“Al....”
Masih tidak ada jawaban dari dalam kamar putra bungsu keluarga Tritas itu. Gena, Mommy Al mencoba untuk mengetuk pelan pintu kamar yang enggan terbuka untuk tiga hari setelah Al berteriak pada mereka dan mengunci dirinya sendiri di kamar.
Keluarganya tahu Al masih berada di kamar, karena pintu jendelanya diam-diam dikunci dari luar oleh Daddynya Al, Ryan saat malam hari agar Al tidak tahu perbuatannya. Kepala keluarga itu telah mengantisipasi jika saja Al berniat kabur lagi, namun tidak ada satu pun dari mereka yang menyangka bahwa anak itu malah memilih untuk mengurung diri di kamar, menolak untuk makan dan minum atau bicara pada siapa pun. Tiga hari tanpa itu semua, apakah Al baik-baik saja di dalam kamar?
Terakhir kali anak itu mogok makan saja, Al harus dirawat di rumah sakit padahal dia baru melangsungkan mogok makannya untuk satu hari.
Hal itulah yang membuat anggota keluarganya bergiliran untuk membujuk Al agar berhenti marah pada mereka. Ryan bahkan berjanji tidak akan mengeluarkan Al dari sekolah jika anak itu mau keluar sekarang. Mereka semua benar-benar khawatir, apalagi Al tidak mau bicara sepatah katapun pada mereka.
“Al sayang..... Ini Mommy. Apa kamu tidak merasa kasihan melihat Mommy berdiri di kamarmu seharian ini? Mommy telah bertekad tidak akan makan sampai Al makan lho.....”
Suara Gena terndengar lembut dan menenangkan. Untuk apa yang ia katakan barusan, Gena memang tidak berbohong. Lelaki manis itu lebih memilih untuk ikut aksi mogok makan anaknya dengan maksud agar Al bersedia keluar dari kamarnya. Ryan maupun anak-anaknya bahkan tidak bisa melarang Omega dewasa itu, karena kekeras kepalaan Gena memang bisa disandingkan dengan Al. Mungkin itu yang disebut dengan kekuatan darah Omega?
“Mom...”
Lussac muncul dari ujung koridor dengan pakaian lengkapnya. Setelah tiga hari keseluruhan dari mereka bolos kerja, hari ini mereka memutuskan untuk kembali walaupun Al masih melancarkan aksi mengkhawatirkannya pada mereka. Perusahaan yang mereka pegang bukanlah perusahaan kecil, sehingga rasanya tidak mungkin menunda waktu kerja lebih lama dari ini.
“Apa... Al masih tidak mau keluar kamar?” tanya Lussac lirih. Dia adalah orang yang paling merasa bersalah dengan marahnya Al. Jika saja waktu itu dia tidak panik dan pergi mencari Al tanpa memberitahu ayahnya mungkin semuanya tidak akan seburuk ini. Sebagai kakak pertama Lu merasa seharunya dia bisa berbuat lebih bijak daripada itu.
Gena menggeleng pelan. Dirinya sudah harus bisa membuat anaknya kembali tidak peduli apa yang akan terjadi padanya. Itu adalah tekad Gena sekarang.
Lu memandang khawatir ibunya. Ayah dan adiknya telah berangkat terlebih dahulu ke kantor menyisakan dirinya yang ditugaskan sang ayah untuk melihat kondisi ibunya. Di tangan Lussac, terdapat dua bungkus roti besar yang kini diberikan pada sang ibu.
“Kami akan pergi bekerja sekarang, Mom. Mungkin di saat itu Al akan membuka pintunya untuk Mom. Makanlah roti ini masing-masing satu, aku tidak mau Mom atau Al jatuh sakit lebih dari ini."
Gena mengangguk pelan. Setelah mencium kening anaknya dan kembali mengetuk pintu, akhirnya suara kunci diputar terdengar saat suara mobil Lussac tidak lagi terdengar disekitar mereka.
Keluar dari kamar itu adalah sesosok lelaki mungil bermata merah dengan hidung sembab yang memandang sendu ibunya. Al masih diam di sana, sebelun Gena berinisiatif untuk memeluk Al dan menggiringnya masuk ke kamar kembali. Tubuh anaknya itu panas, sementara nafasnya terdengar putus-putus akibat menahan panas yang begitu tinggi.
Dengan tubuhnya yang juga lemas, Gena segera keluar dan memanggil Pere, yang kebetulan sedang membersihkan jendela untuk segera memanggil kepala pelayan dan menghubungi dokter keluarga mereka sementara Gena kembali berlari ke kamar Al diikuti Pere yang kini membawa konpresan air hangat. Dengan telaten Gena mengompres dahi anaknya sementara Pere mencoba memasangkan jaket hangat pada tubuh Al yang terjebak antara sadar dan tidak sadar akibat panasnya.
Tidak kama kemudian, dokter keluarga mereka datang dan segera melakukan pertolongan pertama kepada Al. Sejam berlalu begitu saja sebelum Gena akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat anaknya kini tertidur tenang walaupun selang infus tertancap ditangannya.
“Nah, sekarang biarkan aku memeriksamu Gena. Ryan akan marah padaku jika tahu istri tercintanya sakit dan aku tidak memeriksanya,” canda Ares, dokter pribadi yang telah kenal Gena dan Ryan bahkan sebelum mereka menikah.
Gena menyerah, perkataan Ares ada benarnya juga. Suaminya itu bisa mengomelinya jika sampai menolak diperiksa kesehatannya. Sudah cukup Ryan mengkhawatirkan Al, dia tidak ingin pria itu juga harus mengkhawatirkan dirinya juga.
*****
Mata coklat terang itu terbuka pelan. Nafasnya sedikit membaik setelah diberi asupan infus dan tempat yang hangat. Dia memang sering berlebihan saat sedang sedih, dan dia menyesalinya sekarang.
“Bagaimana kabarmu?”
Al menoleh saat menemukan Lu dan Lylo tengah menggelilinginya sambil mengusap pelan rambut pirang murni miliknya.
“Mommy mana?”
Bukannya menjawab pertanyaan Lylo, anak itu malah balik bertanya dan berhenti saat menemukan mommynya tengah terbaring lemas dengan jarum infus yang juga tertancap ditangannya.
“Mommy!” jerit Al yang langsung bangun untuk memeluk mommynya. Mereka tidur satu kasur, karena kasur Al memang berukuran besar sekali.
“Mommy tahu kamu pasti akan mencari Mommy saat bangun nanti, jadi maaf jika Mommy memakai kasurmu.”
Suara lembut itu dikeluarkan oleh Gena. Disebelahnya, terdapat Ryan yang tengah memandang khawatir sekaligus lega terhadap keduanya. Lega setidaknya Al sudah mau bicara lagi. Dan tentu saja khawatir, karena Al hanya memeluk erat mommynya tanpa ingin melihat ke arah ayah atau kakak-kakaknya.
“Kalau begitu kami akan keluar untuk membuatkan kalian bubur. Ares bilang bubur buatan keluarga lebih mujarab untuk orang sakit.”
Sadar diri, Ryan segera menarik Lu dan Lylo keluar dan memberikan Gena waktu untuk meyakinkan Al. Hanya dialah yang bisa meyakinkan Al sekarang. Setelah ketiganya keluar, barulah Al mendongkak dan menampakan wajahnya yang merah. Dia memeluk Gena begitu erat, seakan hendak memberitahu mommynya bahwa di juga menyesal telah mendiami keluarganya.
Gena telah menjadi ibu untuk dua Alpha merepotkan sebelumnya. Sehingga kini dia bisa bertindak bijak tanpa bantuan Ryan lagi. Jadi unfuk permulaan, ia ingin bercerita.
“Al tahu tidak? Sebelum Mommy bertemu dengan Daddymu, Mommy adalah anak yang nakal?"
Al menggeleng. Bagaimana bisa ibunya yang lemah lembut itu seorang anak nakal di masa lalunya?
“Mommy seorang Omega namun senang melakukan hal keren layaknya Alpha. Mommy tidak lahir dalam keluarga Alpha elit seperti Daddymu, jadi orang tua Mommy tidak pernah melarang Mommy untuk bertingkah seenaknya seperti itu.”
Al terdiam. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan mommynya?
“Puncak kenakalan Mommy adalah saat kakek dan nenekmu, Ayah dan Ibu Mommy meninggal. Mommy semakin bebas dan liar tanpa peduli apapun lagi. Mommy tidak punya keluarga selain mereka sehingga rasanya hancur sekali saat mereka juga pergi. Dan kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya?”
Al mendongkak penasaran. Baru kali ini mommynya mau menceritakan masa lalunya yang kelam. Dan jujur saja, tanpa sadar Al tertarik untuk mendengar lebih jauh.
“Daddymu menyelamatkan Momny dari jurang keputusasaan. Dia mengenalkan pada Mommy bahwa dunia masih menerima Mommy bahkan jika orang tua Mommy telah meninggal. Masih ada orang yang sayang pada Mommy dan ingin Mommy tetap hidup."
“Apa itu Daddy?” tanya Al semangat. Anak itu bahkan sudah melupakan kekesalannya pada yang lain.
Gena mengangguk sebagai jawaban. Tangannya yang halus mengusap pelan rambut anaknya yang wangi dan lembut.
“Dia memang dingin pada Momny saat baru pertama kali bertemu. Tapi tanpa Mommy sadari, daddymulah orang yang paling memperhatikan Mommy. Dia adalah tipe orang yang selalu mengedepankan orang yang ia sayang di atas segalanya. Dan tampaknya sikap itu kini turun pada kakak-kakakmu.”
“Tapi Daddy senang melucu dan konyol Mommy,” protes Al tidak terima, yang dibalas tawa kecil oleh Gena.
“Itu yang Mommy maksud dengan mengedepankan orang yang ia sayang diatas segalanya. Dia rela bertingkah konyol didepan keluarganya, dia rela menjadi lelaki lembut di depan kita semua,” jelas Gena sabar. Rasanya dia ingin tertawa sendiri mengingat bagaimana perilaku asli suaminya dulu.
“Dia melakukan apa yang harus dia lakukan untuk melindungi keluarganya. Jadi, apa Al percaya bahwa kami semua melakukan banyak hal karena menyayangimu?” pancing Gena hati-hati. Dia hanya ingin keluarganya kembali seperti semula, dan Gena tahu membujuk anaknya harus dilakukan secara perlahan.
“Tapi cara Daddy memperlakukan temanku salah Mommy. Aku tidak suka saat mereka menjagaku berlebihan seperti itu. Padahal Fian temanku satu-satunya….”
Sepertinya Gena harus lebih dari sabar untuk menghadapi anak kesayangannya itu. Seharusnya dia sadar, anaknya itu memiliki kekeras kepalaaan yang mungkin setara dengan miliknya.
“Mommy percaya semua yang daddymu lakukan hanya untuk melindungimu. Dulu sebelum kami menikah, seseorang sempat menculik Mommy dan daddymulah yang menyelamatkan Mommy. Keluarga seperti kita selalu menjadi target penculikan Al. Mungkin karena itu dia trauma Sayang...” bujuk Gena lagi.
Kali ini berhasil. Al terdiam namun wajahnya melunak sedikit demi sedikit. Gena tahu itu adalah gelagat bahwa anaknya tengah bimbang sekarang.
“Jadi.... Al mau kan memaafkan kami?”
Al terdiam sebelum mengangguk pelan, berhasil membuat Gena bernafas lega dan kembali memeluk anaknya. Gena tahu pasti Al bukanlah tipe anak pedendam walaupun sedikit keras kepala.
“Mommy sayang sekali pada Alkana anak Mommy yang paling imut,” goda Gena gemas sambil mencubit pelan pipi anaknya.
Al tidak masalah diperlakukan seperti itu. Sebaliknya, pemuda mungil itu malah tersenyum lebar dan menenggelamkan kepalanya pada d**a mommynya.
“Aku juga sayang Mommy dan yang lain. Maaf aku telah egois selama ini Mommy,” ucap Al jujur.
“Permintaan maaf diterima.”
Lu, yang baru muncul bersama Lylo dan Ryan menunjukan senyumnya yang lebar. Tangannya memegang troli berisi piring yang masih ditutup penutup makanan.
Al mendengus, tidak suka kebahagiaannya diregut begitu saja oleh kakaknya.
“Maaf saat itu kakak malah marah padamu Al. Kamu mau memaafkan kakak kan?”
Al tidak bergeming untuk sementara. Didalam hatinya, tidak buruk juga untuk mengerjai kakaknya sekali-kali.
Dan lihat saja sekarang, wajah Lussac semakin gelisah menunggu jawaban adiknya. Dia bahkan sesekali mengusap tekuknya untuk melepas kecanggungan.
“Permintaan maaf diterima.”
Suara itu berhasil menggembalikan kepercayaan diri Lussac. Dengan senang lelaki tampan itu segera memeluk erat adiknya, menunjukan sifatnya yang manja didepan Al.
“Aku tidak akan mengkhianati kepercayaanmu Al. Kamu tahu aku menyayanginu lebih dari apa pun,” ungkap Lussac lembut.
Al mengangguk kecil. Dia mungkin merasa sedih akan kepergian Fian. Namun, kehangatan yang keluarganya beri selama ini tetap tak tegantikan dan tidak bisa ia lupakan semarah apapun Al pada mereka. Al sayang keluarganya, dan keluarganya menyayangi Al. Ikatan itu tidak akan hancur hanya karena perlakuan keluarganya yang berlebihan.
Setidaknya, sampai sekarang ada yang berhasil menghancurkannya.
To be continued