ada yang aneh pada tubuhku. Setiap bangun tidur, kamar berantakan parah dan aku tak mengingat kejadian semalam. Rasanya satu hari itu begitu singkat. Pagi, siang, sore, malamnya entah apa yang kuperbuat.
Kutanyai Mas Arif, ia pun mengalami hal yang sama. Hingga sampai di satu malam, aku mencoba untuk tak terpejam. Segala macam cara kulakukan, entah minum kopi, menyalakan semua lampu dan televisi, serta menonton video lucu aagr perhatianku teralihkan.
Sama saja, paginya aku bangun dengan keadaan pusing dan linglung.
Mas Arif sepertinya tak menghiraukan kejadian ini. Ia menganggap faktor kehamilan, tapi mengapa ia juga mengalaminya?
Ia terus menghindar jika aku membahasnya.
"Semua normal, Bu. Bibi rasa nggak ada hal yang aneh dari kalian," jawabnya setelah kutanyai.
"Terus apa, ya, Bi? Masalahnya baru kali ini ngerasain hal yang aneh banget. Ibarat kayak dirasuki gitu," ucapku. Bibi menggeleng tak tahu.
"Coba Bibi muter murrotal deh, siapa tau saya emang dirasuki." Ia pun mengambil ponsel dan menyalakan murrotal di YouTube. Saat itu masih sore, sekitar pukul tiga lewat. Beberapa menit didengarkan, tidak ada hal buruk terjadi padaku.
Sampai akhirnya ....
"Argh! Bawa Parto ke mari! Cepat!" teriak Mas Arif meronta-ronta bak kepanasan. Buru-buru Bibi menelepon nomor Mbah Parto. Untung saja langsung diangkat.
"Mbah, cepet ke rumah saya, suami saya kerasukan minta Mbah ke sini!" ucapku panik. Entah mengapa juga harus Mbah Parto yang datang.
Ia sedikit terkekeh lalu berkata, "Akhirnya tiba juga. Baik, tunggu saya di sana, Nak."
Tak berani bertanya lebih lanjut, aku pun mengucapkan salam dan menutup sambungan telepon. Mas Arif semakin tak bisa dikendalikan. Berkali-kali ia menyebut nama Sarah dan mengumpat kasar.
"Tunggu kau, Sarah!"
"Argh!"
Sekitar sepuluh menit kemudian, Mbah Parto tiba bersama Fani. Meskipun heran mengapa gadis itu ikut juga, tapi mungkin keberadaannya diperlukan.
Ia datang dengan senyum semringah dan berseri-seri, bak mendapatkan uang dari langit.
"Mbah, gimana ini?" tanyaku khawatir.
"Sabar, sebenatar," katanya lalu duduk berhadapan dengan Mas Arif, "suamimu dirasuki jin kembaran Tania," lanjutnya.
Ia pun memejamkan mata, mulutnya komat-kamit melafalkan sesuatu. Mungkinkah doa pengusir roh?
"Bismillah .... Tania, Nak ... sengaja Mbah panggil ke sini untuk sesuatu yang penting. Nak Tania meninggal kenapa?" Mbah mulai menginterogasi dengan mata terpejam dan tangan berada di ubun-ubun Mas Arif.
Mas Arif yang tadinya meronta-ronta pun mendadak diam dan terisak. Ia menangis.
"Kenapa nangis?" tanya Mbah.
"Tolong balaskan dendam saya, tolong! Saya mati dibunuh Sarah!" kata roh yang merasuki Mas Arif,
"Dibunuh Sarah?"
"Iya, dengan santet yang menyakitkan. Kemudian tangan dan kaki saya dipotong dan dibawa pulang olehnya. Kaki tangan itu dia persembahkan untuk sang iblis." Mbah mengangguk pelan.
"Jadi bagian tubuh Tania yang hilang itu sudah menjadi sesajen?"
"Sudah, Mbah. Argh!"
"Astagfirullah ...." Mbah hanya beristighfar, aku juga meskipun dalam hati. Sarah benar-benar menyembah iblis.
Ia tak segan-segan menyakiti siapapun yang menghalangi tujuannya itu.
"Jadi, sekarang mau Sarah bagaimana?"
"Saya ingin ilmunya berbalik ke dia!"
"Argh!" Mas Arif berteriak kepanasan, lalu jatuh tak sadarkan diri. Segera aku menaikkan kepalanya di atas pangkuanku.
"Jin qorin itu sudah pergi. Sengaja Mbah panggil dia ke sini untuk membongkar semuanya. Tania sduah tenang, semoga," ucap Mbah Parto.
"Tapi, gimana sama organ tubuh itu, Mbah? Setahu saya, kalau mayat tubuhnya gak lengkap, rohnya gak tenang. Jadi harus ditemukan," tanyaku.
"Yang penting kita udah tau kalau bagian tubuhnya sudah dimakan. Yang penting apa yang ingin dia sampaikan terpenuhi."
Ya, aku teringat ketika tak sengaja melihat arwah Tania di depan rumah malam itu. Ia seperti mengucapkan satu kata dan ternyata maksudnya adalah Sarah. Sudah lama ia ingin aku tahu tentang hal ini.
Mas Arif membuka mata, langsung kuberi segelas air minum yang telah dibacakan doa-doa.
"Udah pergi?" tanyanya.
"Alhamdulillah, udah. Tadi yang rasuki Mas itu Tania."
"Syukurlah." Ia menghela napas lega.
"Mas, ingat gak rumah kosong yang kita masuki waktu itu? Yang aku lihat ada orang makan tangan manusia?"
Ia mengangguk sambil mengerutkan kening. "Iya, ingat. Kenapa?"
"Rupanya itu Sarah, Mas! Itu rumah tempatnya menyembah iblis dan melakukan pengorbanan."
"Astaga, masa? Jadi dia yang makan tangan itu? Huek!"
"Iya, Sarah sebagai medium. Iblis itu merasuki tubuhnya dan memakan persembahan tadi," jelas Mbah Parto.
"Serem banget, Mbah. Wanita itu bener-bener aneh."
Jika sedang berada di dalam rumah, Sarah menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian serba hitam. Hanya terlihat bagian hidung dan bibirnya. Itu pun sebisa mungkin ia tutupi.
Barulah ketika ia menikah dengan Mas Arif, aku mengetahui wajah aslinya. Memang sangat cantik, tapi cantiknya itu berbeda dari kebanyakan wanita. Cantik yang menyeramkan.
Senyumnya selalu tipis dengan tatapan kosong. Matanya yang besar dan rambut hitam tergerai panjang menambah kesan horor pada wanita ini.
"Masalah Tania udah selesai. Tinggal beberapa hal lagi," gumamku.
"Dek, besok kita ke makam Tania lagi aja gimana? Mas mau doakan dia lagi, supaya lebih tenang."
Usul Mas Arif disetujui olehku dan Mbah. Fani pun mau ikut karena penasaran. Lagipula ia mengaku stres tinggal di rumah karena kedua orang tuanya sakit. Toh, ada pembantu rumah tangga yang sigap mengurus Pak Burhan dan istrinya itu.
"Saya butuh hiburan, mungkin dengan berbicara dengan penghuni makam."