BAB 7. Alden

1789 Words
Selalu seperti ini jika Jeni tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan atas kecurigaanya padaku. Dia akan bercerita pada Fino dan aku akan mendapatakan kejutan yang membuat kesal. Tapi sejak dulu perilaku Jeni memang sudah seperti itu, sangat manja dan tukang mengadu. Mungkin karena dia di besarkan dalam keluarga yang penuh kasih dan berlimang harta sementara dia adalah anak tunggal. Tapi terlepas dari sifat menyebalkannya itu, aku tetap tidak bisa lepas dari Jeni. Dia selalu menemaniku melewati banyak masa-masa sulit, dia tidak pernah meninggalkanku sedikitpun saat orang-orang menjauhiku karena perubahan sikapku yang menyebalkan dan yang paling penting, Jeni mencintaiku. Itu sudah lebih dari cukup untuk aku pertahankan. Tapi kehadiran Bia membuatku mengenal jenis perempuan selain Jeni. Membuatku mulai berpikir bahwa ternyata selain kecantikan dan kesetian ada banyak hal yang menarik dari wanita. Dulu ku pikir wanita lemah lembut dan manja seperti Jeni dan mendiang ibuku sudah sangat menarik. Tapi ternyata ada sisi menarik juga dari seorang wanita yang kuat seperti Bia. “Sepertinya kekasihmu tidak akan suka jika aku terus berada di sekitarmu.” Ucap Bia membuyarkan semua pikiranku. “Jika aku jadi dia ada seorang wanita di samping kekasihku aku juga tidak akan suka.” Tambahnya lagi. “Dia akan mengerti jika aku jelaskan.” Jawabku singkat. Ku dengar Bia mendesah pelan. “Aku tidak mau bertanggungjawab jika kekasihmu sampai marah karena keberadaanku.” Ucap Bia lagi. Jika bukan karena dia bisa membuatku bisa tidur nyenyak juga aku tidak perlu mempertahankannya. Ku akui Bia menarik karena jarang sekali ada wanita yang kuat dan tangguh sepertinya, tapi selain itu dia tidak cocok dengan gayaku. Keras kepala, gaya berpakaiannya dan caranya berpikir jauh berbeda dengan caraku. Aku tidak suka berada dekat dengan seseorang yang tidak satu arah denganku tapi mengingat aku membutuhkannya untuk tidur, aku mengorbankan perasaan tidak suka itu. “Memangnya siapa yang menyuruhmu bertanggungjawab atas kehidupan pribadiku? Urus saja urusanmu dan perjanjian kita. Di luar itu jangan ikut campur!” Balasku kemudian berdiri dan meninggalkannya sendirian di ruang tamu sambil menatapku terlihat kesal. Tapi siapa yang peduli? “Biaaaa sedang apa ayo tidur!” Teriakku karena Bia tidak kunjung masuk ke kamar. Tapi hingga beberapa menit berlalu gadis itu tidak kunjung datang membuatku kesal. Padahal bahunya juga sedang sakit seharusnya dia istirahat bukan? “Biaa kamu dimana?” Tanyaku karena tidak menemukannya di ruang tamu dan di manapun. Aku keluar rumah kemudian menemukannya duduk sendirian di bangku taman yang gelap. Dan rasa marah serta kesalku hilang melihat bahunya bergetar, dia sedang menangis. Kemudian aku mengingat ceritanya bahwa selain tunangannya, dia juga di khianati oleh sahabatnya sendiri. Ku pikir kehilangan orang tua saja sudah sangat berat, tapi rupanya Tuhan ingin menguju kesabarannya dengan lebih berat. Aku memutuskan untuk berdiri lama sambil bersandar di tembok memperhatikannya. Membiarkannya berdamai dengan perasaanya, hingga angin mulai berhembus semakin dingin dan aku bergerak hendak menghampirinya tapi rupanya Bia sudah bergerak lebih dulu beranjak dari sana dan menemukan tatapanku ketika tubuhnya berbalik. “Sudah selesai?” Tanyaku dan Bia diam saja. Masih terlihat sangat sedih tapi aku tidak mau kasihan padanya karena dulu saat aku hancur kehilangan orang tuaku juga tidak mau dikasihani orang lain. “Ayo tidur! Aku lelah besok ada meeting pagi.” Tambahku lagi dan ku lihat Bia bergerak mendekat tanpa bicara. Mengekoriku yang berjalan lebih dulu tanpa suara. Kemudian masuk ke kamar mandi setelah mengambil baju tidur dan keluar dari sana beberapa menit kemudian. Aku menepuk samping tempat tidurku dan Bia mendekatiku masih terlihat canggung. Mungkin belum terbiasa baginya untuk tidur bersama laki-laki asing, tapi herannya aku tidak merasakan perasaan asing itu. Justru di dekatnya terasa begitu nyaman seolah aku sedang tidur bersama ibuku. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa perasaan nyaman ini bisa tercipta di sampingnya sementara di samping Jeni tidak padahal aku mencintai Jeni dan tidak mencintai Bia. “Apa aku akan terus di sembunyikan sampai kamu membalaskan dendamku pada Dio?” Tanya Bia pelan. Membuatku kembali membuka mata setelah terpejam dengan nyaman. “Sementara iya.” Jawabku asal karena aku memang belum memiliki rencana apapun mengenai Dio. Yang paling penting aku bisa tidur dulu, masalah itu biar aku pikirkan nanti. “Sampai kapan?” Tanyanya lagi seolah sudah tidak sabar untuk pergi dariku dan itu membuatku kesal. “Sampai semuanya selesai Bia! Memangnya sampai kapan lagi? Kenapa kamu seolah sedang meragukanku huh?” balasku kesal. “Aku tidak pernah mengingkari janjiku.” Tambahku lagi. “Aku hanya merasa di sampingmu juga sama berbahayanya dengan aku berada di luar. Kehidupanmu sedikit menakutkan dan itu membuatku takut. Aku tidak keberatan di sembunyikan, mungkin itu lebih baik karena aku tidak perlu berurusan dengan orang-orang di sekitarmu. Tapi jika terlalu lama berada di sampingmu, mungkin ini tidak akan baik. Kita sama-sama dewasa dan kita lawan jenis.” Ucapnya panjang. “Aku tidak akan tertarik padamu, jangan besar kepala!” bisikku pelan. “Bukan kamu tapi aku.” Jawabnya membuatku meliriknya sambil tersenyum miring. “Aku akan membuat perjanjian secara tertulis untuk mencegah hal itu. Ingat Bia, yang aku beli dengan pembalasan dendam adalah tubumu bukan cintamu. Jadi jangan berani-berani jatuh cinta padaku karena aku memiliki kekasih. Perjanjian kita hanya sebatas saling menguntungkan, tidak untuk hal rumit bernama cinta.” Ucapku memperingatkannya. Ekspresi Bia terlihat lebih tenang dari yang aku duga. Ku pikir dia akan marah aku mengatakan kalimatku baru saja. “Kalau begitu jangan terlalu baik padaku. Aku tidak bisa mengontrol perasaanku.” Ucapnya kemudian berbalik membelakangiku dan mematikan lampu di nakasnya. Aku siam saja sambil terus memandangi punggungnya yang tadi bergetar hebat karena tangisan itu. “Aku tebak kamu adalah gadis yang mudah jatuh cinta hanya karena diperlakukan baik, itulah alasan kenapa kamu mudah di bodohi oleh Dio.” Ucapku lagi dan setelahnya ku dengar desahan Bia. “Iya aku memang bodoh karena itu aku tidak mau terjebak pada hal yang sama.” Jawabnya tanpa menoleh ke arahku. “Selain bodoh memilih kekasih kamu juga bodoh memilih teman. Bagaimana di dunia ini ada orang sebodoh itu.” Ujarku melanjutkan. Aku memang terkenal bermulut jahat karena aku akan mengatakan apapun yang ingin ku katakan. “Tidak masalah aku bodoh dimata orang lain tapi aku tidak bodoh di mata orang tuaku sekalipun mereka sudah tidak ada.” Jawabnya lagi. Aku suka dengan pertahanan dirinya dalam meredam emosi. Karena jika aku jadi dia diberi kata-kata menyebalkan seperti yang aku lakukan sementara suasana hati sedang buruk aku pasti mengamuk. Tapi Bia tidak begitu, dia menanggapi semua ucapan menyebalkanku dengan tenang dan memilih untuk tidak memberikan pembelaan mengenai tuduhan bodohku. “Tapi mulai sekarang kamu tidak boleh bodoh di mataku! Menangis itu bodoh, lemah itu bodoh, putus asa itu bodoh, tidak bersemangat itu bodoh, dan larut dalam kesedihan juga merupakan sebuah kebodohan. Jika kamu ingin aku mengeluarkanmu ke hadapan semua orang maka kamu harus menghilangkan semua kebodohan itu, menjadi manusia baru yang tak terkalahkan agar mereka semua kebingungan.” Ucapku yang tak ku sangka sukses membuatnya berbalik menatapku dengan antusias. “Benarkah aku boleh dikenalkan di depan publik jika aku tidak bodoh lagi?” tanyanya dan aku mengangguk. “Tapi kamu sudah tidak bisa menjadi Bia lagi, Bia sudah mati.” “Tidak masalah selama aku bisa muncul di hadapan temanku dengan lebih kuat dan membuatnya mengerti bahwa aku tidak mudah dikalahkan olehnya.” Ucap Bia kali ini bersemangat. Sepertinya pengkhianatan sahabatnya memang sudah mempengaruhi emosinya cukup dalam. *** Keesokan paginya aku tidak lagi menemukan Bia yang sedih, dia sudah sedikit bersemangat dan membuatku lega entah kenapa. Padahal itu bukan urusanku. “Biasanya kalau bekerja pulang jam berapa Al?” Dia bertanya sambil membereskan bekas sarapan kami. “Tergantung.” “Maksudnya?” “Kalau pekerjaan tidak sedang banyak jam lima sore sudah pulang, kalau banyak sampai jam sepuluh malam.” Jawabku membuatnya cemberut. “Aku takut berada di rumah ini sendirian.” Ucapnya pelan. “Tidak sendirian, ada beberapa pengawal jangan mengada-ada.” Balasku. “Bagaimana kalau ada orang jahat?” Tanyanya lagi mulai berisik. Sebuah hal yang tidak aku suka. “Kamu bisa memukulnya, jangan berpura-pura lemah.” Sungutku kesal. Lalu memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan kami dan berangkat ke kantor. Meninggalkannya dengan wajah terpaksa. Membuatku mendesah karena gadis itu mulai banyak mau, sehingga membuatku berpikir bahwa perjanjian tertulis sangat di butuhkan sekarang agar kami berdua punya batas sehingga dia tidak merepotkanku lebih dari ini. “Aldeeeennnn!” Teriakan Jeni menyambutku. Hari ini memang kami akan meeting bersama. “Akhirnya ketemu kamu juga setelah beberapa hari kamu jadi susah buat di temuin.” Rengeknya dan aku tersenyum. “Kan gak selalu harus ada di samping kamu Jen, lagipula kita belum menikah bukan? Dan kamu juga tahu sendiri pekerjaanku banyak.” Jawabku dan Jeni cemberut tapi hanya sebentar kemudian terlihat sangat antusias. “Kalau gitu gimana kalau kita nikah aja Al biar aku nggak cari-cari kamu terus.” Ucapnya sumringah. “Jawabanku tetap sama Jen, belum bisa dalam waktu dekat karena proyek yang sedang aku kerjakan cukup rumit dan menyita waktu kamu tahu sendiri kan? Kalau pekerjaanku sudah lenggang baru kita bicarakan pernikahan oke?” balasku yang lagi-lagi membuat Jeni cemberut. “Tuh kan kamu tuh nggak buru-buru nikahin aku bikin aku curiga mulu kalau ada cewek lain.” Ucapnya menuduh dan aku hanya menanggapinya dengan tertawa saja. Pagi ini aku bangun tidur dengan badan lelah jadi tidak ingin berdebat karena meeting nanti pasti akan menguras tenaga dan pikiran. “Mana ada cewek lain, kalau ada dari dulu kamu pasti udah nemu. Kamu kan udah kaya detektif kalau masalah mata-matain aku.” Kekehku sembari mulai membuka laptop untuk melihat berkas yang semalam sudah sempat aku lihat sebentar. “Maaf pak ini laporan yang kemarin bapak minta perbaikan dari pak Dio.” Ucap Sekertarisku yang memang kamu bertiga sekarang sedang berada di ruanganku mulai membahas pekerjaan sebelum meeting. “Oke, untuk masalah komplain gimana penyelesaiannya? Lancar?” Tanyaku. “Beres pak, pihak humas sudah menyelesaikannya dengan baik.” Ucap sekertarisku lagi memuaskanku dan setelah itu kami melaksanakan Meeting sesuai jadwal. Kali ini Dio sedang mempresentasikan rencananya dan aku memperhatikan dengan seksama. Jika di lihat secara fisik, laki-laki itu terlihat sempurna. Wajahnya yang ramah akan membuat semua orang percaya dia laki-laki baik dan menuduh Bia berbohong jika dia gegabah menuduhnya. Selain itu Dio juga cerdas, kinerjanya bagus dan memuaskan, lalu dia juga sangat sopan dan menghormati orang lain. Sungguh sikap yang sempurna untuk menyembunyikan kebusukannya. Hal itu entah kenapa justru membuatku semakin penasaran dengan motif pembunuhan orang tua Bia. Dio tidak kekurangan uang, karena sesuai jabatannya yang lumayan di kantorku, gajinya tidak mungkin sedikit dan lagipula Bia juga tidak bisa diincar hartanya. Lalu apa yang diinginkan Dio dari kematian orang tua Bia? Gara-gara [erselingkuhan yang terpergok oleh ibu Bia? Rasanya tidak mungkin sesederhana itu karena Dio bukan orang yang akan sulit mendapatkan perempuan jika sampai berpisah dari Bia. Ini sungguh sebuah teka-teki yang akan menyenangkan untuk di pecahkan kebusukannya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD