Sesak

1631 Words
Setengah jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda kepulangan mereka. Aku cemas, sejak tadi mondar-mandir tak jelas. Bude Sumiati menawariku ubi rebus. Sebenarnya suka, tapi hati sedang khawatir. Sulit sekali menelan makanan. Sudah hampir pukul lima sore, Mbah Parto dan Mas Arif belum juga kembali. Berkali-kali dihubungi, tak diangkat juga. Untuk meredakan perasaan cemas, aku bermain bersama anak Mbah yang masih berusia 20 bulan. "Bude punya anak berapa toh?" tanyaku. "Ada lima, Nduk. Anak pertama dan kedua sudah kerja, yang ketiga masih kuliah. Yang keempat masih kelas 2 SMP, yang terakhir si bocil ini," jawabnya. "Insya Allah jadi anak sukses semua, ya, Bude." "Aamiin. Yang membiayai kuliah dan sekolah itu ya kakak-kakaknya. Makanya mereka belum niat menikah." "Nggak papa, Bude. Jodoh nanti datang sendiri kok." Aku tersenyum, kemudian kembali memikirkan Mas Arif. Ingin menyusul tapi tak tahu ia pergi ke mana. Lagipula Mbah menyuruhku diam di sini. "Hm, Bude ... saya haus nih boleh minta air nggak? Hehe," pintaku lalu cengengesan. Bude pun menjawab, "Boleh, bentar ya." Dan langsung beranjak pergi mengambil segelas air untukku. Ah, waktunya kabur! Setengah berlari aku meninggalkan makam dan berteriak memanggil Mas Arif. Bertanya ke orang-orang yang lewat, atau ke rumah-rumah sekitar sini. Tentu mereka mengenal Mbah Parto. Yakin sekali ada yang melihat lelaki itu lewat sini. "Tadi, sih jalan lurus aja, Mbak. Habis itu saya nggak lihat lagi jalannya ke mana," ucap salah satu anak remaja yang nongkrong dengan teman-temannya. "Oh, iya, makasih, Dek!" ucapku lalu kembali melangkah cepat. Lumayan lelah, ditambah jam sudah menunjukkan pukul 05:30. Hari semakin sore, mereka belum juga ditemukan. Akhirnya kuputuskan untuk duduk sebentar di bawah pohon kersen. "Neng? Ngapain duduk di sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku menoleh dan membalas dengan senyuman tipis. "Saya lagi nyari suami, Pak. Tadi lewat sini, belum nemu," jawabku pelan. "Oh, yaudah atuh masuk dulu. Pasti Neng capek keliling dari tadi. Habis minum baru lanjut mencari," tawarnya. Orang-orang di sini memang ramah. "Terima kasih banyak, Pak, tapi saya udah minum tadi," tolakku halus. "Nggak baik menolak tawaran, Neng. Minum sedikit saja." Karena ia terus memaksa dan aku tak berani menolak lagi, akhirnya aku memenuhi tawaran pria tersebut. Aku disambut dengan sangat baik di rumahnya yang sederhana. Nyaman, hawanya sejuk dan rindang. Andai saja rumahku seperti ini, mungkin bisa mengurangi stres karena masalah hidup. Setelah menenggak setengah gelas es sirop, aku berniat melanjutkan pencarian karena takut keburu malam. Bapak itu mengantar hingga ke depan halaman, tapi anehnya begitu menoleh, ia menghilang. Cepat sekali jalannya. Kupanggil nama Mas Arif, kuteriaki nama Mbah Parto. Tidak ada sahutan, aku mulai menyerah dan kelelahan. Namun, di balik celah-celah pohon bambu itu, aku melihat sesuatu. Sampailah aku di sebuah rumah kosong yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Astaga! "Mas Arif!" teriakku ketika melihatnya bersama Mbah di depan halaman rumah kosong. Aku langsung berlari menghampirinya, tapi Mbah berteriak kencang. "Jangan! Mundur, bahaya! Mundur!" Mbah seakan mengalihkan perhatian Mas Arif. Namun, telat, Mas Arif sudah melihatku dan ia mengejar mendekati. Aku panik karena ia membawa sebatang kayu yang lumayan besar. "Mas!" teriakku, Sepertinya ia dirasuki sesuatu. Matanya memerah, urat-urat di lehernya pun terlihat jelas. Ia sangat marah, tapi mengapa harus ke aku? Bugh! "Akh!" teriakku kesakitan ketika kayu itu dihantam ke bahu kanan. Mas Arif tertawa puas, sedangkan aku tersungkur tak berdaya. "Mas, sadar! Ini aku, Risti!" ucapku dengan sisa tenaga yang ada. Bukannya sadar, Mas Arif malah ingin menghantamkan kayu itu lagi. Ia sudah mengambil ancang-ancang. Pasrah dan tak sanggup melarikan diri, aku berdoa jika detik berikutnya aku telah tiada. Bugh! Aku selamat? Ketika membuka mata, betapa terkejutnya aku ketika melihat tubuh Mbah jatuh ke tanah. Rupanya ia yang menahan serangan Mas Arif agar taka mengenaiku. Mbah tak sadarkan diri saat itu juga karena kayu itu menghantam kepalanya. "Mbah, bangun! Mbah!" Aku menangis, berteriak meminta tolong tapi daerah ini sepi. Hampir tidak ada orang. Mas Arif kini menyakiti dirinya sendiri. Berkali-kali memukul kepala dengan kayu yang ia pegang. Bagaimana bisa menolong? Sedangkan menyelamatkan diri saja aku tak mampu. Namun, entah kekuatan dari mana, aku berusaha sekuat tenaga berdiri, meskipun rasa nyeri di bahu ini tak tertahankan. Aku berjalan terseok-seok menuju pemukiman warga. Syukurlah ada yang melihat dari kejauhan dan segera mendekati. Aku langsung tersungkur ketika ditanya ada apa. "Tolong, Mas ... suami saya, Mbah Parto, mereka ada di sana," ucapku sambil menunjuk rumah kosong itu. "Mereka kenapa, Mbak?" "Suami saya kerasukan dan menyakiti saya. Mbah Parto juga dipukul sampai pingsan. Tolong sadarkan suami saya," pintaku memohon. "Astagfirullah, ayo cepat ke sana!" Karena sakit yang menjadi-jadi dan kepala mulai nyeri, aku memejamkan mata dan tahu apa-apa lagi setelah itu. Tak sadarkan diri. *** Aku membuka mata perlahan, mengerjap ke seluruh ruangan. Tempat yang asing, ini bukan kamarku yang jelas. Tunggu. Mengapa tak bisa merasakan tangan kananku? "Eh, udah sadar. Ini, Mbak, diminum dulu," ucap seseorang sambil menyodorkan air segelas air putih. Perlahan kuteguk air itu karena memang sangat haus. "Makasih, Bu, maaf merepotkan. Ini kamar Ibu, ya?" Wanita tua itu mengangguk pelan. "Istirahat di sini dulu, tunggu suami kamu sadar." "Suami? Suami saya udah sembuh?" "Iya, tadi sudah ditangani ustaz. Suami kamu kerasukan arwah perempuan yang meninggal tragis. Mungkin kamu kenal perempuan itu," jelasnya. Perempuan yang terlintas di benakku adalah Tania. "Oh, iya, tadi bahu kamu juga udah diurut. Tulangnya bergeser sedikit." Aku mencoba menyentuh bahu kanan dan masih belum bisa digerakkan. Ah, tak masalah, yang penting sudah diurut. "Boleh antar saya ke suami saya, Bu?" "Boleh, mari." Ia memapahku berjalan hingga ke kamar tempat Mas Arif terbaring lemas. Kutatapi ia dalam-dalam. Perban di wajah dan beberapa bagian tubuhnya. Luka lebam pun terlihat mengerikan. Sampai separah ini, apa yang terjadi? Aku menangis, meratapi penyesalan karena keras kepala. Andai saja tadi tidak membantah Mbah Parto. Kini mereka berdua terluka cukup parah karena aku. "Tadi bapak ini susah banget disadarkan. Makin ngamuk," kata salah satu remaja cowok yang bernama Farhan. "Iya, Mbak. Kami kewalahan ngadepinnya padahal udah enam orang termasuk Pak Ustaz," timpal yang lainnya. "Syukurlah, ada kalian. Maaf merepotkan. Ini ada sedikit rejeki, mohon diterima." Aku menyerahkan beberapa lembar uang merah itu kepada Bu Atun. "Eh, apa ini? Nggak usah, Nduk. Kami semua ikhlas menolong, biar Allah yang membalas," ucapnya menolak. "Hm, kalau gitu buat anak-anak Bu Atun saja, ya. Sini, Dek, ambil!" Awalnya mereka malu-malu. Namun, aku terus membujuknya hingga akhirnya diterima. Bu Atun tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Tadinya uang itu untuk membeli sesuatu di jalan, atau jika ada barang bagus. Namun, kurasa lebih bermanfaat jika diberikan kepada orang lain. Senang rasanya. *** Kukunjungi Mbah Parto yang belum sadar dari pingsannya. Ia terluka lumayan parah di bagian kepala. Karena sudah dipanggilkan dokter, Mbah Parto cukup diberi obat dan perawatan biasa. Tak perlu ke rumah sakit. Aku menghela napas panjang, tak tega melihatnya seperti ini. Apa kata istrinya kelak? Pasti mereka akan sangat membenciku. "Maaf, Mbah, maaf sudah keras kepala. Harusnya tadi saya diam di rumah bersama Bude, tapi saya malah menyusul. Demi Allah, saya hanya khawatir. Kalian lama sekali belum pulang juga. Saya takut terjadi apa-apa. Maafkan saya, Mbah ...," lirihku sambil menangis terisak. Terasa sebuah tangan mengelus rambutku pelan. Aku mendongak, membuka mata. Pria itu tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Mbah ... maaf," ucapku lagi. "Saya tidak memikirkan diri sendiri, Nak, tapi kamu, suamimu, dan calon buah hatimu," ucap beliau sangat pelan, hampir tak terdengar. "Jin itu sangat kuat, bahkan saya sendiri tak bisa melawannya," lanjutnya lagi, "berjanjilah, kali ini jaga janinmu baik-baik. Banyak yang mengintai malaikat kecil di rahimmu itu." Aku mengangguk cepat dan mencium takzim punggung tangan Mbah Parto. Sedetik kemudian, ia memejamkan mata perlahan, mengembuskan napas panjang. Yang ternyata, itu adalah napas terakhirnya. "Mbah! Ya Allah!" Aku berteriak histeris di samping jasadnya itu. Perasaan bersalah semakin menjadi-jadi. Orang rumah datang satu per satu dan mengucapkan belasungkawa. Aku dibopong keluar kamar karena jasadnya harus dibawa ke rumah almarhum. Dengan sisa tenaga yang ada, aku turut ikut mengantar Mbah Parto ke rumah. Bayang-bayang kesedihan ketika keluarganya tahu Mbah sudah tiada, membuatku semakin gila. Ya Tuhan, kuatkan hamba kali ini. "Anak-anaknya masih kerja, nggak dikabari tah? Biar bisa pulang nengok mayatnya sebelum dikubur," ucap Farhan. Sesampainya di rumah, Bude menangis histeris begitu melihat jasad suaminya yang terbujur kaku. Hatiku semakin terpukul. Semua ini gara-gara aku. Aku yang harusnya mati. "Bude, yang kuat. Yang sabar ...." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Farhan menelepon anak-anak Mbah yang sedang bekerja. Pun menghubungi kepala sekolah agar anaknya diizinkan pulang. *** Sudah tiga hari aku menginap di rumah Bu Atun. Dua hari yang lalu, sudah mengabari Bi Inem di rumah. Kami belum bisa pulang karena Mas Arif belum bisa berjalan. Untung saja membawa persiapan, uang di ATM juga lumayan banyak. Setidaknya mencukupi kebutuhan harian dan tak merepotkan Bu Atun. Dua hari yang lalu, Mbah Parto dimakamkan dengan layak. Setelahnya, aku tidak pernah menginjakkan kaki di makam ataupun rumah Bude. Malu, perasaan bersalah ini sangat menghantui. Ketika sedang asik duduk di teras rumah, tiba-tiba perutku sakit seperti terpelintir. Saking sakitnya, ingin bangkit saja tak bisa dan malah terjatuh. Farhan yang datang pun langsung membantuku berdiri. "Mbak kenapa?" tanyanya setelah mengantarku ke kamar. "Sakit perut, Dek. Gak tau kenapa," jawabku sambil merintih. "Mbak ada maag?" "Ada, Dek, tapi nggak gini sakitnya. Beda." "Oh, iya, Mbak `kan lagi hamil. Aku panggil ibu dulu." "Akh, sakit!" Bu Atun panik, ia langsung menelepon ambulan karena takut bayiku kenapa-napa. Karena tidak ada kendaraan, akhrinya Bu Atun ikut denganku di ambulan. Entah mengapa rasanya perjalanan ini terasa jauh sekali. Aku sudah tak tahan menahan sakit ini. *** "Dok, gimana? Saya sakit apa?" tanyaku setelah diperiksa. "Bu Risti, maaf sekali. Anda keguguran." Jiwaku bak terbelah, langit seperti runtuh menimpa tubuh yang ringkih. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. "Coba periksa lagi, Dok. Saya gak percaya!" kataku. "Ibu keguguran. Mungkin ;pernah jatuh atau mengonsumsi makanan dana obat berbahaya?" "Nggak, saya gak pernah macem-macem!" "Terus, kok bisa?" Bu Atun pun keheranan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD