Mencekam

1603 Words
Aku menghela napas pelan, lalu membuka pintu mobil. Fany yang masih belum bisa berjalan normal pun dibantu Bibi masuk ke rumah. Sedangkan Mbah Parto, ia mengekor di belakang, katanya takut mendekati Fany. Memang sejak tadi wajah gadis itu masam, seperti tak suka dengan keberadaan Mbah di sini. Ia belum tahu saja bagaimana keadaan Mas Arif sehingga Mbah harus menginap beberapa hari. Begitu masuk, ia tersenyum dan bersyukur akhirnya bisa kembali pulang. Antusias ia meminta diantar ke kamarnya yang sudah kubersihkan semalam. Ia terkejut begitu melihat seprai dan tirai berwarna pink, cantik dan lucu. Tentu saja ia suka. "Makasih, Mbak. Seneng banget sama warnanya!" ucapnya bahagia. Ia menyalami dan mencium punggung tanganku berkali-kali. "Sama-sama, Dek. Kamu rehat aja dulu, ya. Mbak mau ke kamar dulu," jawabku kemudian berbalik badan. "Bentar dulu, Mbak. Kak Arif ke mana? Kerja?" Pertanyaan itu sontak membuatku bergeming. Bingung bagaimana menjelaskan. "A–ada di kamar, lagi istirahat juga." Aku menjawab gugup. "Kalian beneran gak papa, `kan?" tanyanya lagi. "Bener, gak ada apa-apa kok. Dah, kamu bobo aja di sini. Mbak tinggal dulu." Aku bergegas pergi keluar kamar dan menutup pintu. Cepat lambat ia akan mengetahuinya. Namun, mengingat keadaannya yang belum benar-benar stabil, kuputuskan untuk menyembunyikan rahasia ini sebisa mungkin. Mas Arif sedang tertidur, tubuhnya banyak luka lecet dan lebam. Tak tega, kuoles perlahan dengan salep. Sampai kapankah melihatnya menderita begini? Aku tak tega. *** Sekitar pukul tujuh malam. Kuhampiri Mbah Parto yang sedang melamun di ruang tamu. Ia tampak memikirkan sesuatu yang serius, hingga takut-takut kuhampiri. "Mbah, ganggu gak?" tanyaku. "Eh? Nggak, Nak. Kenapa?" Meskipun sedikit terkejut, ia tetap membalas dengan senang hati. "Hm, saya mau tanya. Kita kapan panggil Sarah ke rumah? Atau kita ke sana langsung?" "Kalau ke sana, sepertinya jangan dulu, Nak. Saya ada denger kalau di sana itu desanya para dukun. Ada banyak keluarga yang menganut ilmu hitam di sana. Jadi, takutnya kita diserang oleh mereka," jelas Mbah Parto. "Oh, pantes waktu itu ada ibu-ibu bilang, jangan lagi ke sana karena berbahaya. Saya tanya kenapa, mereka langsung lari ngibrit." "Benar. Di sana banyak jin jahat yang disembah. Makanya banyak rumah kosong tak berpenghuni lagi karena korban-korban santet berjatuhan," lanjut Mbah Parto seakan mengetahui semuanya. "Jangan-jangan rumah kosong tempat Sarah menyembah jin itu juga, Mbah?" dugaku. "Bisa jadi. Selain ke rumah Sarah, kita ke tempat penyembahan itu juga." Aku pun menceritakan kejadian saat memasuki rumah aneh itu bersama Mas Arif. Mbah terkejut karena katanya hanya orang tertentu yang bisa masuk dan melihat orang di sana. Aku pun heran, antara halusinasi atau memang kenyataan. Namun, Mas Arif pun mengalaminya. Jadi kurasa ini bukanlah khayalan semata. "Tunggu satu jam lagi, kita memanggil Sarah ke sini," ucap Mbah. Aku melongo, bagaimana caranya? "Saya ada khodam, khodam itu bisa berinteraksi dengan Sarah. Pasti wanita itu menuruti," ucapnya lagi seakan-akan membaca pikiranku. "Hebat banget, Mbah." "Khodam warisan. Aslinya saya gak mau punya begituan. Ribet! Ke mana-mana selalu ikut, gak mau tinggal. Sering nyerap energi dan efeknya panas. Saya mau lepas tapi harus ada pewarisnya," jelas Mbah mengenai khodam harimau putih yang menjadi pengawalnya itu. "Apakah dia berbahaya, Mbah? Maksud saya, mencelakai Mbah atau orang lain gitu?" tanyaku lagi, lumayan penasaran dengan hal seperti ini. "Alhamdulillah nggak. Dia cukup baik, meski kadang merepotkan." Bagian yang katanya merepotkan itu tidak dijelaskan Mbah lebih lanjut. Ia berkata, hal itu cukup menjadi rahasianya pribadi. Orang lain tak perlu tahu, bahkan keluarganya sendiri pun tak dibiarkan tahu. Ia takut berakibat buruk. "Kan Mbah ada beberapa anak ini, kok gak diwariskan ke mereka aja biar Mbah lepas selamanya?" "Mereka gak mau, Nak. Lagipula merawat khodam itu harus punya iman dan mental yang kuat, sedangkan anak-anak Mbah itu lembek. Ngeliat hantu sekelebat aja besoknya panas tinggi, muntah-muntah," jelas lelaki itu lalu tertawa receh. Tampaknya suka sekali menyebar aib anak sendiri. Aku ikut tertawa karena merasakan hal yang sama dulu. Melihat bayangan seram saja langsung pingsan. Besoknya tak mau makan karena selalu terbayang-bayang. "Tetap aja suatu saat Mbah harus mencari pewarisnya, karena umur gak ada yang tau." Tiba-tiba pembicaraan berubah melow. Mbah yang ceria, secara drastis berubah sedih. Kutahu bagaimana perasaannya. Pengalaman mati suri mungkin membuatnya takut menghadapi kematian. "Kematian memang harus dipersiapkan, Mbah. Kita emang gak tau kapan, makanya lebih baik bersiap-siap," celetukku. "Benar, Nak. Kalau bisa hidup itu selalu berbuat baik ke orang lain. Jangan sakiti hati mereka, sebesar apapun kesalahannya." Tak terasa, satu jam lebih pembicaraan dalam kami. Dari cerita hidupnya, kuambil banyak pelajaran. Ia yang sudah tak muda lagi, benar-benar hidup demi menyenangkan hati orang lain. Tanpa disadari, dirinya tak terurus dan tak ada yang peduli. Ia memulai prosesi, memanggil Sarah dengan bantuan khodam tersebut. Aku disuruh diam saja di samping beliau sambil membantu doa sebisanya. Tiba-tiba, tubuh Mbah mengejang, tapi ia berusaha menahan dan jangan sampai tumbang. Dengan posisi duduk bersila, ia tetap fokus sambil memejamkan mata. Sekitar dua puluh menit berlalu, terdengar suara ketukan yang sangat kencang dari pintu depan. Bergegas aku mendekati dan memeriksanya dari jendela kaca. Rupanya ada sosok misterius dengan pakaian serba hitam berdiri dengan kedua tangan mengepal geram. Sudah bisa dipastikan itu adalah Sarah yang kerasukan khodam Mbah Parto. Begitu membuka pintu, ia main nyelonong masuk tanpa permisi. Aku ternganga beberapa detik, sampai akhirnya sadar bahwa ia berlari menuju kamar. "Sarah!" teriakku saat melihatnya menindih tubuh Mas Arif. Sosok itu menoleh sekilas, terlihat senyum licik yang menjengkelkan. "Turun kamu! Saya panggil ke sini bukan untuk menggoda suami saya!" tegasku sambil menarik-narik tangannya. Mas Arif menggelinjang, ia berusaha melepaskan ikatannya. "Mbah! Mbah! Bibi!" Aku berteriak memanggil semua orang. Namun yang muncul malah hanya Bibi dan Fany. Mungkin Mbah tidak mendengar. "Astagfirullah!" ucap Bibi begitu melihat Sarah berbaring di atas tubuh Mas Arif. Fany membekap mulutnya sambil ternganga. Hal ini memang cukup mengejutkannya. "Ini kenapa, Mbak? Dia siapa? Kak Arif kenapa diikat begini?" Pertanyaan Fany yang bertubi-tubi tidak kurespon. Hanya fokus pada wanita sialan itu. Tanpa rasa berdosa, ia mencium d**a Mas Arif. Panas, rasanya ingin menusuk perutnya sampai usus terburai. Mbah Parto datang, ia langsung berteriak memanggil khodamnya. Sarah pun merintih kesakitan, ia turun dari ranjang dan jatuh tersungkur. Penutup kepalanya terbuka dan terlihat bagian keningnya penuh nanah. Aku membekap mulut, antara kaget dan geli sendiri. Bagaimana bisa ia mendapat luka itu? "Akh, lepaskan!" pintanya meronta-ronta. Bersamaan dengan itu, lampu di kamar menyala mati sendiri. Pun angin deras yang entah datang dari mana. Hawa pun berubah sangat dingin meski AC sudah lama dimatikan. Suasana semakin mencekam karena Bibi pun mulai dirasuki. Fany pun segera menjauhkan Bibi dari kami, ia menyeret Bibi ke kamar sebelah dan mengunci pintu. Ia kembali dengan keringat yang membuat rambutnya basah. Mbah Parto berusaha mengendalikan jin yang marah karena diambil alih oleh khodam tersebut. Aku yang tak berani mendekat pun memilih mundur beberapa langkah. Takut mendekati siapapun, termasuk Mas Arif yang semakin memberontak ingin melepaskan diri. Saking kuatnya, perlahan-lahan tali itu melonggar dan ia pun bebas. Segera dipeluknya Sarah, seakan tak bertemu sekian lama. Patah hati jangan ditanya, sampai tak bisa menangis lagi karena merasa tak pantas. Ya, kutahu Mas Arif sedang berada dalam pengaruh jin itu. Mbah terus berteriak, melawan bentrokan yang terjadi. Samar-samar mulai terlihat kabut tipis yang menghalangi jarak pandangku. Fany meraih tangan kananku dan menggenggam erat. Ia sendiri terlihat panik dan tegang. Tak berhenti menatap. "Mbak, kalau misalnya aku harus mati demi keselamatan kalian, aku rela," ucapnya enteng. Seketika kutatap wajahnya yang mulai memucat itu. "Maksudmu apa? Kamu mau jadi korban penumbalan iblis itu?" "Ya, karena hidupku bukan untuk siapa-siapa lagi, Mbak. Kedua orang tuaku sudah pergi duluan. Jadi untuk apa aku hidup?" "Saya yakin Mbah ada jalan keluar tanpa mengorbankan siapapun." Mbah Parto yang tampak kelelahan pun membuka mata, ia menarik napas panjang sambil terus melafalkan doa. Ditatapnya erat-erat wanita yang masih berpelukan dengan Mas Arif. Kemudian, secara mendadak ia menyentuh ubun-ubun Sarah dan wanita itu tersentak. Matanya memelotot ke atas dan tubuhnya mengejang hebat. "Lepaskan, atau kamu akan mati!" ancam sosok yang merasuki tubuh Sarah. Mas Arif membuka penutup matanya dan menunjuk dinding, seakan melihat sesuatu. "I–itu! Usir dia dari sini!" teriaknya. "Aku di sini, Mas!" ucap Sarah manja, berusaha mengalihkan perhatian Mas Arif. Namun, Mas Arif terfokus pada sosok di depannya itu. Angin berhembus semakin kencang, disertai bau busuk yang menyengat hidung. Aku dan Fany pasrah bila sesuatu yang buruk akan terjadi. Sarah bangkit dan mencekik leher Mbah Parto hingga lelaki paruh baya itu tercekat kesakitan. Aku ingin menolongnya, tapi Mbah Parto melambaikan tangan, tanda berbahaya. Tatapan Sarah yang tajam dan menusuk membuatku semakin panik. Aku takut ia nekat membunuh Mbah Parto dan tidak ada yang bisa membantuku lagi. Namun .... "Astagfirullah!" Sontak aku memalingkan wajah, hal yang sangat menjijikkan. Sarah memuntahkan cairan merah tepat ke mulut Mbah Parto. Alhasil Mbah menelan cairan itu dan astaga ... entah darah atau apa. "Fan, cepet minta tolong ke tetangga atau siapapun. Mbah Parto gak bisa sendiri kayaknya," suruhku di tengah kepanikan. "Aku gak berani, Mbak! Di luar gelap! Tiba-tiba gak ada sinyal juga." "Oh, iya Bibi? Gimana?" "Aku ke sana cek." Takut-takut menoleh, ternyata Sarah masih mencekik Mbah Parto. Lelaki itu semakin kehabisan napas, aku pun menangis kencang karena tak bisa berbuat apa-apa. "Mbah!" Sarah melepas cekikannya dan mendekatiku. Dengan tatapan tajam dan senyum tipis, ia mengangkat daguku perlahan. Disentuhnya pipiku, dimainkannya beberapa helai rambut yang basah karena keringat ini. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku memejamkan mata setengah. Takut ia berbuat macam-macam. "Inikah yang kamu cintai, Mas? Cantikkah dia di matamu?" Ia mulai bersuara, membuatku semakin bergidik ngeri. "Jangan sentuh dia!" teriak Mas Arif yang ternyata sudah sadar. Aku tersenyum lega, ingin berlari memeluknya. Namun, Sarah menghalangiku. Kukunya yang panjang itu menciptakan luka di pipi, pedih. Aku tidak peduli, masih bisa menahan dan berlari meskipun darah terus menetes.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD